Aktivitas Manufaktur Asia Melemah

Selasa, 04 November 2014 - 18:34 WIB
Aktivitas Manufaktur...
Aktivitas Manufaktur Asia Melemah
A A A
SYDNEY - Aktivitas manufaktur di negara-negara Asia kehilangan momentum dan memerlukan lebih banyak kebijakan stimulus. Data terbaru itu dirilis HSBC kemarin.

Aktivitas manufaktur China menunjukkan level terendah dalam lima bulan, terendah dalam empat bulan bagi Korea Selatan (Korsel) dan 14 bulan terendah bagi Indonesia. Bahkan, sektor jasa di China yang memiliki daya tahan berada di level terendah dalam sembilan bulan saat penurunan sektor properti mengurangi permintaan.

“Kami masih melihat ketidakpastian akibat penurunan sektor properti serta pemulihan global yang lamban, serta proyeksi kebijakan moneter dan fiskal dalam beberapa bulan mendatang,” ungkap Hongbin Qu, kepala ekonom untuk China di HSBC, dikutip kantor berita Reuters. Indeks manajer pembelian (PMI) versi HSBC yang dikompilasikan Markit sebesar 50,4 pada Oktober, dari 50,2 pada September. Meski demikian, pertumbuhan melambat pada output dan pesanan baru, saat sejumlah perusahaan mengurangi jumlah pegawai dalam 12 bulan berturut-turut.

Pemerintah China telah memangkas pajak, mempercepat sejumlah investasi proyek, menawarkan pinjaman jangka pendek untuk perbankan, memerintahkan pemerintah lokal membelanjakan dana mereka, dan mengurangi jumlah deposit yang harus disimpan perbankan sebagai cadangan untuk mendorong kredit. Sejauh ini tingkat suku bunga kredit perumahan yang lebih rendah tidak meningkatkan pasar perumahan secepat yang diharapkan. Adapun, harga mengalami penurunan selama enam bulan berturut-turut pada Oktober, menurut salah satu survei privat.

Laporan aktivitas manufaktur di Jepang juga ditunda karena hari libur, tapi tampaknya akan dibayangi keputusan bank sentral pada akhir pekan ini untuk meningkatkan program pembelian aset dalam skala besar. Ini merupakan kebijakan bank sentral Jepang yang mengejutkan pasar keuangan.

Di sisi lain, muncul perkiraan bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan menyiapkan langkah untuk quantitative easing (QE) meskipun hal itu belum disepakati pada rapat Kamis (6/11) mendatang.

“Dalam lingkungan pertumbuhan yang tenang dan inflasi yang rendah dalam jangka panjang, kami perkirakan ECB mengumumkan pembelian obligasi pemerintah di sejumlah negara zona euro pada awal tahun depan paling cepat,” kata Apolline Menut, analis Barclays.

Outlook itu merupakan salah satu alasan euro menjadi sebesar USD1,2444 kemarin, dan mengapa dolar mencapai level tertinggi dalam tujuh tahun sebesar 112,98 yen.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang relatif membaik juga menjadi bukti dalam survei output manufaktur yang dirilis ISM kemarin, yang memperkirakan indeks sebesar 56,2 pada Oktober. Laporan pembayaran gaji pada Oktober juga memproyeksikan peningkatan solid sekitar 231.000.

Seperti biasa, di Asia, data dari China mendominasi aktivitas perdagangan. “Data resmi PMI China untuk sektor jasa melemah menjadi 53,8 pada Oktober, turun dari September sebesar 54,0, dan data terlemah sejak Januari,” ungkap laporan Biro Statistik Nasional China (NBS).

Dibandingkan data Oktober sebesar 50,8 dan 51,1 pada September, analis memproyeksikan peningkatan menjadi 51,2. Permintaan asing dianggap sebagai penyebab utama, saat indeks untuk pesanan ekspor baru melemah menjadi 49,9 pada Oktober.

Tren yang sama terjadi di Korsel, di mana pesanan ekspor baru turun dalam tiga bulan terakhir dan level terlemah dalam 14 bulan. Secara keseluruhan, data PMI dari HSBC/Markit untuk Korsel turun menjadi 48,7 pada Oktober dari 48,8 pada September. Ini merupakan level terendah sejak Juni.

Bahkan, posisi khusus Taiwan sebagai suplier utama produk- produk Apple tidak mencegah penurunan ini saat PMI merosot menuju level terendah dalam 13 bulan sebesar 52,0.

Data yang cukup cerah muncul dari India, di mana PMI naik menjadi 51,6 pada Oktober, dari 51,0 pada September. “Aktivitas manufaktur menguat di tengah peningkatan output dan pesanan baru, khususnya dari konsumen di luar negeri,” kata Co Head Riset Ekonomi Asia HSBC Frederic Neumann, dikutip kantor berita AFP.

“Meski demikian, sejumlah perusahaan terus mengurangi pembelian dan menahan dari penimbunan persediaan secara agresif,” kata Neumann.

Syarifudin
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6073 seconds (0.1#10.140)