Pengusaha Mal Tolak Kenaikan TDL
A
A
A
JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DPD DKI Jakarta Ellen Hidayat menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang berlaku mulai Mei 2014.
"Jadi kami terus terang menolak sebenarnya untuk kenaikan ini," ujar dia usai konferensi pers Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2014 di Kota Kasablanka, Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Dia menuturkan, anggotanya banyak yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif listrik tersebut. Pasalnya, tahun lalu, golongan B3 yang merupakan kategori bisnis di atas 200 kilovolt (kVa) sudah mengalami kenaikan hampir 27,5%. Sementara sekarang kembali naik 13,13%.
"Bayangkan yang dulunya kami, mal membayar Rp3,6 miliar per bulan, itu sekarang sudah mencapai Rp4,167 miliar per bulan. Ini kenaikan yang bukan main," imbuh dia.
Sehingga, lanjut Ellen, dengan terpaksa pihaknya membebankan ini kepada para tenants. Sesudah itu tenants akan membebankan pada harga produk, pada akhirnya membebankan konsumen.
"Jadilah ini produk berbiaya tinggi. Ini untuk pusat belanja, kami sebenarnya berat sekali apalagi untuk pusat belanja yang B3. Ini kan dilihat dari tiga faktor. Harga crude oil, USD, dan sebagainya. Kemudian ini akan ditinjau tiap bulan, yang kami khawatirkan akan menggulung," terang dia.
Menurutnya, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) kembali terdepresiasi bulan depan, harga crude oil juga naik. Hal ini menjadikan kenaikan lebih tinggi lagi.
"Nah, ini yang memberatkan dan merepotkan pusat belanja kalau tiap bulan harus melakukan peninjauan terhadap TDL. Itu benar-benar repot buat kami, karena tenants di pusat belanja itu minimal 250-300 tenants yang berdagang di satu pusat belanja. Bayangkan repotnya kita harus mengatur perubahan tarif ini," pungkasnya.
"Jadi kami terus terang menolak sebenarnya untuk kenaikan ini," ujar dia usai konferensi pers Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2014 di Kota Kasablanka, Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Dia menuturkan, anggotanya banyak yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif listrik tersebut. Pasalnya, tahun lalu, golongan B3 yang merupakan kategori bisnis di atas 200 kilovolt (kVa) sudah mengalami kenaikan hampir 27,5%. Sementara sekarang kembali naik 13,13%.
"Bayangkan yang dulunya kami, mal membayar Rp3,6 miliar per bulan, itu sekarang sudah mencapai Rp4,167 miliar per bulan. Ini kenaikan yang bukan main," imbuh dia.
Sehingga, lanjut Ellen, dengan terpaksa pihaknya membebankan ini kepada para tenants. Sesudah itu tenants akan membebankan pada harga produk, pada akhirnya membebankan konsumen.
"Jadilah ini produk berbiaya tinggi. Ini untuk pusat belanja, kami sebenarnya berat sekali apalagi untuk pusat belanja yang B3. Ini kan dilihat dari tiga faktor. Harga crude oil, USD, dan sebagainya. Kemudian ini akan ditinjau tiap bulan, yang kami khawatirkan akan menggulung," terang dia.
Menurutnya, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) kembali terdepresiasi bulan depan, harga crude oil juga naik. Hal ini menjadikan kenaikan lebih tinggi lagi.
"Nah, ini yang memberatkan dan merepotkan pusat belanja kalau tiap bulan harus melakukan peninjauan terhadap TDL. Itu benar-benar repot buat kami, karena tenants di pusat belanja itu minimal 250-300 tenants yang berdagang di satu pusat belanja. Bayangkan repotnya kita harus mengatur perubahan tarif ini," pungkasnya.
(izz)