Pengusaha tambang rugikan negara Rp628 M
A
A
A
Sindonews.com - Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian negara dari sektor pajak yang kurang dibayar atau tidak dibayar oleh industri pertambangan hingga mencapai Rp628 miliar lebih.
Anggota BPK Ali Masykur Musa mengungkapkan, dari data yang masuk diketahui banyak pengusaha menggarap pemanfaatan hutan yang tidak berizin untuk kegiatan tambang. Akibatnya, potensi pajak menguap lantaran dikemplang pengusaha pertambangan.
"Tahun ini, kami sudah memeriksa perusahaan bidang pertambangan. Ternyata mereka kurang bayar atau tidak membayar pajak," katanya saat ditemui di Denpasar, Rabu (19/2/2014).
Dari laporan terakhir tercatat sekitar Rp628 miliar lebih, jumlah pajak yang kurang dibayar atau tidak dibayarkan. BPK telah melakukan pemeriksaan dengan sampel 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan kecil selama kurun 2013.
"Bayangkan itu baru sampel perusahaan besar dan kecil yang kita periksa dari 10 ribu perusahaan, itu saja mencapai Rp628 miliar. BPK tidak mampu memeriksa seluruh perusahaan tambang yang ada," ujarnya.
Dilihat dari kecenderungannya, ada peningkatan jumlah potensi penerimaan pajak yang menguap dari tahun ke tahun. Dia menyebutkan, pada 2012 tercatat ada sekitar Rp486 miliar lebih pajak yang tidak dibayarkan perusahaan.
Jumlah itu meningkat dibanding 2011 yang jumlahnya mencapai Rp328 miliar lebih penerimaan pajak yang tidak dibayarkan banyak perusahaan. Dengan penerimaan pajak tidak masuk ke kas negara, maka tidak heran jika kemudian banyak orang mengira termasuk Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) memperkirakan potensi kerugian negara dari pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mencapai Rp30 triliun.
"Dalam konteks untuk perusahaan agar benar-benar clean dan clear itulah perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas beroperasinya industri tambang di Tanah Air," jelasnya.
ALi mengatakan, clear berarti seluruh industri tambang itu benar-benar telah memiliki izin pengelolaan sumber daya alam yang jelas. Sedangkan clean, berarti mereka harus bersedia mematahui kewajibannya kepada negara dalam membayar pajak sehingga pajak tidak dikemplang.
Pihaknya telah menyampaikan rekomendasi dalam pengelolaan SDA. Dalam menghitung kerugian negara tidak hanya dilihat dari jumlah dan luas yang dipakai sementara.
Pasalnya, selama ini penerimaan itu dihitung hanya berdasarkan berapa bukit atau sesuai tegakan kayunya, juga berapa kubik yang dihasilkan karena jumlah itu kecil.
"Padahal ada aspek sosial ekonomi yang sebenarnya bisa dimaksudkam dalam penerimaan negara," pungkasnya.
Anggota BPK Ali Masykur Musa mengungkapkan, dari data yang masuk diketahui banyak pengusaha menggarap pemanfaatan hutan yang tidak berizin untuk kegiatan tambang. Akibatnya, potensi pajak menguap lantaran dikemplang pengusaha pertambangan.
"Tahun ini, kami sudah memeriksa perusahaan bidang pertambangan. Ternyata mereka kurang bayar atau tidak membayar pajak," katanya saat ditemui di Denpasar, Rabu (19/2/2014).
Dari laporan terakhir tercatat sekitar Rp628 miliar lebih, jumlah pajak yang kurang dibayar atau tidak dibayarkan. BPK telah melakukan pemeriksaan dengan sampel 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan kecil selama kurun 2013.
"Bayangkan itu baru sampel perusahaan besar dan kecil yang kita periksa dari 10 ribu perusahaan, itu saja mencapai Rp628 miliar. BPK tidak mampu memeriksa seluruh perusahaan tambang yang ada," ujarnya.
Dilihat dari kecenderungannya, ada peningkatan jumlah potensi penerimaan pajak yang menguap dari tahun ke tahun. Dia menyebutkan, pada 2012 tercatat ada sekitar Rp486 miliar lebih pajak yang tidak dibayarkan perusahaan.
Jumlah itu meningkat dibanding 2011 yang jumlahnya mencapai Rp328 miliar lebih penerimaan pajak yang tidak dibayarkan banyak perusahaan. Dengan penerimaan pajak tidak masuk ke kas negara, maka tidak heran jika kemudian banyak orang mengira termasuk Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) memperkirakan potensi kerugian negara dari pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mencapai Rp30 triliun.
"Dalam konteks untuk perusahaan agar benar-benar clean dan clear itulah perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas beroperasinya industri tambang di Tanah Air," jelasnya.
ALi mengatakan, clear berarti seluruh industri tambang itu benar-benar telah memiliki izin pengelolaan sumber daya alam yang jelas. Sedangkan clean, berarti mereka harus bersedia mematahui kewajibannya kepada negara dalam membayar pajak sehingga pajak tidak dikemplang.
Pihaknya telah menyampaikan rekomendasi dalam pengelolaan SDA. Dalam menghitung kerugian negara tidak hanya dilihat dari jumlah dan luas yang dipakai sementara.
Pasalnya, selama ini penerimaan itu dihitung hanya berdasarkan berapa bukit atau sesuai tegakan kayunya, juga berapa kubik yang dihasilkan karena jumlah itu kecil.
"Padahal ada aspek sosial ekonomi yang sebenarnya bisa dimaksudkam dalam penerimaan negara," pungkasnya.
(izz)