Sertifikasi Kayu Kemungkinan Diundur
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap akan mengupayakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bisa diterapkan pada 2015.
Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan ada pemunduran pemberlakuan wajib SVLK bagi kayu dan produk kayu yang sedianya mulai Januari 2015. “Kalau batal jelas enggak mungkin karena ini kan mandatory dengan Uni Eropa dan sudah diikuti negara lainnya. Kalau sekiranya mundur, kita lihat masalahnya ada di mana,” ujar Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Pernyataan Bambang sekaligus merespons pernyataan sikap dari Asosiasi Meubel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) yang menyatakan keberatan dan meminta adanya pemunduran pemberlakuan SVLK. Dalam jumpa pers kemarin, Ketua Umum AMKRI Soenoto mengemukakan sejumlah alasan yang mendasari ketidaksetujuan atas pemberlakuan SVLK. Menurut Soenoto, SVLK seharusnya hanya diberlakukan bagi pedagang atau bandar kayu, sementara produsen furnitur dan kerajinan hanya pengguna.
“Kalau dianalogikan kami hanya pembuat pisang goreng, jadi tidak perlu ditanyakan pisangnya atau tepungnya legal apa enggak,” tukasnya. Menurut Soenoto, selama ini hampir 100% pembeli produk furnitur dan kerajinan tidak menanyakan sertifikat SVLK. Bahkan, jika Indonesia masih berkutat dengan rumitnya sertifikasi SVLK, pembeli asing mengancam akan mengalihkan pembelian ke negara lain seperti Filipina, Thailand, Vietnam.
Soenoto berpendapat, pengurusan SVLK selain rumit juga biayanya tinggi yaitu berkisar Rp25-40juta per perusahaan. Hal ini memberatkan industri kecil dan menengah (IKM). Tak heran, saat ini baru 1.500- an perusahaan yang bergerak di bidang kayu yang punya sertifikat SVLK, sementara 3.000- an lagi belum bersertifikat. Dengan waktu yang tinggal 37 hari lagi menuju Januari 2015, Soenoto pesimistis pemerintah bisa mengebut sertifikasi bagi 3.000-an IKM itu.
“Atas dasar faktor-faktor tersebut, kami minta SVLK tidak perlu diberlakukan atau paling tidak ditunda minimal dua tahun,” tandasnya. Soenoto juga mengingatkan, belum beresnya persoalan SVLK bisa menyebabkan ribuan pelaku usaha furnitur dan kerajinan tidak bisa melakukan aktivitas ekspor sehingga devisa dari ekspor akan menurun. Padahal, pemerintahan baru bertekad menggenjot ekspor.
“Kita sudah berkomitmen untuk lima tahun ke depan ekspor furnitur dan kerajinan kita targetnya USD5 miliar dari saat ini yang nilainya hampir USD2 miliar. Untuk mencapainya, kita harus tumbuh 20% per tahun,” tegasnya. AMKRI mengklaim sudah mendapat dukungan dari menteri perdagangan maupun menteri perindustrian terkait urgensi penundaan pemberlakuan SVLK.
Inda susanti
Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan ada pemunduran pemberlakuan wajib SVLK bagi kayu dan produk kayu yang sedianya mulai Januari 2015. “Kalau batal jelas enggak mungkin karena ini kan mandatory dengan Uni Eropa dan sudah diikuti negara lainnya. Kalau sekiranya mundur, kita lihat masalahnya ada di mana,” ujar Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Pernyataan Bambang sekaligus merespons pernyataan sikap dari Asosiasi Meubel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) yang menyatakan keberatan dan meminta adanya pemunduran pemberlakuan SVLK. Dalam jumpa pers kemarin, Ketua Umum AMKRI Soenoto mengemukakan sejumlah alasan yang mendasari ketidaksetujuan atas pemberlakuan SVLK. Menurut Soenoto, SVLK seharusnya hanya diberlakukan bagi pedagang atau bandar kayu, sementara produsen furnitur dan kerajinan hanya pengguna.
“Kalau dianalogikan kami hanya pembuat pisang goreng, jadi tidak perlu ditanyakan pisangnya atau tepungnya legal apa enggak,” tukasnya. Menurut Soenoto, selama ini hampir 100% pembeli produk furnitur dan kerajinan tidak menanyakan sertifikat SVLK. Bahkan, jika Indonesia masih berkutat dengan rumitnya sertifikasi SVLK, pembeli asing mengancam akan mengalihkan pembelian ke negara lain seperti Filipina, Thailand, Vietnam.
Soenoto berpendapat, pengurusan SVLK selain rumit juga biayanya tinggi yaitu berkisar Rp25-40juta per perusahaan. Hal ini memberatkan industri kecil dan menengah (IKM). Tak heran, saat ini baru 1.500- an perusahaan yang bergerak di bidang kayu yang punya sertifikat SVLK, sementara 3.000- an lagi belum bersertifikat. Dengan waktu yang tinggal 37 hari lagi menuju Januari 2015, Soenoto pesimistis pemerintah bisa mengebut sertifikasi bagi 3.000-an IKM itu.
“Atas dasar faktor-faktor tersebut, kami minta SVLK tidak perlu diberlakukan atau paling tidak ditunda minimal dua tahun,” tandasnya. Soenoto juga mengingatkan, belum beresnya persoalan SVLK bisa menyebabkan ribuan pelaku usaha furnitur dan kerajinan tidak bisa melakukan aktivitas ekspor sehingga devisa dari ekspor akan menurun. Padahal, pemerintahan baru bertekad menggenjot ekspor.
“Kita sudah berkomitmen untuk lima tahun ke depan ekspor furnitur dan kerajinan kita targetnya USD5 miliar dari saat ini yang nilainya hampir USD2 miliar. Untuk mencapainya, kita harus tumbuh 20% per tahun,” tegasnya. AMKRI mengklaim sudah mendapat dukungan dari menteri perdagangan maupun menteri perindustrian terkait urgensi penundaan pemberlakuan SVLK.
Inda susanti
(ars)