PLTU Batang masuk kajian Kejaksaan Agung
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah telah meminta Kejaksaan Agung selaku pengacara negara untuk mengkaji kemungkinan peluang pemerintah bisa masuk ke dalam proyek PLTU Batang, Jawa Tengah. Masuknya pemerintah diharapkan bisa mempercepat proses pembebasan lahan.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Lucky Eko Wuryanto menuturkan, PLTU Batang merupakan proyek pertama yang berstatus kerja sama pemerintah swasta (KPS). Pemerintah diwakili PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sementara pihak swasta adalah PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). BPI merupakan konsorsium dari PT Adaro Power, J-Power dan Itochu dari Jepang.
Lucky Eko menjelaskan, jika pemerintah bisa masuk ke dalam proses pembebasan lahan maka pemerintah bisa memaksa unsur ‘paksaan’.
“Kalau pemerintah masuk maka akan punya daya paksa. Sebelumnya itu hanya business to business. Kalau pemerintah masuk itu kepentingan umum. Cuma untuk menjustified itu yang sedang kita cari (payung hukumnya),” ujar Lucky Eko, saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Kamis (8/5/2014).
Kendati ada unsur 'paksaan', pemerintah harus tetap melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat dengan dibantu pemda. Jika tidak berujung pada kata sepakat maka jalur pengadilan bisa ditempuh.
“Kalau masyarakat belum setuju, akhirnya ada batas waktu dan konsinyasi di pengadilan. Waktu konsinyasi itu, proyek sudah bisa jalan,” ujarnya.
Dia menambahkan, proses pembahasan selama ini diserahkan kepada swasta. Namun, proses tersebut berjalan sangat lambat sehingga perlu segera dicari penyelesaiannya. Terlebih, proyek tersebut sangat strategis mengingat nilai proyek yang sangat besar yakni Rp36 triliun serta berkapasitas 2x1000 mega watt (MW) dan diharapkan bisa memenuhi 30 persen kebutuhan listrik di Jawa.
Sebagai informasi, dari sekitar 280 hektar lahan yang dibutuhkan masih terdapat 29 hektar yang belum dibebaskan. “Ini sedang dikaji Kejaksaan Agung. Apakah memang dalam perjanjian dengan PLN dan swasta ada klausul yang mengatakan bahwa bisa diambil alih pemerintah,” imbuhnya.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Lucky Eko Wuryanto menuturkan, PLTU Batang merupakan proyek pertama yang berstatus kerja sama pemerintah swasta (KPS). Pemerintah diwakili PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sementara pihak swasta adalah PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). BPI merupakan konsorsium dari PT Adaro Power, J-Power dan Itochu dari Jepang.
Lucky Eko menjelaskan, jika pemerintah bisa masuk ke dalam proses pembebasan lahan maka pemerintah bisa memaksa unsur ‘paksaan’.
“Kalau pemerintah masuk maka akan punya daya paksa. Sebelumnya itu hanya business to business. Kalau pemerintah masuk itu kepentingan umum. Cuma untuk menjustified itu yang sedang kita cari (payung hukumnya),” ujar Lucky Eko, saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Kamis (8/5/2014).
Kendati ada unsur 'paksaan', pemerintah harus tetap melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat dengan dibantu pemda. Jika tidak berujung pada kata sepakat maka jalur pengadilan bisa ditempuh.
“Kalau masyarakat belum setuju, akhirnya ada batas waktu dan konsinyasi di pengadilan. Waktu konsinyasi itu, proyek sudah bisa jalan,” ujarnya.
Dia menambahkan, proses pembahasan selama ini diserahkan kepada swasta. Namun, proses tersebut berjalan sangat lambat sehingga perlu segera dicari penyelesaiannya. Terlebih, proyek tersebut sangat strategis mengingat nilai proyek yang sangat besar yakni Rp36 triliun serta berkapasitas 2x1000 mega watt (MW) dan diharapkan bisa memenuhi 30 persen kebutuhan listrik di Jawa.
Sebagai informasi, dari sekitar 280 hektar lahan yang dibutuhkan masih terdapat 29 hektar yang belum dibebaskan. “Ini sedang dikaji Kejaksaan Agung. Apakah memang dalam perjanjian dengan PLN dan swasta ada klausul yang mengatakan bahwa bisa diambil alih pemerintah,” imbuhnya.
(gpr)