Harga Cabai Anjlok, Petani dan Pedagang Merugi
A
A
A
KULONPROGO – Petani cabai di Kabupaten Kulonprogo merugi lantaran harga cabai di pasaran hanya berkisar antara Rp3.000-Rp4.000 per kilogram (kg).
Salah seorang petani cabai di Pleret, Narto mengaku saat ini sudah mulai masa panen. Setidaknya dia sudah memetik dua kali dan setiap kilogramnya hanya laku Rp4.000, jauh di bawah harga pokok produksi.
“Idealnya sama dengan harga bensin, kalau di bawah itu jelas kita rugi,” jelas Narto di Pleret, Senin (19/5/2014).
Biaya budidaya tanaman cabai cukup mahal karena adanya harga pupuk, pestisida dan biaya perawatan. Selain itu, setiap hari petani harus menyiram cabai dua kali menggunakan mesin diesel. Praktis dalam sekali siram mereka harus mengeluarkan anggaran untuk membeli
bensin. Belum lagi dalam setiap petik juga harus mengeluarkan biaya tenaga buruh petik.
Rendahnya harga cabai akibat masa panen bersamaan dengan daerah lain. Hal ini selalu membuat harga cabai di pasar anjlok. Satu-satunya harapan adalah masa panen di daerah lain segera berakhir.Pasalnya, masa panen cabai pesisir lebih panjang dibanding panen cabai di lahan persawahan.
“Di Banyuwangi dan Wonosobo juga panen raya,” jelasnya.
Pedagang cabai Aris Mustofa, mengaku dirinya hanya berani membeli cabai dengan harga sekitar Rp3.300 per kg. Dengan harga sebesar ini, dia mengaku merugi. Namun demi menjaga hubungan baik dengan langganan pasar dan petani, dia tetap membelinya.
Sementara stok cabai di Pasar Induk Jakarta saat ini, menurut dia, cukup melimpah. Dari Kulonprogo setiap harinya bisa memproduksi 40 ton per hari, Kudus 70 ton per hari, Garut 20 ton per hari dan Temanggung sekitar 70 ton per hari.
"Belum lagi pasar disana juga mendapatkan pasokan dari sejumlah daerah di Sumatera. Sebenarnya kita rugi karena kita butuh pengemasan dan transpor,” ujarnya.
Aris sendiri mengaku tetap mengirim cabai sampai ke Sumatera. Itu dilakukan untuk penyelamatan pasar agar ada jaminan pasar. Pedagang sendiri tidak bisa berbuat banyak karena pasar cabai di Jakarta dibatasi sedangkan stok melimpah.
“Harga ditentukan pasar, pedagang hanya mengikuti,” tandasnya.
Salah seorang petani cabai di Pleret, Narto mengaku saat ini sudah mulai masa panen. Setidaknya dia sudah memetik dua kali dan setiap kilogramnya hanya laku Rp4.000, jauh di bawah harga pokok produksi.
“Idealnya sama dengan harga bensin, kalau di bawah itu jelas kita rugi,” jelas Narto di Pleret, Senin (19/5/2014).
Biaya budidaya tanaman cabai cukup mahal karena adanya harga pupuk, pestisida dan biaya perawatan. Selain itu, setiap hari petani harus menyiram cabai dua kali menggunakan mesin diesel. Praktis dalam sekali siram mereka harus mengeluarkan anggaran untuk membeli
bensin. Belum lagi dalam setiap petik juga harus mengeluarkan biaya tenaga buruh petik.
Rendahnya harga cabai akibat masa panen bersamaan dengan daerah lain. Hal ini selalu membuat harga cabai di pasar anjlok. Satu-satunya harapan adalah masa panen di daerah lain segera berakhir.Pasalnya, masa panen cabai pesisir lebih panjang dibanding panen cabai di lahan persawahan.
“Di Banyuwangi dan Wonosobo juga panen raya,” jelasnya.
Pedagang cabai Aris Mustofa, mengaku dirinya hanya berani membeli cabai dengan harga sekitar Rp3.300 per kg. Dengan harga sebesar ini, dia mengaku merugi. Namun demi menjaga hubungan baik dengan langganan pasar dan petani, dia tetap membelinya.
Sementara stok cabai di Pasar Induk Jakarta saat ini, menurut dia, cukup melimpah. Dari Kulonprogo setiap harinya bisa memproduksi 40 ton per hari, Kudus 70 ton per hari, Garut 20 ton per hari dan Temanggung sekitar 70 ton per hari.
"Belum lagi pasar disana juga mendapatkan pasokan dari sejumlah daerah di Sumatera. Sebenarnya kita rugi karena kita butuh pengemasan dan transpor,” ujarnya.
Aris sendiri mengaku tetap mengirim cabai sampai ke Sumatera. Itu dilakukan untuk penyelamatan pasar agar ada jaminan pasar. Pedagang sendiri tidak bisa berbuat banyak karena pasar cabai di Jakarta dibatasi sedangkan stok melimpah.
“Harga ditentukan pasar, pedagang hanya mengikuti,” tandasnya.
(rna)