INSA harus fokus benahi industri pelayaran
INSA harus fokus benahi industri pelayaran
A
A
A
Sindonews.com - Perusahaan-perusahaan pelayaran nasional yang tergabung dalam Indonesia National Shipowners Association (INSA) diminta solid dan fokus membenahi industri dalam menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015. Saat ini, INSA dinilai belum kuat menghadapi persaingan di kawasan regional.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menegaskan, dari sisi eksternal, seharusnya INSA tidak hanya mengeluhkan persoalan fiskal, biaya pelabuhan yang meningkat dan persoalan tumpang tindih penegakan hukum di laut, tetapi juga fokus mendorong pertumbuhan industri dengan memanfaatkan setiap peluang yang ada. Sementara dari sisi internal, INSA harus melakukan pembenahan ke dalam akibat menyeruaknya isu tidak solidnya antar pengurus.
“Tantangan industri pelayaran setelah berlakunya AEC tahun depan akan semakin kompleks. Para pelaku industri pelayaran harus solid. Jangan sampai industri pelayaran masih terkesan seperti autopilot berjalan sendiri-sendiri, program-program di asosiasi yang melindungi pelayaran dalam negeri tidak terealisasi akibat persoalan di dalam,” kata Siswanto, di Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Kepengurusan INSA saat ini, kata Siswanto, mewarisi organisasi sebelumnya yang relatif solid dengan prestasi cemerlang, yaitu berkembangnya kembali dunia pelayaran di Tanah Air. Sehingga, semestinya bisa makin meningkatkan peran dalam mendorong pertumbuhan industri pelayaran.
Di masa kepengurusan sebelumnya, adalah INSA yang menjadi pendorong utama lahirnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Melalui Inpres No 5 Tahun 2005, asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara formal diadopsi dalam UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Melalui aturan ini, mulai 2014, industri pelayaran nasional didorong untuk menggunakan kapal pelayaran dalam negeri (asas cabotage). Sejak diberlakukan pada 2005, armada nasional bertambah 3.000 unit sehingga total kapal nasional mencapai lebih dari 10.000 kapal. Dalam lima tahun terakhir saja, INSA mencatat investasi untuk mendukung program asas cabotage adalah melalui pembelian kapal sebanyak 6.157 unit atau USD15,4 miliar.
“Sayangnya, sebagian besar kapal itu tidak dibuat di galangan kapal nasional. Ini memang ironi, industri galangan nasional tetap terpuruk. Lihat, kondisi PT PAL dan PT DKB, dua raksasa industri galangan lokal yang hingga kini tetap belum bisa berkembang,” kata Siswanto.
Semestinya, INSA juga mampu mendorong dan menciptakan terobosan dalam mendukung galangan nasional. Persoalan lain dalam asas cabotage yang perlu dibenahi INSA, adalah tentang pemerataan antar sesama pelaku industri pelayaran.
“Selama ini, asas cabotage terlalu menguntungkan perusahaan pelayaran mapan yang jumlahnya tidak sampai 20 perusahaan. INSA harus lebih banyak mendorong agar asas cabotage melibatkan pelaku pelayaran rakyat (Pelra) yang sebetulnya jauh lebih sentral perannya dalam merajut Nusantara,” kata Siswanto.
Siswanto menegaskan, bila INSA bisa sukses melakukan konsolidasi internal, mendorong dan menyatukan peran industri pelayaran dalam asas cabotage, industri pelayaran nasional bsia mampu bersaing dalam menghadapi AEC 2015.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menegaskan, dari sisi eksternal, seharusnya INSA tidak hanya mengeluhkan persoalan fiskal, biaya pelabuhan yang meningkat dan persoalan tumpang tindih penegakan hukum di laut, tetapi juga fokus mendorong pertumbuhan industri dengan memanfaatkan setiap peluang yang ada. Sementara dari sisi internal, INSA harus melakukan pembenahan ke dalam akibat menyeruaknya isu tidak solidnya antar pengurus.
“Tantangan industri pelayaran setelah berlakunya AEC tahun depan akan semakin kompleks. Para pelaku industri pelayaran harus solid. Jangan sampai industri pelayaran masih terkesan seperti autopilot berjalan sendiri-sendiri, program-program di asosiasi yang melindungi pelayaran dalam negeri tidak terealisasi akibat persoalan di dalam,” kata Siswanto, di Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Kepengurusan INSA saat ini, kata Siswanto, mewarisi organisasi sebelumnya yang relatif solid dengan prestasi cemerlang, yaitu berkembangnya kembali dunia pelayaran di Tanah Air. Sehingga, semestinya bisa makin meningkatkan peran dalam mendorong pertumbuhan industri pelayaran.
Di masa kepengurusan sebelumnya, adalah INSA yang menjadi pendorong utama lahirnya Instruksi Presiden No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Melalui Inpres No 5 Tahun 2005, asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara formal diadopsi dalam UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Melalui aturan ini, mulai 2014, industri pelayaran nasional didorong untuk menggunakan kapal pelayaran dalam negeri (asas cabotage). Sejak diberlakukan pada 2005, armada nasional bertambah 3.000 unit sehingga total kapal nasional mencapai lebih dari 10.000 kapal. Dalam lima tahun terakhir saja, INSA mencatat investasi untuk mendukung program asas cabotage adalah melalui pembelian kapal sebanyak 6.157 unit atau USD15,4 miliar.
“Sayangnya, sebagian besar kapal itu tidak dibuat di galangan kapal nasional. Ini memang ironi, industri galangan nasional tetap terpuruk. Lihat, kondisi PT PAL dan PT DKB, dua raksasa industri galangan lokal yang hingga kini tetap belum bisa berkembang,” kata Siswanto.
Semestinya, INSA juga mampu mendorong dan menciptakan terobosan dalam mendukung galangan nasional. Persoalan lain dalam asas cabotage yang perlu dibenahi INSA, adalah tentang pemerataan antar sesama pelaku industri pelayaran.
“Selama ini, asas cabotage terlalu menguntungkan perusahaan pelayaran mapan yang jumlahnya tidak sampai 20 perusahaan. INSA harus lebih banyak mendorong agar asas cabotage melibatkan pelaku pelayaran rakyat (Pelra) yang sebetulnya jauh lebih sentral perannya dalam merajut Nusantara,” kata Siswanto.
Siswanto menegaskan, bila INSA bisa sukses melakukan konsolidasi internal, mendorong dan menyatukan peran industri pelayaran dalam asas cabotage, industri pelayaran nasional bsia mampu bersaing dalam menghadapi AEC 2015.
(gpr)
Explore More