Konsumen Akhir Pemikul Beban PPN Produk Pertanian

Jum'at, 14 November 2014 - 06:43 WIB
Konsumen Akhir Pemikul...
Konsumen Akhir Pemikul Beban PPN Produk Pertanian
A A A
PALEMBANG - Kakanwil Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, Samon Jaya menegaskan, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% untuk produk pertanian tidak akan merugikan petani dan pelaku usaha yang terkait mata rantai perdagangan dan pengolahannya. Sebab, beban pajak akan langsung dikenakan ke konsumen akhir.

“Banyak yang keberatan untuk menanggung beban pajak. Padahal dari perhitungannya, PPN tidak berlaku untuk petani dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, tapi justru ke konsumen. Misalnya pembeli mobil pabrikan,” jelas Samon di kantornya, Kamis (13/11/2014).

Dia menjelaskan, pemberlakuan PPN untuk hasil pertanian sudah sejalan dengan putusan MA RI No 70P/HUM/2013 pada 25 Februari 2014 atas uji materiil PP No 31 Tahun 2007 yang diajukan Kadin.

Putusan ini diakui menimbulkan konsekuensi barang hasil pertanian yang semula dikategorikan barang kena pajak yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari PPN, menjadi dikenakan PPN. “Tarif pengenaan PPN adalah sebesar 10% dari harga jual,” terangnya.

Selain itu, lanjutnya, sistem perpajakan ini dipastikan tidak akan saling membebani dan menguntungkan antar pihak. Pemungutan PPN dari pengusaha kena pajak (PKP) baik petani, pedagang, atau pabrikan yang melakukan penyerahan lebih dari Rp4,8 miliar yakni dengan cara menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan.

Lalu, setorannya melalui mekanisme SPT masa PPN dengan menerapkan mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. “Sebagai mata rantai terakhir produksi pertanian, konsumen akhir adalah pihak yang memikul beban PPN, bukan pihak petani penjual, pedagang pengumpul, maupun pabrikan,” tegasnya lagi.

Artinya tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyatakan bahwa pengenaan PPN ini hanya akan membebani satu pihak saja. Namun sayangnya, petani, pedagang, maupun pabrikan masih ada yang belum memahami mekanisme tersebut.

“Karenanya, kami melalui KPP atau KP2KP siap memberikan penjelasan atau sosialisasi dengan menggandeng pihak universitas,” beber Samon.

Kabid Duktekon Saefuddin menambahkan, terkait dengan kegiatan usaha di industri pengolahan barang hasil pertanian, khususnya karet, memang terdapat kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 oleh pabrikan atas pembelian barang hasil pertanian dari pedagang pengumpul.

Namun, transaksi bokar karet masih dilakukan secara tunai, sehingga menyebabkan timbulnya keraguan atas besarnya pembelian bokar karet, baik secara kuantitas maupun harganya.

Pihaknya berharap, para pedagang bisa menerapkan pembukuan dan mengadministrasikan bukti pemungutan PPh tersebut, baik sebagai kredit, kurang bayar, ataupun lebih bayar.

“Kabar gembira pula bagi pedagang ini kalau mereka bisa klaim atau menerima restitusi atas lebih bayar bila memang dipotong oleh pihak lain,” tukasnya.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5953 seconds (0.1#10.140)