Pemerintah Didesak Batalkan Pembangunan Pelabuhan Cilamaya
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Universitas Pelita Harapan Tjipta Lesmana mendesak pemerintah membatalkan rencana pembangunan pelabuhan di Cilamaya dan merelokasinya ke Jawa Tengah.
"Ironis jika pemerintah hanya mementingkan pembangunan pelabuhan tersebut demi melayani produsen automotif, terutama yang memproduksi kendaraan murah," ujar Tjipta dalam rilisnya, Rabu (19/11/2014).
Dia menilai, di tengah krisis BBM antara lain disebabkan industri automotif yang tidak terkontrol. Pemerintah dinilai malah menganakemaskan para investor automotif yang mayoritas berasal dari Jepang tersebut.
"Ini kontradiktif sekali. Apakah ini kepentingan Jepang? Yang saya tahu, pabrik mobil mereknya ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya dari Jepang," ungkapnya.
Tijpta mendesak pemerintah membatalkan rencana yang diinisiasi oleh Pemerintah Jepang tersebut. Karena menggangu sejumlah aset nasional yang selama ini memberi pemasukan terbesar bagi APBN.
"Batalkan saja, daripada kita cari sumur migas baru, yang pastinya akan menyusahkan. Kalau sumur sampai harus ditutup, tentu pemerintah Indonesia sangat rugi, sebaiknya dibatalkan, rugi kita," tandas dia.
Desakan serupa disampaikan peneliti dari Oxfam, yang juga aktivis Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Abdullah. Menurutnya, Pelabuhan Cilamaya setidaknya akan mengalihfungsikan 600 hektare lahan pertanian aktif di daerah Karawang.
"Pertanian di kawasan ini menghasilkan 300 ton per musim untuk menyangga kebutuhan pangan nasional. Padahal, Karawang merupakan wilayah yang menjadi tolak ukur dalam peningkatan produksi beras dan menjadi basis swasembada beras," tuturnya.
Berdasarkan catatan Oxfam di Karawang pada 2011 telah terjadi alih fungsi lahan sekitar 180 ha sampai 2.000 ha sawah untuk kepentingan industri automotif dan ritel.
Menurutnya, jika Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka alih fungsi lahan pertanian akan semakin marak.
"Saat ini, luasan baku pertanian kian menyusut dari 94 ribu ha menjadi 92 ribu ha. Belum lagi nanti ada proyek pembangunan pelabuhan. Pasti, alih fungsi lahan akan terus bertambah. Karawang sebagai basis swasembada pangan, tidak mampu mempertahankannya, gara-gara banyaknya alih fungsi lahan untuk kepentingan lain," tandasnya.
"Ironis jika pemerintah hanya mementingkan pembangunan pelabuhan tersebut demi melayani produsen automotif, terutama yang memproduksi kendaraan murah," ujar Tjipta dalam rilisnya, Rabu (19/11/2014).
Dia menilai, di tengah krisis BBM antara lain disebabkan industri automotif yang tidak terkontrol. Pemerintah dinilai malah menganakemaskan para investor automotif yang mayoritas berasal dari Jepang tersebut.
"Ini kontradiktif sekali. Apakah ini kepentingan Jepang? Yang saya tahu, pabrik mobil mereknya ada di sana semua. Jadi butuh pelabuhan. Terlebih kalau konsultan perencanaannya dari Jepang," ungkapnya.
Tijpta mendesak pemerintah membatalkan rencana yang diinisiasi oleh Pemerintah Jepang tersebut. Karena menggangu sejumlah aset nasional yang selama ini memberi pemasukan terbesar bagi APBN.
"Batalkan saja, daripada kita cari sumur migas baru, yang pastinya akan menyusahkan. Kalau sumur sampai harus ditutup, tentu pemerintah Indonesia sangat rugi, sebaiknya dibatalkan, rugi kita," tandas dia.
Desakan serupa disampaikan peneliti dari Oxfam, yang juga aktivis Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Abdullah. Menurutnya, Pelabuhan Cilamaya setidaknya akan mengalihfungsikan 600 hektare lahan pertanian aktif di daerah Karawang.
"Pertanian di kawasan ini menghasilkan 300 ton per musim untuk menyangga kebutuhan pangan nasional. Padahal, Karawang merupakan wilayah yang menjadi tolak ukur dalam peningkatan produksi beras dan menjadi basis swasembada beras," tuturnya.
Berdasarkan catatan Oxfam di Karawang pada 2011 telah terjadi alih fungsi lahan sekitar 180 ha sampai 2.000 ha sawah untuk kepentingan industri automotif dan ritel.
Menurutnya, jika Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka alih fungsi lahan pertanian akan semakin marak.
"Saat ini, luasan baku pertanian kian menyusut dari 94 ribu ha menjadi 92 ribu ha. Belum lagi nanti ada proyek pembangunan pelabuhan. Pasti, alih fungsi lahan akan terus bertambah. Karawang sebagai basis swasembada pangan, tidak mampu mempertahankannya, gara-gara banyaknya alih fungsi lahan untuk kepentingan lain," tandasnya.
(izz)