Industri Manufaktur Terhambat Distribusi dan Logistik
A
A
A
BANDUNG - Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia termasuk Jabar masih terhambat. Di antara penyebabnya adalah kevakuman perkembangan infrastruktur yang juga mengakibatkan tingginya biaya operasional, terutama logistik.
“Kevakuman perkembangan fasilitas infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan bagi sektor industri sangat berpengaruh. Terutama dalam hal sistem pendistribusian dan logistik," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, pada Seminar Internasional “Growth Strategies for a Rising Indonesia” di Seminar Room Gedung Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNPAD, Jalan Dipati Ukur Bandung, Selasa (9/9/2014).
Mahalnya biaya operasional, kata dia, berpotensi menyebabkan daya saing industri nasional melemah karena harga jual produk pun menjadi tinggi. Hambatan lainnya, sambung dia, berkenaan dengan sistem transportasi yang lebih massal.
“Pemanfaatan kereta api (KA) dapat menjadi pemecah persoalan sistem trasnportasi. Sayangnya sejauh ini belum terwujud,” katanya.
Meski begitu, dunia industri di Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan daya saing. Menurutnya, ada beberapa strategi untuk meningkatkan daya saing. Di antaranya, melalui sistem pengelolaan sumber energi yang komprehensif, terintegrasi, dan terukur, yang menomorsatukan kepentingan nasional.
“Lakukan revitalisasi dan optimalisasi produk turunan minyak bumi dan gas (migas) alam sebagai bahan baku industri manufaktur,” katanya.
Selain itu, harus ada penyertaan modal pemerintah bagi jenis industri yang orientasi bisnisnya masih minim, tetapi punya peran besar memperkuat struktur industri nasional.
"Juga mendirikan industri pembiayaan bahan baku atau penolong, yang selama ini ketersediaannya masih kurang dan tidak lagi diproduksi di dalam negeri," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah pun perlu menambah program restrukturisasi dan revitalisasi industri padat karya. Termasuk mengidentifikasi sejumlah kebijakan yang kontra produktif dengan pertumbuhan industri.
Pada kesempatan yang lain, Direktur Keuangan dan Analis Moneter Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Sidqy LP Suyitno mengatakan, keberadaan industri skala mikro punya peran besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Itu terlihat pada jumlah industri skala mikro yang mendominasi sektor perindustrian nasional.
Menurutnya, hingga 2011 jumlah industri mikro melebihi industri skala kecil, menengah, dan besar. Secara nasional, industri skala mikro mencapai 2.554.787 unit. Angka itu melebihi industri kecil yang jumlahnya 426.284 unit, skala menengah sebanyak 16.295 unit, dan skala besar sebesar 7.075 unit.
“Jika mengacu pada persebarannya, industri skala kecil, menengah, dan besar, pada 2012, mayoritas berlokasi di Jawa. Persentasenya, mencapai 70%. Sementara 30% lainnya tersebar di kawasan lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” katanya.
Dia menambahkan, Jatim menjadi provinsi terbanyak memberikan kontribusi angka pelaku industri skala kecil, menengah, dan besar (IKM). Jumlah pelaku IKM di provinsi tersebut mencapai 800.427 unit. Jateng berada di posisi kedua dengan jumlah pelaku IKM sebanyak 780.170 unit.
"Jabar berada pada posisi berikutnya dengan jumlah sebanyak 482,738 unit," katanya.
Lebih lanjut dia menyarankan, agar perindustrian di tanah air terus bergerak tumbuh, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pengembangan wilayah industri terutama di luar Jawa.
“Populasi dan penyebaran industri juga harus lebih merata. Termasuk meningkatkan daya saing dan produktivitas industri," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah harus melakukan revitalisasi permesinan untuk industri padat karya dan yang berorientasi ekspor. Pemerintah juga harus mendorong kompetensi para tenaga kerja agar lebih berdaya saing sekaligus untuk mendongkrak kualitas produk.
“Selain itu, konsen kebijakan lainnya adalah meningkatkan optimalisasi fasilitas pemanfaatan teknologi proses dan produk. Serta melakukan alih teknologi dan mengembangkan kemampuan desain produk," katanya.
“Kevakuman perkembangan fasilitas infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan bagi sektor industri sangat berpengaruh. Terutama dalam hal sistem pendistribusian dan logistik," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, pada Seminar Internasional “Growth Strategies for a Rising Indonesia” di Seminar Room Gedung Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNPAD, Jalan Dipati Ukur Bandung, Selasa (9/9/2014).
Mahalnya biaya operasional, kata dia, berpotensi menyebabkan daya saing industri nasional melemah karena harga jual produk pun menjadi tinggi. Hambatan lainnya, sambung dia, berkenaan dengan sistem transportasi yang lebih massal.
“Pemanfaatan kereta api (KA) dapat menjadi pemecah persoalan sistem trasnportasi. Sayangnya sejauh ini belum terwujud,” katanya.
Meski begitu, dunia industri di Indonesia masih berpeluang untuk meningkatkan daya saing. Menurutnya, ada beberapa strategi untuk meningkatkan daya saing. Di antaranya, melalui sistem pengelolaan sumber energi yang komprehensif, terintegrasi, dan terukur, yang menomorsatukan kepentingan nasional.
“Lakukan revitalisasi dan optimalisasi produk turunan minyak bumi dan gas (migas) alam sebagai bahan baku industri manufaktur,” katanya.
Selain itu, harus ada penyertaan modal pemerintah bagi jenis industri yang orientasi bisnisnya masih minim, tetapi punya peran besar memperkuat struktur industri nasional.
"Juga mendirikan industri pembiayaan bahan baku atau penolong, yang selama ini ketersediaannya masih kurang dan tidak lagi diproduksi di dalam negeri," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah pun perlu menambah program restrukturisasi dan revitalisasi industri padat karya. Termasuk mengidentifikasi sejumlah kebijakan yang kontra produktif dengan pertumbuhan industri.
Pada kesempatan yang lain, Direktur Keuangan dan Analis Moneter Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Sidqy LP Suyitno mengatakan, keberadaan industri skala mikro punya peran besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Itu terlihat pada jumlah industri skala mikro yang mendominasi sektor perindustrian nasional.
Menurutnya, hingga 2011 jumlah industri mikro melebihi industri skala kecil, menengah, dan besar. Secara nasional, industri skala mikro mencapai 2.554.787 unit. Angka itu melebihi industri kecil yang jumlahnya 426.284 unit, skala menengah sebanyak 16.295 unit, dan skala besar sebesar 7.075 unit.
“Jika mengacu pada persebarannya, industri skala kecil, menengah, dan besar, pada 2012, mayoritas berlokasi di Jawa. Persentasenya, mencapai 70%. Sementara 30% lainnya tersebar di kawasan lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” katanya.
Dia menambahkan, Jatim menjadi provinsi terbanyak memberikan kontribusi angka pelaku industri skala kecil, menengah, dan besar (IKM). Jumlah pelaku IKM di provinsi tersebut mencapai 800.427 unit. Jateng berada di posisi kedua dengan jumlah pelaku IKM sebanyak 780.170 unit.
"Jabar berada pada posisi berikutnya dengan jumlah sebanyak 482,738 unit," katanya.
Lebih lanjut dia menyarankan, agar perindustrian di tanah air terus bergerak tumbuh, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pengembangan wilayah industri terutama di luar Jawa.
“Populasi dan penyebaran industri juga harus lebih merata. Termasuk meningkatkan daya saing dan produktivitas industri," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah harus melakukan revitalisasi permesinan untuk industri padat karya dan yang berorientasi ekspor. Pemerintah juga harus mendorong kompetensi para tenaga kerja agar lebih berdaya saing sekaligus untuk mendongkrak kualitas produk.
“Selain itu, konsen kebijakan lainnya adalah meningkatkan optimalisasi fasilitas pemanfaatan teknologi proses dan produk. Serta melakukan alih teknologi dan mengembangkan kemampuan desain produk," katanya.
(gpr)