Produksi kakao Indonesia terbaik ke-3 di dunia
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia boleh berbangga, karena produk kakao mendapat pengakuan dunia. Tahun ini, kakao Indonesia mendapat rangking ke-3 di dunia dengan penghasilan produksi sekitar 720 ribu ton per tahun.
"Produk kakao memang tinggi, tetapi konsumsi masyarakat masih sangat rendah, hanya sekitar 0,3 kg per kapita per tahun," kata Kepala Dinas Perkebunan Jawa Timur (Jatim), Moch Samsul Arifien, Jumat (25/4/2014).
Tingkat konsumsi ini berbeda dengan negara lain, seperti Finlandia. Di negara itu, konsumsi masyarakat bisa mencapai 10 kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia tetap bangga karena kualitas kakao yang dihasilkan lebih baik dari pada negera tersebut.
Untuk produksi kakao yang dicapai Provinsi Jawa Timur saat ini sebesar 35 ribu ton. Meskipun kontribusi terhadap produksi nasional belum begitu besar. Namun hal ini merupakan kesuksesan tersendiri, mengingat sejarah kakao di Jawa Timur yang kelam saat pasca reformasi.
Pada masa sebelum reformasi, perkebunan kakao di Jatim adalah milik perkebunan besar yang pada akhirnya produksi terus menurun hingga 50 persen, karena permasalahan sosial antara perkebunan besar dengan masyarakat sekitarnya.
"Banyak pohon kakao yang dilakukan konversi dengan tanaman semusim oleh masyarakat, bahkan kita kehilangan plasma nutfah kakao edel (mulia)," ujarnya.
Berbagai upaya di berbagai daerah telah dilakukan oleh Dinas Perkebunan Pemprov Jatim untuk kembali meningkatkan produksi kakao Jatim. Diawali dari Donomulyo Malang, Udanawu Blitar, Nganjuk, Ngawi, dan Pacitan.
"Dengan program kakao belt di sepanjang pantai selatan dari Banyuwangi sampai Pacitan dalam kurun lima tahun terakhir tercapailah produksi kakao rakyat Jatim sebesar 35 ribu ton," kata dia.
Samsul mengingatkan akan pasar terbuka pada 2015, produk dari luar negeri akan masuk Indonesia tanpa beban pajak. Sehingga efisiensi produk perkebunan terutama kakao harus ditingkatkan agar bisa berkompetisi. Antara lain melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk.
"Pemerintah tak akan tinggal diam dan akan selalu ada peran untuk membantu melindungi produksi perkebunan rakyat," pungkasnya.
"Produk kakao memang tinggi, tetapi konsumsi masyarakat masih sangat rendah, hanya sekitar 0,3 kg per kapita per tahun," kata Kepala Dinas Perkebunan Jawa Timur (Jatim), Moch Samsul Arifien, Jumat (25/4/2014).
Tingkat konsumsi ini berbeda dengan negara lain, seperti Finlandia. Di negara itu, konsumsi masyarakat bisa mencapai 10 kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia tetap bangga karena kualitas kakao yang dihasilkan lebih baik dari pada negera tersebut.
Untuk produksi kakao yang dicapai Provinsi Jawa Timur saat ini sebesar 35 ribu ton. Meskipun kontribusi terhadap produksi nasional belum begitu besar. Namun hal ini merupakan kesuksesan tersendiri, mengingat sejarah kakao di Jawa Timur yang kelam saat pasca reformasi.
Pada masa sebelum reformasi, perkebunan kakao di Jatim adalah milik perkebunan besar yang pada akhirnya produksi terus menurun hingga 50 persen, karena permasalahan sosial antara perkebunan besar dengan masyarakat sekitarnya.
"Banyak pohon kakao yang dilakukan konversi dengan tanaman semusim oleh masyarakat, bahkan kita kehilangan plasma nutfah kakao edel (mulia)," ujarnya.
Berbagai upaya di berbagai daerah telah dilakukan oleh Dinas Perkebunan Pemprov Jatim untuk kembali meningkatkan produksi kakao Jatim. Diawali dari Donomulyo Malang, Udanawu Blitar, Nganjuk, Ngawi, dan Pacitan.
"Dengan program kakao belt di sepanjang pantai selatan dari Banyuwangi sampai Pacitan dalam kurun lima tahun terakhir tercapailah produksi kakao rakyat Jatim sebesar 35 ribu ton," kata dia.
Samsul mengingatkan akan pasar terbuka pada 2015, produk dari luar negeri akan masuk Indonesia tanpa beban pajak. Sehingga efisiensi produk perkebunan terutama kakao harus ditingkatkan agar bisa berkompetisi. Antara lain melalui peningkatan produktivitas dan mutu produk.
"Pemerintah tak akan tinggal diam dan akan selalu ada peran untuk membantu melindungi produksi perkebunan rakyat," pungkasnya.
(izz)