Pengusaha PHRI Kelimpungan PNS Dilarang Rapat di Hotel
A
A
A
BANDUNG - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) wilayah Jawa Barat menolak kebijakan pemerintah terkait larangan PNS menggelar rapat di hotel. Pasalnya, kebijakan tersebut hanya akan membuat bisnis perhotelan menjadi lesu. Apalagi pernyataan yang dikeluarkan tanpa ada pembahasan bersama pelaku.
Ketua PHRI Jabar Herman Muhtar mengungkapkan, pernyataan pemerintah mengenai larangan tersebut tidak tepat sasaran. Pernyataan tersebut dijadikan alat pencitraan tanpa mempertimbangkan dengan matang dampak ke depannya seperti apa.
"Harusnya pemerintah tahu tantangan dan masalah hotel secara nasional. Lihat dampak ke depannya. Perang tarif akan terjadi, okupansi akan turun. Bahkan bagi pelaku hotel yang tidak kuat akan gulung tikar," ujarnya dalam konferensi pers yang dilakukan di Hotel Panghegar Bandung, Senin (10/11/2014).
Dia menyebutkan, saat ini dampak dari pernyataan tersebut memang belum terlihat, tetapi ke depan akan sangat terlihat dampaknya. Apalagi sekitar 90% penyelenggaraan convention dan meeting dilakukan oleh kementerian atau pemerintah yang di dalamnya PNS.
"Lihat saja okupansi hotel di Jabar saat ini 50%. Kalau sampai PNS dilarang rapat di hotel akan berakibat pada penurunan okupansi. Dan bagi para pelaku yang okupansi hotelnya di bawah itu akan kelimpungan," katanya.
Pihaknya berharap, pemerintah mengkaji ulang pernyataan tersebut. Harus lebih diperjelas lagi rapat seperti apa yang dilarang dan kemungkinan beberapa jenis pertemuan masih bisa diizinkan. Karenanya, seluruh pengurus PHRI akan menghadap langsung ke presiden untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Kalau memang aturan ini mau diterapkan harus diimbangi dengan solusi lain. Misalnya promosi pariwisata yang lebih digencarkan, pembatasan pembangunan hotel (moratorium), sistem kuota, zonasi pembangunan hotel atau yang lainnya. Kami sangat berharap kepada pemerintahan baru ini," tuturnya.
Di tempat yang sama, Owner Panghegar Group Cecep Rukmana menjelaskan, 60% wisatawan yang datang ke hotel bertujuan untuk bisnis dan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition). Dari angka tersebut 80%nya merupakan yang berasal dari kementerian atau pemerintahan.
"Belum lagi kalau melihat perbandingan jumlah wisatawan dalam dan luar negerinya. 90% wisawatan domestik, sisanya asing. Dan yang untuk kepentingan leisure hanya di akhir pekan, sedangkan di tengah pekannya ya kebanyakan dari MICE itu," katanya.
Kalau sampai PNS dilarang rapat di hotel, kata dia, persaingan bisnis hotel akan lebih sporadis lagi, akan ada banyak pelaku yang banting harga. Bahkan, hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya PAD (pendapatan asli daerah) hingga 40%. Di Bandung, PAD yang berasal dari hotel sekitar Rp195 miliar.
"Kalau alasannya efisiensi, bukan dengan mengurangi biaya, harusnya dengan menghilangkan pemborosan. Lihat saja yang melakukan meeting di hotel, mereka bertemu dan bersosialisasi, mereka produktif. Di Bogor, ada hotel yang hidupnya dari konvensi dan meeting. Bagaimana nasibnya kalau sampai kebijakan ini diterapkan?" sambungnya.
Dia mengakui, saat ini sudah mulai ada yang membatalkan reservasi untuk pertemuan di tahun 2015 nanti setelah keluarnya larangan tersebut. Mungkin dalam dua bulan ke depan akan lebih terlihat lagi dampaknya.
"Statement tersebut terlalu vulgar, caranya tidak elegan dan malah membuat antipati para pelaku pariwisata," sebutnya.
Sementara itu, Ketua Riung Priangan (Asosiasi GM Hotel Berbintang Bandung) Iwan Rismawardani mengatakan, kalau memang larangan tersebut sudah sah secara hukum, dia berpikiran untuk mencoba memikirkan strategi lain agar pelaku hotel tidak sampai gulung tikar.
"Dengan larangan tersebut akan makin menambah tantangan kami para pelaku. Karena ke depan akan ada kenaikan BBM, kenaikan UMK, belum lagi MEA. Tetapi kami akan mencoba menggarap wisatawan domestik terlebih dahulu. Mungkin dengan mencari kerja sama untuk membuat kegiatan sebanyak-banyaknya di Bandung. Agar sedikitnya bisa mengurangi ketergantungan terhadap MICE yang diadakan oleh pemerintah," paparnya.
Ketua PHRI Jabar Herman Muhtar mengungkapkan, pernyataan pemerintah mengenai larangan tersebut tidak tepat sasaran. Pernyataan tersebut dijadikan alat pencitraan tanpa mempertimbangkan dengan matang dampak ke depannya seperti apa.
"Harusnya pemerintah tahu tantangan dan masalah hotel secara nasional. Lihat dampak ke depannya. Perang tarif akan terjadi, okupansi akan turun. Bahkan bagi pelaku hotel yang tidak kuat akan gulung tikar," ujarnya dalam konferensi pers yang dilakukan di Hotel Panghegar Bandung, Senin (10/11/2014).
Dia menyebutkan, saat ini dampak dari pernyataan tersebut memang belum terlihat, tetapi ke depan akan sangat terlihat dampaknya. Apalagi sekitar 90% penyelenggaraan convention dan meeting dilakukan oleh kementerian atau pemerintah yang di dalamnya PNS.
"Lihat saja okupansi hotel di Jabar saat ini 50%. Kalau sampai PNS dilarang rapat di hotel akan berakibat pada penurunan okupansi. Dan bagi para pelaku yang okupansi hotelnya di bawah itu akan kelimpungan," katanya.
Pihaknya berharap, pemerintah mengkaji ulang pernyataan tersebut. Harus lebih diperjelas lagi rapat seperti apa yang dilarang dan kemungkinan beberapa jenis pertemuan masih bisa diizinkan. Karenanya, seluruh pengurus PHRI akan menghadap langsung ke presiden untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Kalau memang aturan ini mau diterapkan harus diimbangi dengan solusi lain. Misalnya promosi pariwisata yang lebih digencarkan, pembatasan pembangunan hotel (moratorium), sistem kuota, zonasi pembangunan hotel atau yang lainnya. Kami sangat berharap kepada pemerintahan baru ini," tuturnya.
Di tempat yang sama, Owner Panghegar Group Cecep Rukmana menjelaskan, 60% wisatawan yang datang ke hotel bertujuan untuk bisnis dan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition). Dari angka tersebut 80%nya merupakan yang berasal dari kementerian atau pemerintahan.
"Belum lagi kalau melihat perbandingan jumlah wisatawan dalam dan luar negerinya. 90% wisawatan domestik, sisanya asing. Dan yang untuk kepentingan leisure hanya di akhir pekan, sedangkan di tengah pekannya ya kebanyakan dari MICE itu," katanya.
Kalau sampai PNS dilarang rapat di hotel, kata dia, persaingan bisnis hotel akan lebih sporadis lagi, akan ada banyak pelaku yang banting harga. Bahkan, hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya PAD (pendapatan asli daerah) hingga 40%. Di Bandung, PAD yang berasal dari hotel sekitar Rp195 miliar.
"Kalau alasannya efisiensi, bukan dengan mengurangi biaya, harusnya dengan menghilangkan pemborosan. Lihat saja yang melakukan meeting di hotel, mereka bertemu dan bersosialisasi, mereka produktif. Di Bogor, ada hotel yang hidupnya dari konvensi dan meeting. Bagaimana nasibnya kalau sampai kebijakan ini diterapkan?" sambungnya.
Dia mengakui, saat ini sudah mulai ada yang membatalkan reservasi untuk pertemuan di tahun 2015 nanti setelah keluarnya larangan tersebut. Mungkin dalam dua bulan ke depan akan lebih terlihat lagi dampaknya.
"Statement tersebut terlalu vulgar, caranya tidak elegan dan malah membuat antipati para pelaku pariwisata," sebutnya.
Sementara itu, Ketua Riung Priangan (Asosiasi GM Hotel Berbintang Bandung) Iwan Rismawardani mengatakan, kalau memang larangan tersebut sudah sah secara hukum, dia berpikiran untuk mencoba memikirkan strategi lain agar pelaku hotel tidak sampai gulung tikar.
"Dengan larangan tersebut akan makin menambah tantangan kami para pelaku. Karena ke depan akan ada kenaikan BBM, kenaikan UMK, belum lagi MEA. Tetapi kami akan mencoba menggarap wisatawan domestik terlebih dahulu. Mungkin dengan mencari kerja sama untuk membuat kegiatan sebanyak-banyaknya di Bandung. Agar sedikitnya bisa mengurangi ketergantungan terhadap MICE yang diadakan oleh pemerintah," paparnya.
(gpr)