Kemenkeu minta kebutuhan impor kakao diperjelas

Selasa, 15 April 2014 - 16:50 WIB
Kemenkeu minta kebutuhan impor kakao diperjelas
Kemenkeu minta kebutuhan impor kakao diperjelas
A A A
Sindonews.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta agar usulan pembebasan bea masuk impor biji kakao disertai dengan kejelasan jenis kakao yang dibutuhkan.

Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengingatkan saat ini hanya ada satu uraian barang atau kode harmonized system (HS) untuk impor biji kakao. Dengan hanya ada satu kode HS maka sulit membedakan jenis biji kakao yang dibutuhkan, termasuk cita rasanya.

Dia menjelaskan, biji kakao Indonesia cenderung memiliki rasa buah (fruity) yang dominan. Padahal untuk membuat bubuk yang bagus harus dicampur bersama kakao bercita rasa susu (milky). Kakao milky biasanya berasal dari Afrika Selatan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kode HS untuk impor biji kakao hanya satu, yakni 1801000000. HS tersebut diperuntukan untuk impor biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digonseng. Padahal untuk impor kakao olahan ada empat HS yang berbeda.

“Masalahnya biji kakao cuma satu kodenya. Tidak ada yang (HS khusus) bijh kakao yang lebih milky atau fruity tidak bisa. Untuk bikin bubuk cokelat yang bagus harus kombinasi duanya. Pertanyaan sekarang apa yang dibutuhkan impornya?” tutur Bambang usai menghadiri acara seminar Islamic Finance News (IFN) Indonesia Forum di Jakarta, Selasa (15/4/2014).

Dia mengingatkan, tanpa ada kejelasan kebutuhan jenis biji kakao impor yang jelas, maka hal tersebut bisa merugikan petani. Pasalnya, biji kakao yang diimpor bisa jadi justru yang pasokannya melimpah di Indonesia bukan yang dibutuhkan seperti kakao milky.

Concern di Kemenkeu adalah jangan sampai petani ini dirugikan. Nanti yang terjadi petani indonesia kasihan karena dari sisi persaingan dirugikan ketika dia mau ekspor dia dirugikan. Menurut saya, kita harus buat keseimbangan yang lebih bagus,” tutur dia.

Selain bisa merugikan petani, dengan hanya ada satu HS maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bisa mengalami kesulitan dalam memastikan jenis impor biji kakao yang diperbolehkan.

“Kayaknya susah kalau bea cukai, kecuali kakaonya bisa diolah. Kalau bijinya masih mentah susah,” tandasnya.

Bambang juga mengingatkan bahwa rencana pembebasan bea masuk impor biji kakao harus dipastikan alasan impor, apakah memang karena produksinya rendah atau perusahaan memang membutuhkan jenis biji kakao tertentu. Kejelasan tersebut akan menentukan apakah pembebasan bea masuk akan diterapkan kepada seluruh biji kakao atau jenis tertentu.

“Sekarang apa yang dibutuhkan impor hanya sekedar bijih kakao yang tidak ada di Indonesia atau produksi Indonesia yang memang kurang,” ucapnya.

Sebagai informasi, Kemenperin dan Kemendag mengajukan pembebasan bea masuk impor kakao dengan alasan industri kakao kekurangan pasokan. Padahal mereka ingin meningkatkan produksi. Saat ini, impor biji kakao dikenai bea masuk 5 persen. Usulan pembebasan bea masuk tersebut tinggal menunggu persetujuan Kementerian Pertanian untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan.

Senin (14/4/2014), Menteri Pertanian Suswono menuturkan bahwa pihaknya menyetujui pembebasan bea masuk kakao sepanjang berlaku sementara dan ada kepastian harga. Suswono menuturkan, rencana pembebasan bea masuk kakao harus fleksibel. Fleksibilitas tersebut dengan mempertimbangkan produksi kakao nasional serta efektivitas gerakan nasional (gernas) kakao.

“Sifatnya sementara saja untuk memenuhi industri yang kekurangan bahan baku dan sambil menunggu gernas kakao yang sudah mulai kelihatan hasilnya. Kalau produksinya sudah penuh, kita akan kembali kenakan bea masuk,” papar Suswono.

Dia berharap peningkatan produksi bisa dilakukan dalam 1-3 tahun. Dengan demikian, pada saat itu, impor sudah berkurang dan bea masuk pun bisa diberlakukan. Sekarang ini, bea masuk kakao dikenai tariff 5 persen.

Suswono mengakui ada kekurangan pasokan kakao untuk industri dalam negeri. Saat ini, produksi kakao berkisar 500 ribu ton, sementara kebutuhannya mencapai 600 ribu-700 ribu ton. Merujuk pada data BPS, ekspor kakao Indonesia pada Januari-Februari 2014 mencapai USD51,36 juta, meningkat 27,68 persen dibanding Januari-Februari 2013. Sementara itu, secara kumulatif ekspor kakao tahun 2013 menembus USD1,15 miliar.

Dilihat dari volumenya, ekspor kakao tahun 2013 mencapai 259.900 ton, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 388 ribu ton di 2012.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6700 seconds (0.1#10.140)