Kadin Ungkapkan Faktor Menghambat di Sektor Migas
A
A
A
JAKARTA - Komisioner Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Firlie Ganinduto mengatakan, ada beberapa poin yang menghantam sektor migas Indonesia bahkan sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang menghambat laju migas dalam negeri.
"Iklim industri migas itu masih terhambat di masalah geologi. Struktur geologi dan alam itu jadi hambatan dari alam. Kemudian masalah non teknis juga mempengaruhi, khusunya kepastian hukum. Selalu aja masalah itu dari dulu enggak selesai," ujarnya di FX Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Firlie mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam revisi UU Migas tak kunjung ada kepastian. Pasalnya, sampai detik ini belum ada usaha dari pemerintah yang konkrit untuk merevisi UU Migas.
"Ini kan getir ya. Sedangkan kegiatan kami adalah backbone-nya dari usaha migas ini. Kerena usaha migas butuh modal besar. Tentunya pengusaha migas menginginkan kepastian hukum dengan adanya satu UU yang bisa menjamin kita. Ini isu yg sangat vital. Dan saya heran kenapa dari pihak pemerintah tidak merevisi ini," ujar dia.
Selain itu, lanjut Firlie, masalah badan pengawas yang tentunya sangat diperlukan. Menurutnya BP migas dan SKK migas harus tetap berdiri. Karena jika dihapus, akan balik ke masa lalu, pada waktu penetapan BP Migas, ini membutuhkan waktu 5 tahun untuk menginvestasikan dana mereka untuk usaha migas.
"Kemudian masalah cost recovery, kemarin kan ada pemangkasan cost recovery dari USD17,8 miliar jadi USD16 miliar. Sementara itu, DPR menargetkan 900 barel perhari. Ini enggak logis. Karena yang dipotong adalah biaya untuk produksi. Kalau kita menaikkan cost recovery, proyek-proyek yang 2016, bisa ditarik ke 2015," ujarnya.
Yang terakhir adalah masalah produksi vs konsumsi. Permasalahannya adalah, refinery di Indonesia yang tidak mencukupi. "Konsumsi naik, butuh impor minyak dari luar. Ini memang terasosiasi oleh mafia migas. Kalau refinery sudah ada di Indonesia, impor migas akan berkurang," tandasnya.
"Iklim industri migas itu masih terhambat di masalah geologi. Struktur geologi dan alam itu jadi hambatan dari alam. Kemudian masalah non teknis juga mempengaruhi, khusunya kepastian hukum. Selalu aja masalah itu dari dulu enggak selesai," ujarnya di FX Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Firlie mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam revisi UU Migas tak kunjung ada kepastian. Pasalnya, sampai detik ini belum ada usaha dari pemerintah yang konkrit untuk merevisi UU Migas.
"Ini kan getir ya. Sedangkan kegiatan kami adalah backbone-nya dari usaha migas ini. Kerena usaha migas butuh modal besar. Tentunya pengusaha migas menginginkan kepastian hukum dengan adanya satu UU yang bisa menjamin kita. Ini isu yg sangat vital. Dan saya heran kenapa dari pihak pemerintah tidak merevisi ini," ujar dia.
Selain itu, lanjut Firlie, masalah badan pengawas yang tentunya sangat diperlukan. Menurutnya BP migas dan SKK migas harus tetap berdiri. Karena jika dihapus, akan balik ke masa lalu, pada waktu penetapan BP Migas, ini membutuhkan waktu 5 tahun untuk menginvestasikan dana mereka untuk usaha migas.
"Kemudian masalah cost recovery, kemarin kan ada pemangkasan cost recovery dari USD17,8 miliar jadi USD16 miliar. Sementara itu, DPR menargetkan 900 barel perhari. Ini enggak logis. Karena yang dipotong adalah biaya untuk produksi. Kalau kita menaikkan cost recovery, proyek-proyek yang 2016, bisa ditarik ke 2015," ujarnya.
Yang terakhir adalah masalah produksi vs konsumsi. Permasalahannya adalah, refinery di Indonesia yang tidak mencukupi. "Konsumsi naik, butuh impor minyak dari luar. Ini memang terasosiasi oleh mafia migas. Kalau refinery sudah ada di Indonesia, impor migas akan berkurang," tandasnya.
(gpr)