Keberadaan SKK Migas Dinilai Masih Diperlukan
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Energi dari ReforMiners Institute Komaidi Notonegoro menilai keberadaan semacam Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masih diperlukan dalam sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kegiatan pertambangan migas.
Menurut dia, keberadaan lembaga tersebut juga telah diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1971 meskipun berbentuk unit tersendiri di dalam internal PT Pertamina (Persero). Namun, dia mengakui, bentuk lembaga tersebut perlu diformulasikan agar sesuai konstitusi dan lebih efektif.
Komaidi menambahkan, idealnya lembaga yang menjalankan kontrak bisnis bentuknya adalah badan usaha agar lebih lincah dan fleksibel dalam mengambil keputusan.
"Jika bentuknya badan pemerintah akan cenderung birokratis dan prosedural," ujarnya, di Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas J Widjonarko mengatakan, pihaknya akan mengikuti bentuk badan pelaksana yang sesuai dengan konstitusi.
"Saat ini, sedang dibahas UU yang mengatur tata kelola hulu migas agar lebih baik. Kami ikuti saja nanti bentuk institusinya seperti apa," katanya.
Sementara Ketua Komisi VII DPR Milton Pakpahan menilai fungsi dan kewenangan badan pelaksana hulu minyak dan gas bumi harus tetap ada.
"Kalau tidak ada, siapa yan mengawasi? Tidak mungkin pemerintah. Harus entitas yang sesuai," katanya.
Menurut dia, badan pelaksana tersebut nantinya harus lebih kuat dibandingkan SKK Migas. Oleh karena itu, dia tidak setuju adanya pembubaran fungsi dan kewenangan SKK Migas.
"Sesuatu yang baik kenapa mesti dibubarkan?" katanya.
Milton mengatakan, penguatan badan pelaksana bisa dilakukan dengan memberikan wewenang melakukan kesepakatan bisnis dengan KKKS.
"Dengan demikian, badan pelaksana lebih kuat dan memberikan kepastian usaha bagi kegiatan hulu migas," katanya.
Selain itu, dengan anggaran masuk dalam APBN mulai 2015 dan juga pengawasan DPR, maka badan pelaksana akan lebih baik.
Menurut dia, keberadaan lembaga tersebut juga telah diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1971 meskipun berbentuk unit tersendiri di dalam internal PT Pertamina (Persero). Namun, dia mengakui, bentuk lembaga tersebut perlu diformulasikan agar sesuai konstitusi dan lebih efektif.
Komaidi menambahkan, idealnya lembaga yang menjalankan kontrak bisnis bentuknya adalah badan usaha agar lebih lincah dan fleksibel dalam mengambil keputusan.
"Jika bentuknya badan pemerintah akan cenderung birokratis dan prosedural," ujarnya, di Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas J Widjonarko mengatakan, pihaknya akan mengikuti bentuk badan pelaksana yang sesuai dengan konstitusi.
"Saat ini, sedang dibahas UU yang mengatur tata kelola hulu migas agar lebih baik. Kami ikuti saja nanti bentuk institusinya seperti apa," katanya.
Sementara Ketua Komisi VII DPR Milton Pakpahan menilai fungsi dan kewenangan badan pelaksana hulu minyak dan gas bumi harus tetap ada.
"Kalau tidak ada, siapa yan mengawasi? Tidak mungkin pemerintah. Harus entitas yang sesuai," katanya.
Menurut dia, badan pelaksana tersebut nantinya harus lebih kuat dibandingkan SKK Migas. Oleh karena itu, dia tidak setuju adanya pembubaran fungsi dan kewenangan SKK Migas.
"Sesuatu yang baik kenapa mesti dibubarkan?" katanya.
Milton mengatakan, penguatan badan pelaksana bisa dilakukan dengan memberikan wewenang melakukan kesepakatan bisnis dengan KKKS.
"Dengan demikian, badan pelaksana lebih kuat dan memberikan kepastian usaha bagi kegiatan hulu migas," katanya.
Selain itu, dengan anggaran masuk dalam APBN mulai 2015 dan juga pengawasan DPR, maka badan pelaksana akan lebih baik.
(rna)