APBBMI Minta Pengawasan Distribusi Solar Diperketat
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Penyalur Bahan Bakar Minyak Indonesia (APBBMI) mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum tetap melakukan pengawasan yang ketat terhadap solar bersubsidi. Hal itu mengingat masih terdapatnya disparitas harga sekitar Rp4.000 per liter antara harga solar bersubsidi dengan harga solar non subsidi.
"Setiap celah yang mampu memberi peluang penyelewengan BBM bersubsidi harus ditiadakan," kata Ketua Umum APBBMI Ahmad Faisal di Jakarta, Rabu (19/11/2014).
Oleh karena itu, ujar Faisal, APBBMI berharap kepada Menteri ESDM menata ulang regulasi terkait usaha niaga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi, dengan menetapkan regulasi yang mampu mengoptimalkan pemasaran bbm non subsidi. Dengan demikian, usaha niaga BBM non subsidi mampu pula menekan penggunaan BBM bersubsidi termasuk menghilangkan penyelewengan bbm bersubsidi.
Dikatakan, salah satu regulasi yang perlu dikaji ulang oleh Menteri ESDM adalah Permen esdm nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran BBM. "Usaha Niaga BBM non subsidi seharusnya tidak dipagari dengan Permen 16/2011 dan aturan aturan yang mampu menjadi hambatan dalam usaha niaga bbm non subsidi," katanya.
Menurut Faisal, niaga BBM non subsidi harusnya diperlakukan sama dengan barang barang non subsidi lainnya seperti beras, gula, minyak goreng yang pada dasarnya juga adalah produk yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak dan ternyata tidak dipagari dengan aturan yang kontra produktif.
Usaha niaga BBM non subsidi khusus untuk penyaluran bagi trasportasi laut dan sungai serta untuk kepentingan Industri, harusnya diberi tempat sebagaimana Izin Niaga Umum dan Izin Niaga Terbatas yang mengacu dengan UU Migas maupun PP 36/2004.
Dan untuk ini Kementerian ESDM diharapkan bisa melakukannya dengan menerbitkan "izin niaga", yang minus hak atau izin untuk melakukan impor dan ekspor BBM serta tidak wajib memiliki sarana penimbunan.
Izin Niaga BBM itu diberikan kepada pelaku usaha penjualan BBM non subsidi dengan dasar adanya kerja sama atau kontrak dengan produsen atau importir BBM yang memegang izin selaku Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum atau BU-PIUNU.
APBBMI adalah organisasi Pengusaha Penjual Minyak Nonsubsidi khusus untuk Marines dan Industri. Keanggotaan APBBMI adalah perusahaan perusahaan yang menjadi mitra usaha tetap dari PT Pertamina (Persero) dan atau anak perusahaannya, PT Pertamina Patra Niaga.
Menyikapi keputusan pemerintah yang telah menyesuaikan harga jual BBM bersubsidi, ujarnya, APBBMI memandang keputusan tersebut khususnya terhadap BBM jenis solar, merupakan keputusan yang mampu memperkecil disparitas harga antara harga solar bersubsidi dengan harga solar non subsidi.
Adapun harga solar non subsidi yang dijual di pasaran di wilayah NKRI yang dipasok oleh badan usaha niaga umum seperti Pertamina, Patra Niaga, AKR, PANN, TOTAL, BP dan BU-PIUNU atau Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum lain lain saat ini, adalah di kisaran antara Rp11.500-Rp12.000 per liter.
Dengan ditetapkannya harga solar subsidi menjadi sebesar Rp7.500 per liter, maka disparitas harga solar antara harga solar bersubsidi dengan harga solar non subsidi menjadi sekitar Rp4.000 per liter. Ini lebih kecil ketimbang disparitas harga sebelum harga solar subsidi dikoreksi oleh pemerintah.
"Dengan disparitas harga yang tidak terlalu tajam, ini sangat berpotensi mampu meningkatkan penjualan solar non subsidi dan berpotensi meminimalisir penyelewengan BBM subsidi," tutup dia.
"Setiap celah yang mampu memberi peluang penyelewengan BBM bersubsidi harus ditiadakan," kata Ketua Umum APBBMI Ahmad Faisal di Jakarta, Rabu (19/11/2014).
Oleh karena itu, ujar Faisal, APBBMI berharap kepada Menteri ESDM menata ulang regulasi terkait usaha niaga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi, dengan menetapkan regulasi yang mampu mengoptimalkan pemasaran bbm non subsidi. Dengan demikian, usaha niaga BBM non subsidi mampu pula menekan penggunaan BBM bersubsidi termasuk menghilangkan penyelewengan bbm bersubsidi.
Dikatakan, salah satu regulasi yang perlu dikaji ulang oleh Menteri ESDM adalah Permen esdm nomor 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran BBM. "Usaha Niaga BBM non subsidi seharusnya tidak dipagari dengan Permen 16/2011 dan aturan aturan yang mampu menjadi hambatan dalam usaha niaga bbm non subsidi," katanya.
Menurut Faisal, niaga BBM non subsidi harusnya diperlakukan sama dengan barang barang non subsidi lainnya seperti beras, gula, minyak goreng yang pada dasarnya juga adalah produk yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak dan ternyata tidak dipagari dengan aturan yang kontra produktif.
Usaha niaga BBM non subsidi khusus untuk penyaluran bagi trasportasi laut dan sungai serta untuk kepentingan Industri, harusnya diberi tempat sebagaimana Izin Niaga Umum dan Izin Niaga Terbatas yang mengacu dengan UU Migas maupun PP 36/2004.
Dan untuk ini Kementerian ESDM diharapkan bisa melakukannya dengan menerbitkan "izin niaga", yang minus hak atau izin untuk melakukan impor dan ekspor BBM serta tidak wajib memiliki sarana penimbunan.
Izin Niaga BBM itu diberikan kepada pelaku usaha penjualan BBM non subsidi dengan dasar adanya kerja sama atau kontrak dengan produsen atau importir BBM yang memegang izin selaku Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum atau BU-PIUNU.
APBBMI adalah organisasi Pengusaha Penjual Minyak Nonsubsidi khusus untuk Marines dan Industri. Keanggotaan APBBMI adalah perusahaan perusahaan yang menjadi mitra usaha tetap dari PT Pertamina (Persero) dan atau anak perusahaannya, PT Pertamina Patra Niaga.
Menyikapi keputusan pemerintah yang telah menyesuaikan harga jual BBM bersubsidi, ujarnya, APBBMI memandang keputusan tersebut khususnya terhadap BBM jenis solar, merupakan keputusan yang mampu memperkecil disparitas harga antara harga solar bersubsidi dengan harga solar non subsidi.
Adapun harga solar non subsidi yang dijual di pasaran di wilayah NKRI yang dipasok oleh badan usaha niaga umum seperti Pertamina, Patra Niaga, AKR, PANN, TOTAL, BP dan BU-PIUNU atau Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum lain lain saat ini, adalah di kisaran antara Rp11.500-Rp12.000 per liter.
Dengan ditetapkannya harga solar subsidi menjadi sebesar Rp7.500 per liter, maka disparitas harga solar antara harga solar bersubsidi dengan harga solar non subsidi menjadi sekitar Rp4.000 per liter. Ini lebih kecil ketimbang disparitas harga sebelum harga solar subsidi dikoreksi oleh pemerintah.
"Dengan disparitas harga yang tidak terlalu tajam, ini sangat berpotensi mampu meningkatkan penjualan solar non subsidi dan berpotensi meminimalisir penyelewengan BBM subsidi," tutup dia.
(gpr)