Mengelola Great First Impressions #SusiPujiastuti

Kamis, 06 November 2014 - 11:35 WIB
Mengelola Great First...
Mengelola Great First Impressions #SusiPujiastuti
A A A
Sewaktu Reza, anak saya, kelas 2 SD saya dipanggil guru sekolahnya. Ini garagara pulang liburan dari Bali, tato (sementara) bergambar cicak terlihat sebagian muncul dari tangan di balik seragam sekolahnya.

Sambil membela diri saya katakan itu hanya temporer kok, Bu. Dua minggu juga hilang. Ini bukan tato asli. Tetapi, ibu guru tetap pada pendiriannya bahwa temporer atautidak, tetapsaja itubukansesuatu yang pantas untuk di bawa keranah sekolah. Tato identik dengan garang, preman, dan terkesan badung. Ia melarang anak saya membawa komponen tersebut ke lingkungannya. Cerita tato ini berkaitan dengan situasi ibu Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru yaitu #SusiPujiastuti. Jika analogi tato=preman, garang, badung berarti elemen ini akan melekat di personal brand Ibu Susi.

Dengan analisa perspektif generik seperti yang disampaikan oleh guru SD anak saya, tentu banyak publik yang berkeberatan dengan melekatnya elemen itu di alam “Revolusi Mental”-nya Jokowi. Sayang sekali Bu Susi “lupa” untuk menutup elemen itu dari publik/masyarakat luas. Fotofoto pelantikan menteri yang diekspose di tabloid dan infotainment secara khusus bahkan secara jelas memperlihatkan tato burung merak di tungkai kaki kanannya. Pentingkah Great First Impressions?

Masih banyak perdebatan tentang hal ini. Kelompok pertama menyatakan bahwa Great First Impressions itu sangat penting. Bahkan, dikatakan First Impressions Count. First Impressions Last. First Impressions can make or break the brand. Tetapi ada juga kelompok yang menyatakan tidak perlu memperhatikan First Impressions. Yang penting di dunia ini bukanlah First Impression, melainkan kinerja dari seseorang. Ini dinyatakan dalam sebuah kutipan:’Performance Matters. First Impressions Don’t.

Kedua kelompok itu samasama benar dan relevan, tetapi dalam konteks yang berbeda. Bahwa First Impressions bisa make or break the brand, setuju sekali. Bayangkan posisi Anda pelamar pekerjaan. Dan, dengan rambut acak-acakan seolah bangun tidur, baju sekadarnya, jangan salahkan recruiter yang lalu judging profesionalisme Anda. Bahwa First Impressions bukan segalanya, saya juga setuju.

Bukan FirstImpressions yang penting, tetapi performance. Hasil Kerja. Kerja-Kerja-Kerja. Masalahnya, hasil kerja itu baru bisa dievaluasi setelah beberapa waktu. Sedangkan, pintu pembuka untuk pekerjaan itu adanya di Great First Impressions tadi. First Impressions tidak sama dengan pencitraan. Saya harus berkali- kali menyampaikan bahwa pencitraan itu ada dua, pencitraan semu dan pencitraan genuine.

Pencitraan genuine itu mengerti needs dan aspirasi audiensnya. Jika audiens Ibu Susi dalam hal ini adalah publik yang mempunyai norma yang sama seperti ibu guru SD anak saya, tentu tidak ada salahnya membuat publik ini nyaman. Pertamakalisaya bertemuIbu Susi adalah di tahun 2008 sebagai sesama pembicara dalam acara Female Forum. Beliau dipilih penyelenggara karena mencirikan wanita tangguh yang punya personal brand yang cemerlang.

Apa yang disampaikan ibu Susi dalam forum yang dihadiri oleh publik wanita karier saat itu sangat berkesan dan secara cepat beliau mendapat sambutan luar biasa. Cerita tentang leadership dan bagaimana perjalanan kehidupannya, sangat menginspirasi. Tetapi personal brand itu berkembang mengikuti dengan cakupan audiens baru.

Pada saat cakupan audiens Susi saat ini mendadak meluas dari kalangan bisnis (nelayan, pebisnis, pemerintah, transportasi dll), menjadi ke publik secara general, maka secara mendadak pula ekspektasi dari audiens harus dikalibrasi ulang. Disesuaikan. Dulu merokok di depan audiensnya tidak menjadi persoalan, sekarang mendapat tantangan keras. Jika dulu bertato itu biasa saja, dan mungkin menggambarkan ‘freedom of choice’ seorang wanita yang tegas dan tahu apa yang dimauinya.

Sekarang, didudukkan dalam arti yang negatif dan dihindari. Perbedaan perspektif ini adalah karena perbedaan pandangan yang sekali lagi harus dikalibrasi ulang. Ibu Susi harus membina personal brand menjadi cemerlang di mata “multiple stakeholders” yang lebih luas dari stakeholders bisnisnya yang semula lebih permisif dan lebih memperhatikan performance pekerjaan daripada hal-hal yang bersifat fisik.

Mungkin ada baiknya Ibu Susi mengurangi kontroversi dengan mempelajari secara lebih dalam lagi aspek normatif yang bisa disesuaikannya. Tentu saja ini bukan dalam rangka ingin mengubah kepribadian seseorang. Ada hal-hal yang bisa dihindari dan dikelola tanpa harus mengundang opini keras dan negatif yang menghabiskan energi Ibu Susi sendiri. Fokus pada Kerja-Kerja-Kerja, Bu Susi.

Saya yakin para media yang dikatakan ibu tidak adil karena terlalu banyak menjelekjelekkan Ibu akan kecewa jika mereka kehabisan “cerita kontroversi” yang mereka harapkan itu. Terutama media yang mencari sensasi, saat ini mereka sedang 24 jam merapat untuk mencari celah berita. Jangan biarkan mereka mengganggu konsentrasi Ibu bekerja membantu Pak Jokowi.

Ada banyak sekali agenda, dan saya yakin Ibu perlu mencurahkan energi ke sana, dan melepaskan diri dari energi negatif yang berkembang. Selamat bekerja Ibu #Susi- Pujiastuti. ●

Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0615 seconds (0.1#10.140)