Jepang Alami Defisit Perdagangan Rp105,6 T
A
A
A
TOKYO - Jepang mencatat defisit perdagangan USD8,8 miliar atau Rp105,6 triliun (kurs Rp12.000/USD) pada Agustus 2014. Data ini sebagai penurunan dalam 26 bulan berturut-turut.
Dilansir dari Xinhua, Kamis (18/9/2014), ekspor turun 1,3% dari tahun sebelumnya menjadi 5,71 triliun yen (USD53,3 miliar), sedangkan impor turun 1,5% menjadi 6,65 triliun yen (USD62,1 miliar). Defisit sedikit lebih rendah dari kesenjangan sebesar 971,4 miliar yen pada Agustus 2013.
Melemahnya nilai yen Jepang sejauh ini gagal memacu rebound ekspor, meskipun pemulihan di Amerika Serikat dan Eropa baru lahir. Pertumbuhan lebih lambat juga terjadi di China, mitra dagang terbesar Jepang.
Kondisi ini semakin parah, belanja konsumen di Jepang melemah sejak 1 April, menyusul diberlakukannya pajak penjualan.
Ekspor Jepang ke China turun 0,2% dari tahun sebelumnya menjadi 1,12 triliun yen (USD10,4 miliar) sedangkan impor turun 5,3% menjadi 1,35 triliun yen (USD12,6 miliar), menghasilkan defisit 233,9 miliar yen (USD2,2 miliar).
Ekspor ke AS turun 4,4%, karena pengiriman mobil tersendat, sebesar 1 triliun yen (USD9,5 miliar), meskipun impor dari Amerika Serikat melonjak hampir 11% menjadi 637,1 miliar yen (USD5,9 miliar).
Ekspor kendaraan, elektronik dan kimia turun, serta impor batu bara dan minyak mentah lebih rendah.
Yoshiro Sato dari Credit Agricole mengatakan, pertumbuhan kuat di AS mungkin penting untuk pemulihan Jepang, meskipun sejauh ini telah berdampak kecil terhadap ekspor.
"Sepertinya kita tidak bisa berharap terlalu banyak pemulihan ekspor ke China dan Zona Euro. Untuk jangka pendek prospek neraca perdagangan akan semakin tergantung pada bagaimana ekspor ke AS akan keluar," ujarnya.
Dilansir dari Xinhua, Kamis (18/9/2014), ekspor turun 1,3% dari tahun sebelumnya menjadi 5,71 triliun yen (USD53,3 miliar), sedangkan impor turun 1,5% menjadi 6,65 triliun yen (USD62,1 miliar). Defisit sedikit lebih rendah dari kesenjangan sebesar 971,4 miliar yen pada Agustus 2013.
Melemahnya nilai yen Jepang sejauh ini gagal memacu rebound ekspor, meskipun pemulihan di Amerika Serikat dan Eropa baru lahir. Pertumbuhan lebih lambat juga terjadi di China, mitra dagang terbesar Jepang.
Kondisi ini semakin parah, belanja konsumen di Jepang melemah sejak 1 April, menyusul diberlakukannya pajak penjualan.
Ekspor Jepang ke China turun 0,2% dari tahun sebelumnya menjadi 1,12 triliun yen (USD10,4 miliar) sedangkan impor turun 5,3% menjadi 1,35 triliun yen (USD12,6 miliar), menghasilkan defisit 233,9 miliar yen (USD2,2 miliar).
Ekspor ke AS turun 4,4%, karena pengiriman mobil tersendat, sebesar 1 triliun yen (USD9,5 miliar), meskipun impor dari Amerika Serikat melonjak hampir 11% menjadi 637,1 miliar yen (USD5,9 miliar).
Ekspor kendaraan, elektronik dan kimia turun, serta impor batu bara dan minyak mentah lebih rendah.
Yoshiro Sato dari Credit Agricole mengatakan, pertumbuhan kuat di AS mungkin penting untuk pemulihan Jepang, meskipun sejauh ini telah berdampak kecil terhadap ekspor.
"Sepertinya kita tidak bisa berharap terlalu banyak pemulihan ekspor ke China dan Zona Euro. Untuk jangka pendek prospek neraca perdagangan akan semakin tergantung pada bagaimana ekspor ke AS akan keluar," ujarnya.
(dmd)