OJK Luncurkan Indeks Harga Surat Utang
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meluncurkan indeks harga surat utang atau Bond Index yang dapat dijadikan acuan informasi bagi investor mengenai pasar obligasi negara maupun korporasi.
“Pasar obligasi kita kan kurang likuid. Diharapkan, Bond Index menambah likuiditas. Paling lambat awal Desember diluncurkan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi investor,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK Sardjito di Jakarta kemarin. Secara umum, Bond Index layaknya pergerakan harga efek di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Untuk mewujudkan Bond Index, OJK bekerja sama dengan regulator lain, di antaranya Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Dirjen Pajak.
“Tinggal finalisasi, yang dikaji cukup banyak. Diharapkan, pasar obligasi bisa atraktif seperti halnya saham,” ucapnya. Dia menambahkan bahwa metodologi perhitungan Bond Index akan sama dengan yang dilakukan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA). Metodologi IPBA itu dinilai sudah cukup representatif terhadap perdagangan pasar surat utang.
Sebelumnya Kepala Eksekutif Bidang Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan bahwa pengembangan pasar surat utang itu untuk mendorong kedalaman pasar (market deepening) di pasar modal Indonesia seiring dengan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Pasar obligasi korporasi kita belum berkembang,” kata dia.
Nurhaida mengemukakan bahwa salah satu kendala belum berkembangnya pasar surat utang di Indonesia yakni minimnya likuiditas pasar “repurchase agreement “ (repo). Repo merupakan transaksi di mana perantara pedagang efek menjual efeknya kepada nasabah atau pihak lain dengan harga yang telah ditentukan dan akan membeli kembali efek yang sejenis pada tanggal tertentu dengan harga yang sama ditambah bunga atau dengan harga yang lebih tinggi.
“Repo kan untuk hedging. Kalau perusahaan memegang obligasi dan ingin menjual tapi pasarnya belum ada, bisa melalui repo. Sementara itu, pasar repo juga sedang kita kembangkan,” kata Nurhaida. Nurhaida mengharapkan bahwa adanya Global Master Repurchase Agreement (GMRA) dapat mendorong pasar repo di Indonesia semarak dan pada akhirnya membuat pasar obligasi berkembang.
“Dengan pasar semakin likuid, minat penerbitan obligasi meningkat. Semuanya saling terkait, intinya untuk menciptakan market deepening,” ujar Nurhaida.
Hermansah/ant
“Pasar obligasi kita kan kurang likuid. Diharapkan, Bond Index menambah likuiditas. Paling lambat awal Desember diluncurkan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi investor,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK Sardjito di Jakarta kemarin. Secara umum, Bond Index layaknya pergerakan harga efek di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Untuk mewujudkan Bond Index, OJK bekerja sama dengan regulator lain, di antaranya Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Dirjen Pajak.
“Tinggal finalisasi, yang dikaji cukup banyak. Diharapkan, pasar obligasi bisa atraktif seperti halnya saham,” ucapnya. Dia menambahkan bahwa metodologi perhitungan Bond Index akan sama dengan yang dilakukan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA). Metodologi IPBA itu dinilai sudah cukup representatif terhadap perdagangan pasar surat utang.
Sebelumnya Kepala Eksekutif Bidang Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan bahwa pengembangan pasar surat utang itu untuk mendorong kedalaman pasar (market deepening) di pasar modal Indonesia seiring dengan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Pasar obligasi korporasi kita belum berkembang,” kata dia.
Nurhaida mengemukakan bahwa salah satu kendala belum berkembangnya pasar surat utang di Indonesia yakni minimnya likuiditas pasar “repurchase agreement “ (repo). Repo merupakan transaksi di mana perantara pedagang efek menjual efeknya kepada nasabah atau pihak lain dengan harga yang telah ditentukan dan akan membeli kembali efek yang sejenis pada tanggal tertentu dengan harga yang sama ditambah bunga atau dengan harga yang lebih tinggi.
“Repo kan untuk hedging. Kalau perusahaan memegang obligasi dan ingin menjual tapi pasarnya belum ada, bisa melalui repo. Sementara itu, pasar repo juga sedang kita kembangkan,” kata Nurhaida. Nurhaida mengharapkan bahwa adanya Global Master Repurchase Agreement (GMRA) dapat mendorong pasar repo di Indonesia semarak dan pada akhirnya membuat pasar obligasi berkembang.
“Dengan pasar semakin likuid, minat penerbitan obligasi meningkat. Semuanya saling terkait, intinya untuk menciptakan market deepening,” ujar Nurhaida.
Hermansah/ant
(ars)