Aset wisata Indonesia belum terjual maksimal
A
A
A
Sindonews.com - Belum semua pihak menyadari jika Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa untuk dijadikan aset dalam pengembangan wisata. Hal tersebut dikarenakan masih kurangnya pengetahuan akan wisata, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (Stipram), Suhendroyono di kampus setempat, Selasa (18/2/2014) dalam persiapan seminar internasional 'Suistanable Tourism Development Based on Tourism Behavior' di Inna Garuda Hotel, 24-26 Februari mendatang.
Hendro, sapaan akrabnya menuturkan, pariwisata di negara ini stagnan dan tidak berkembang, bahkan tertinggal dari negara tetangga Malaysia.
"Tiga pilar pariwisata, yakni pemerintah, masyarakat maupun pengusaha seringkali tidak menyadari aset yang dipunyai, baik alam, budaya, masyarakat, kuliner dan sebagainya. Persoalan inipun membuat angka perjalanan wisata di Indonesia, khususnya wisatawan asing tak banyak meningkat," ujarnya.
Hendro menuturkan, tingkat kunjungan wisatawan asing bahkan cenderung mengalami penurunan. Pada 2013 misalnya, angka kunjungan wisata turis asing di Indonesia hanya 6,4 juta. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan kunjungan wisatawan domestik, sangat jauh berjarak.
"Di Indonesia, angka perjalanan wisata sebenarnya cukup tinggi, namun baru di tingkat domestik. Dari total 234 juta penduduk, angka perjalanan wisata domestik bisa mencapai 234 juta penduduk pertahunnya. Hal itu terjadi karena pemerintah, masyarakat maupun pengusaha bisa menjual pariwisata mereka," tuturnya.
Menurut Hendro, seharusnya fenomena pariwisata Indonesia bisa digarap dengan lebih optimal agar perjalanan wisata tidak hanya di tingkat domestik namun di level internasional. Ia sendiri meyakini, jika digarap apik, pariwisata saja bisa membuat Indonesia kaya.
"Karena itulah tiga pilar pariwisata harus mampu bersinergi dalam mengembangkan tourism behavior atau pariwisata Indonesia yang berbasis kearifan lokal. Sehingga keunikan Indonesia bisa dijual sebagai aset pariwisata yang berharga. Namun pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal tidak bisa dikembangkan tanpa dukungan infrastuktur dan sinergitas antar stakeholder," katanya.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (Stipram), Suhendroyono di kampus setempat, Selasa (18/2/2014) dalam persiapan seminar internasional 'Suistanable Tourism Development Based on Tourism Behavior' di Inna Garuda Hotel, 24-26 Februari mendatang.
Hendro, sapaan akrabnya menuturkan, pariwisata di negara ini stagnan dan tidak berkembang, bahkan tertinggal dari negara tetangga Malaysia.
"Tiga pilar pariwisata, yakni pemerintah, masyarakat maupun pengusaha seringkali tidak menyadari aset yang dipunyai, baik alam, budaya, masyarakat, kuliner dan sebagainya. Persoalan inipun membuat angka perjalanan wisata di Indonesia, khususnya wisatawan asing tak banyak meningkat," ujarnya.
Hendro menuturkan, tingkat kunjungan wisatawan asing bahkan cenderung mengalami penurunan. Pada 2013 misalnya, angka kunjungan wisata turis asing di Indonesia hanya 6,4 juta. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan kunjungan wisatawan domestik, sangat jauh berjarak.
"Di Indonesia, angka perjalanan wisata sebenarnya cukup tinggi, namun baru di tingkat domestik. Dari total 234 juta penduduk, angka perjalanan wisata domestik bisa mencapai 234 juta penduduk pertahunnya. Hal itu terjadi karena pemerintah, masyarakat maupun pengusaha bisa menjual pariwisata mereka," tuturnya.
Menurut Hendro, seharusnya fenomena pariwisata Indonesia bisa digarap dengan lebih optimal agar perjalanan wisata tidak hanya di tingkat domestik namun di level internasional. Ia sendiri meyakini, jika digarap apik, pariwisata saja bisa membuat Indonesia kaya.
"Karena itulah tiga pilar pariwisata harus mampu bersinergi dalam mengembangkan tourism behavior atau pariwisata Indonesia yang berbasis kearifan lokal. Sehingga keunikan Indonesia bisa dijual sebagai aset pariwisata yang berharga. Namun pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal tidak bisa dikembangkan tanpa dukungan infrastuktur dan sinergitas antar stakeholder," katanya.
(gpr)