Harga Cabai Mahal, Emak-emak Diminta Konsumsi Cabai Olahan dan Tanam Sendiri

Senin, 15 Maret 2021 - 04:37 WIB
loading...
Harga Cabai Mahal, Emak-emak Diminta Konsumsi Cabai Olahan dan Tanam Sendiri
Masyarakat diminta juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Masyarakat diminta juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan. Hal ini agar tidak terpengaruh saat terjadi lonjakan harga cabai seperti saat ini, dimana harga cabai rawit merah menyentuh angka Rp120.000 per kilogram (Kg).

"Sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran," ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian (Kementan), Tommy Nugraha di Jakarta, Minggu (14/3).



Ia juga menerangkan, terus memberikan edukasi agar masyarakat mengkonsumsi cabai olahan. "Kita terus mengedukasi masyarakat untuk mengkonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus), sehingga tidak tergantung kepada cabai segar," katanya.

Ditekankan juga oleh Tommy bahwa, pada bulan April depan diprediksi pasokan sudah aman sehingga tidak perlu adanya impor cabai. "Data Early Warning System (EWS) kita menunjukkan neraca produksi cabai rawit surplus sebesar 42 ribu ton di bulan April dan 48 ribu ton di bulan Mei," ungkapnya.



Ditegaskan juga olehnya saat ini Kementerian Pertanian dan BUMN sebagai off taker akan mendorong petani menerapkan inovasi rainshelter untuk melakukan tanam pada bulan off season (Juli-Agustus). Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan Pemerintah.

Sebelumnya harga cabai rawit mengalami kenaikan dipacunpasokan yang berkurang akibat berbagai faktor. Mulai dari berkurangnya pertanaman karena rendahnya harga sepanjang tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Ditambah dengan faktor cuaca ekstrim (La Nina) yang menganggu produksi hingga bencana alam yang merusak pertanaman di beberapa wilayah sentra produksi.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1357 seconds (0.1#10.140)