Kerajinan Uang Kepeng Bali, Memadukan Bisnis dan Budaya

Minggu, 26 Oktober 2014 - 18:57 WIB
Kerajinan Uang Kepeng Bali, Memadukan Bisnis dan Budaya
Kerajinan Uang Kepeng Bali, Memadukan Bisnis dan Budaya
A A A
Siapa tak mengenal Bali? Selain termasyhur keindahan alamnya, Bali juga mendunia berkat seni budayanya. Dari Pulau Dewata ini pula beragam karya seni cantik dan unik dihasilkan.

Di tengah perkembangan teknologi yang sangat pesat, masyarakat Bali seakan tak terpengaruh dan tetap lekat dengan seni budayanya. Dari situ pula karya-karya unik tercipta. Adalah I Gde Andhika Prayatna Sukma, salah satu anak muda dari Bali, yang menggabungkan bisnis dengan karya seni lokal nan unik. Selama 10 tahun, dia berkecimpung di industri kerajinan uang kepeng Bali.

“Industri Kepeng Kamasan Bali ini berdiri pada 29 April 2004 dan ini merupakan bisnis yang saya teruskan dari ayah saya, Made Sukma Suacita,” tuturnya kepada KORAN SINDOpada pameran Pasar Indonesia di Jakarta Convention Center (JCC) kemarin.

Andhika menjelaskan, awal mula industri ini bukanlah bisnis semata, melainkan yadnya yang artinya karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena panggilan kehidupan yang didasarkan dharma, sesuai dengan ajaran Hindu. Menurut dia, uang kepeng awalnya dipakai sebagai alat upacara. Uang kepeng tersebut awalnya diimpor warga Bali dari China. Namun pada 2003 akhirnya pemerintah memiliki ide untuk membuat uang kepeng lokal bermotif Bali yang kemudian diinisiasi Bali Heritage Trust (BHT).

“Karena kita di Bali tiada henti menggunakan uang kepeng, baik itu untuk upacara pembangunan pura, pernikahan maupun lain-lain. Semua upacara yang berkaitan dengan Hindu di Bali itu harus menggunakan uang kepeng,” paparnya. Selanjutnya, setelah diproduksi secara lokal, mulailah berkembang kerajinan menggunakan uang kepeng tersebut sebagai suvenir serta aksesori lain.

Andhika menjelaskan, bahan uang kepeng Bali tersebut tidak sembarangan. Bali mengenalnya dengan nama pancadatu (lima jenis logam), yaitu emas, perak, kuningan, besi, dan tembaga, yang dilebur menggunakan cara pembuatan yang masih tradisional. Cara ini, menurut dia, membuat uang kepeng menjadi barang bernilai seni tinggi. Di bengkel kerjanya di Jalan Br Jelantik Kuri Batu, Desa Tojan, Klungkung, Bali, Andhika dan 45 perajin lainnya dapat memproduksi 5.000 keping uang kepeng sehari.

“Ini merupakan budaya yang bisa dijadikan produk unik dan akhirnya dengan kreativitas yang kita miliki, uang kepeng menjadi sebuah karya seni seperti hiasan dinding, pajangan meja, suvenir, gelang, dan sebagainya,” urainya. Soal harga setiap produk, menurut dia, beragam bergantung pada tingkat kerumitan dan jumlah uang kepeng yang digunakan.

Tak hanya menyasar pasar lokal, lanjut Andhika, kerajinan uang kepeng ini pun kini sudah merambah Eropa dan China. Beragam penghargaan pun telah didapatkan dari pemerintah, antara lain penghargaan Kualitas dan Produktivitas Paramakarya, Upakarti, penghargaan Prima Mutu, serta penghargaan Green Industry. Namun Andhika mengakui, pemasaran masih menjadi salah satu kendala untuk mengembangkan usaha ini.

Meski begitu Andhika tak menyerah atas tantangan tersebut. Melalui karya unik ini, dia ingin budaya daerah bisa terangkat. Dia pun berharap pemerintah dapat membantu pemasaran karya unik ini di masa depan. “Karena suatu produk bila pemerintah daerahnya membantu mempromosikannya, ini akan berdampak pula pada budaya daerah tersebut, kan jadi lebih dikenal masyarakat luas,” tuturnya.

Saat ini, lanjut dia, industri uang kepeng Kamasan Bali tengah fokus untuk memperkuat penguasaan pasar lokal. Di sisi lain, para perajin pun tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar bebas ASEAN tahun depan.

“Jadi saya tidak mau sembarangan untuk memasuki pasar luar, saya tidak mau usaha seperti ini kemudian ditiru dan disabotase orang luar,” tandasnya.

Arsy ani s
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6401 seconds (0.1#10.140)