Tiga Dimensi Pemberlakuan Penggunaan Rupiah
A
A
A
JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas mengungkapkan, terdapat tiga dimensi utama yang melandasi pemberlakuan kewajiban penggunaan uang rupiah.
Pertama, dia menuturkan adalah dimensi hukum. Berbagai peraturan, mulai dari UU Mata Uang, UU Lalu Lintas Devisa, Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa uang Rupiah Keluar dan Masuk Wilayah Pabean RI, serta Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang diperdagangkan, juga turut memperkuat landasan hukum penggunaan rupiah di Tanah Air.
"Berbagai ketentuan tersebut baik langsung maupun tidak langsung, juga memperkuat kewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi pembayaran yang dilakukan di Wilayah NKRI, baik yang bersifat tunai maupun non tunai," kata dia dalam rilisnya, Rabu (22/10/2014).
Sementara kedua adalah dimensi kebangsaan. Rupiah merupakan simbol kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, penggunaan mata uang dalam setiap transaksi di wilayah NKRI merupakan hal yang mutlak bagi setiap penduduk.
"Hanya dengan kondisi ini maka rupiah dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri," imbuhnya.
Sedangkan yang ketiga adalah dimensi ekonomi/bisnis. Dia menjelaskan, transaksi valuta asing di dalam negeri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan permintaan valas domestik.
Menurut Ronald, tingginya kebutuhan valas untuk transaksi ekonomi akan menyebabkan ekonomi menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi. Kepercayaan masyarakat domestik dan internasional terhadap rupiah akan menguatkan ketahanan perekonomian nasional pada umumnya, sehingga rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
"Penegakan hukum di bidang penukaran valuta asing sangat penting, terutama mengingat bisnis penukaran valuta asing merupakan jenis usaha yang rawan untuk disalahgunakan." terangnya.
Berbagai bentuk penyalahgunaan tersebut dapat meliputi sarana pencucian uang dan pendanaan teroris, perdagangan narkotik, hingga penyelundupan yang disamarkan seolah-olah bersumber dari bisnis tukar menukar valuta asing.
Dia memaparkan, kota Batam sendiri merupakan salah satu sentra utama kegiatan penukaran valuta asing. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah KUPVA non-bank berizin di Batam yang mencapai 122 badan usaha, atau menempati peringkat kedua terbanyak secara nasional bersama Denpasar.
Dari sisi volume transaksi, hingga September tahun ini, Batam menempati posisi keempat di bawah Jakarta, Denpasar, dan Bandung, dengan kontribusi sebesar (equivalent) Rp683 miliar (4,58%).
Sementara dari sisi temuan uang palsu, berdasarkan catatan BI dan Polri, jumlah uang palsu yang ditemukan di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau hingga September 2014 sebanyak 549 bilyet, jauh menurun dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1666 bilyet.
"Temuan uang palsu di Provinsi Riau dan Kepulaun Riau tersebut berkontribusi sebesar 0,66% secara nasional, atau sekitar 10% terhadap total Sumatera, ketiga terbesar setelah Sumatera Utara dan Bandar Lampung," kata Ronald.
Untuk itu, dalam rangka mencegah berbagai bentuk kejahatan dalam kegiatan usaha penukaran valuta asing tersebut, BI telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.16/15/PBI/2014 tanggal 11 September 2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.
Menurutnya, lahirnya PBI ini akan mendorong penguatan dan pemurnian semua kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia. Selain itu, penerbitan PBI ini juga diharapkan dapat memitigasi potensi risiko dari berbagai bentuk penyalahgunaan dan kejahatan terkait kegiatan penukaran valuta asing.
"Melalui penandatanganan Kesepahaman ini, kami meyakini bahwa penanganan dugaan tindak pidana di bidang Sistem Pembayaran dan KUPVA ke depan dapat berjalan lebih lancar dan efektif, sehingga tujuan kita bersama dalam memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat melalui penciptaan industri sistem pembayaran dan KUPVA yang sehat dan aman, dapat segera terwujud," tandasnya.
Pertama, dia menuturkan adalah dimensi hukum. Berbagai peraturan, mulai dari UU Mata Uang, UU Lalu Lintas Devisa, Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa uang Rupiah Keluar dan Masuk Wilayah Pabean RI, serta Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang diperdagangkan, juga turut memperkuat landasan hukum penggunaan rupiah di Tanah Air.
"Berbagai ketentuan tersebut baik langsung maupun tidak langsung, juga memperkuat kewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi pembayaran yang dilakukan di Wilayah NKRI, baik yang bersifat tunai maupun non tunai," kata dia dalam rilisnya, Rabu (22/10/2014).
Sementara kedua adalah dimensi kebangsaan. Rupiah merupakan simbol kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, penggunaan mata uang dalam setiap transaksi di wilayah NKRI merupakan hal yang mutlak bagi setiap penduduk.
"Hanya dengan kondisi ini maka rupiah dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri," imbuhnya.
Sedangkan yang ketiga adalah dimensi ekonomi/bisnis. Dia menjelaskan, transaksi valuta asing di dalam negeri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan permintaan valas domestik.
Menurut Ronald, tingginya kebutuhan valas untuk transaksi ekonomi akan menyebabkan ekonomi menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi. Kepercayaan masyarakat domestik dan internasional terhadap rupiah akan menguatkan ketahanan perekonomian nasional pada umumnya, sehingga rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
"Penegakan hukum di bidang penukaran valuta asing sangat penting, terutama mengingat bisnis penukaran valuta asing merupakan jenis usaha yang rawan untuk disalahgunakan." terangnya.
Berbagai bentuk penyalahgunaan tersebut dapat meliputi sarana pencucian uang dan pendanaan teroris, perdagangan narkotik, hingga penyelundupan yang disamarkan seolah-olah bersumber dari bisnis tukar menukar valuta asing.
Dia memaparkan, kota Batam sendiri merupakan salah satu sentra utama kegiatan penukaran valuta asing. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah KUPVA non-bank berizin di Batam yang mencapai 122 badan usaha, atau menempati peringkat kedua terbanyak secara nasional bersama Denpasar.
Dari sisi volume transaksi, hingga September tahun ini, Batam menempati posisi keempat di bawah Jakarta, Denpasar, dan Bandung, dengan kontribusi sebesar (equivalent) Rp683 miliar (4,58%).
Sementara dari sisi temuan uang palsu, berdasarkan catatan BI dan Polri, jumlah uang palsu yang ditemukan di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau hingga September 2014 sebanyak 549 bilyet, jauh menurun dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1666 bilyet.
"Temuan uang palsu di Provinsi Riau dan Kepulaun Riau tersebut berkontribusi sebesar 0,66% secara nasional, atau sekitar 10% terhadap total Sumatera, ketiga terbesar setelah Sumatera Utara dan Bandar Lampung," kata Ronald.
Untuk itu, dalam rangka mencegah berbagai bentuk kejahatan dalam kegiatan usaha penukaran valuta asing tersebut, BI telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.16/15/PBI/2014 tanggal 11 September 2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.
Menurutnya, lahirnya PBI ini akan mendorong penguatan dan pemurnian semua kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia. Selain itu, penerbitan PBI ini juga diharapkan dapat memitigasi potensi risiko dari berbagai bentuk penyalahgunaan dan kejahatan terkait kegiatan penukaran valuta asing.
"Melalui penandatanganan Kesepahaman ini, kami meyakini bahwa penanganan dugaan tindak pidana di bidang Sistem Pembayaran dan KUPVA ke depan dapat berjalan lebih lancar dan efektif, sehingga tujuan kita bersama dalam memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat melalui penciptaan industri sistem pembayaran dan KUPVA yang sehat dan aman, dapat segera terwujud," tandasnya.
(rna)