DPR Desak Pemerintah Terapkan Aturan Hunian Berimbang
A
A
A
JAKARTA - Komisi V DPR mendesak pemerintah mengimplementasikan aturan tentang hunian berimbang sebagaimana diamanatkan UU No 1/2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman (PKP).
Hal ini untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pemerintah juga diminta memberikan insentif bagi pengembang yang menyediakan rumah tapak bagi MBR dan memberikan sanksi kepada pengembang yang mengabaikan aturan mengenai hunian berimbang itu.
Anggota DPR RI Komisi V Sigit Sosiantomo mengungkapkan, konsep hunian berimbang sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No 1/2011 yang mewajibkan setiap orang/badan usaha yang membangun perumahan dan kawasan pemukiman dengan jumlah minimal 50 unit untuk membangun hunian berimbang dengan komposisi yaitu 3:2:1, yaitu tiga rumah sederhana, dua rumah menengah dan satu rumah mewah, belum berjalan.
"Baglock perumahan khususnya bagi MBR seharusnya bisa dikurangi jika kebijakan pemerintah disektor perumahan sudah sesuai dengan aturan yang ada. Dalam pasal 34 UU PKP, jelas disebutkan adanya kewajiban pengembang untuk membangun hunian berimbang," kata dia dalam rilisnya, Senin (2/6/2014).
Konsep hunian berimbang, kata Sigit adalah perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah menegah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial.
"Tapi, sepertinya aturan ini diabaikan karena faktanya yang banyak dibangun justru rumah-rumah mewah seperti yang banyak diiklankan di televisi dan media cetak. Akibatnya, pemenuhan papan bagi MBR terabaikan," katanya.
Atas konsep ini diharapkan baglock perumahan yang diperkirakan BPS mencapai mencapai 15 juta unit pada 2014 dapat segera dikurangi. Untuk mengurangi baglock perumahan tersebut, Sigit meminta agar pemerintah dan pemda memberikan insentif dan penerapan sanksi tegas kepada pengembang besar yang sudah dan belum menerapkan konsep ini.
"Permenpera No 10/2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang mewajibkan pada pengembang yang akan membangun minimal 50 unit rumah untuk menyediakan hunian berimbang," tambahnya.
Tidak hanya untuk rumah tapak, konsep hunian berimbang juga berlaku untuk rumah susun. Hunian berimbang rumah susun merupakan perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah susun komersial dan rumah susun umum.
"Tapi, sesuai pengakuan DPP Apersi tadi, hampir tidak ada pengembang besar yang mau membangun konsep hunian berimbang ini. Akibatnya baglock perumahan khususnya untuk MBR dari sector informal makin lebar," kata dia.
Hunian berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Rumah susun umum tersebut dapat dibangun pada bangunan terpisah bangunan rumah susun komersial atau dibangun dalam satu hamparan dengan rumah susun komersial.
Namun, faktanya pengembang lebih tertarik membangun rumah menengah dan mewah serta apartemen karena keuntungan yang menjanjikan.
Sementara pengawasan dari pemerintah akan kewajiban membangun hunian berimbang juga lemah. Akibatnya, seperti diberitakan lonjakan harga rumah di Tanah Air telah memperlebar jurang pemenuhan papan antara masyarakat berpenghasilan atas dan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Seharusnya pemerintah melakukan pengendalian atas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pengembang yang melanggar aturan tentang hunian berimbang harus diberikan sanksi sesuai dengan aturan. Kalau ini dilaksanakan dengan baik, tentu baglock perumahan sedikit-sedikit bisa diatasi," ujar Sigit.
Karena itu, untuk mengendalikan menjamurnya perumahan mewah dan mendorong pengembang membangun rumah sederhana, Sigit meminta pemerintah melaksanakan fungsi pengendalian dengan memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 150 UU PKP.
Sesuai pasal 150 UU PKP, sanksi administratif atas pelanggaran terhadap hunian berimbang dapat berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan pembangunan, penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel), pencabutan izin mendirikan bangunan sampai pengenaan denda administratif dan/atau penutupan lokasi.
Hal ini untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pemerintah juga diminta memberikan insentif bagi pengembang yang menyediakan rumah tapak bagi MBR dan memberikan sanksi kepada pengembang yang mengabaikan aturan mengenai hunian berimbang itu.
Anggota DPR RI Komisi V Sigit Sosiantomo mengungkapkan, konsep hunian berimbang sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No 1/2011 yang mewajibkan setiap orang/badan usaha yang membangun perumahan dan kawasan pemukiman dengan jumlah minimal 50 unit untuk membangun hunian berimbang dengan komposisi yaitu 3:2:1, yaitu tiga rumah sederhana, dua rumah menengah dan satu rumah mewah, belum berjalan.
"Baglock perumahan khususnya bagi MBR seharusnya bisa dikurangi jika kebijakan pemerintah disektor perumahan sudah sesuai dengan aturan yang ada. Dalam pasal 34 UU PKP, jelas disebutkan adanya kewajiban pengembang untuk membangun hunian berimbang," kata dia dalam rilisnya, Senin (2/6/2014).
Konsep hunian berimbang, kata Sigit adalah perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah menegah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial.
"Tapi, sepertinya aturan ini diabaikan karena faktanya yang banyak dibangun justru rumah-rumah mewah seperti yang banyak diiklankan di televisi dan media cetak. Akibatnya, pemenuhan papan bagi MBR terabaikan," katanya.
Atas konsep ini diharapkan baglock perumahan yang diperkirakan BPS mencapai mencapai 15 juta unit pada 2014 dapat segera dikurangi. Untuk mengurangi baglock perumahan tersebut, Sigit meminta agar pemerintah dan pemda memberikan insentif dan penerapan sanksi tegas kepada pengembang besar yang sudah dan belum menerapkan konsep ini.
"Permenpera No 10/2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang mewajibkan pada pengembang yang akan membangun minimal 50 unit rumah untuk menyediakan hunian berimbang," tambahnya.
Tidak hanya untuk rumah tapak, konsep hunian berimbang juga berlaku untuk rumah susun. Hunian berimbang rumah susun merupakan perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah susun komersial dan rumah susun umum.
"Tapi, sesuai pengakuan DPP Apersi tadi, hampir tidak ada pengembang besar yang mau membangun konsep hunian berimbang ini. Akibatnya baglock perumahan khususnya untuk MBR dari sector informal makin lebar," kata dia.
Hunian berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Rumah susun umum tersebut dapat dibangun pada bangunan terpisah bangunan rumah susun komersial atau dibangun dalam satu hamparan dengan rumah susun komersial.
Namun, faktanya pengembang lebih tertarik membangun rumah menengah dan mewah serta apartemen karena keuntungan yang menjanjikan.
Sementara pengawasan dari pemerintah akan kewajiban membangun hunian berimbang juga lemah. Akibatnya, seperti diberitakan lonjakan harga rumah di Tanah Air telah memperlebar jurang pemenuhan papan antara masyarakat berpenghasilan atas dan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Seharusnya pemerintah melakukan pengendalian atas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pengembang yang melanggar aturan tentang hunian berimbang harus diberikan sanksi sesuai dengan aturan. Kalau ini dilaksanakan dengan baik, tentu baglock perumahan sedikit-sedikit bisa diatasi," ujar Sigit.
Karena itu, untuk mengendalikan menjamurnya perumahan mewah dan mendorong pengembang membangun rumah sederhana, Sigit meminta pemerintah melaksanakan fungsi pengendalian dengan memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 150 UU PKP.
Sesuai pasal 150 UU PKP, sanksi administratif atas pelanggaran terhadap hunian berimbang dapat berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan pembangunan, penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel), pencabutan izin mendirikan bangunan sampai pengenaan denda administratif dan/atau penutupan lokasi.
(izz)