Moratorium Perizinan Kapal Selamatkan Banyak Aspek Laut
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, banyak aspek yang bisa diselamatkan setelah adanya moratorium perizinan kapal.
Pasalnya, selain kerugian dari materi yang bisa dihindari, kedaulatan negara juga menjadi hal terpenting yang bisa dipertahankan dengan adanya moratorium ini. Menurut dia, kedaulatan negara merupakan harga mati sebuah negara yang tak bisa ditawar.
"Kalau ini bisa dibereskan, kan ada izin sebanyak 1.200 kapal, kalau 1.000 saja yang tidak benar dan kapal itu mengangkut 600 ton (hasil tangkapan) per kapal per tahun. Sedangkan di lapangan, biasanya izin resminya 1, kapalnya ada 6, itu dikali 6. Kalau itu bisa dihentikan semua, yang bisa diselamatkan negara sangat besar," ujarnya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Jumat (21/11/2014).
Dia juga mencontohkan juga, di perairan Pantai Utara saat ini ada sekitar 4.000 kapal berukuran 60 gross ton (GT)-70 GT yang belum bisa dipastikan legalitas perizinan tangkapnya. Sedangkan tiap tahunnya, kapal-kapal tersebut berpontensi menghasilkan pendapatan mencapai Rp3 miliar-Rp5 miliar.
"Itu kalau mereka tangkap ikan tongkol saja, bukan udang. Bayangkan kalau udang yang lebih mahal harganya, berapa keuntungan kita," lanjutnya.
Selain soal kerugian materi, kerugian terbesar yang tidak bisa dinilai dengan uang yaitu kedaulatan negara yang dirusak dengan adanya kapal-kapal ilegal tersebut. Bila terus dibiarkan, maka kedaulatan Indonesia akan terus diremehkan oleh negara lain. Dan Indonesia akan didaulat sebagai negara yang tak bisa menjaga dirinya sendiri.
"Walau tidak bernilai ekonomi, hal itu (kedaulatan negara) tidak bisa ditawar dan diremehkan. Nelayan kita pakai kapal kecil saja ditangkap di India, ini dipertaruhkan," kata dia.
Yang tak kalah pentingnya, akibat penangkapan oleh kapal-kapal ilegal ini, sumber hayati kelautan Indonesia juga terancam rusak.
"Sumber daya hayati kita juga terancam, kita sebagai bangsa yang mengerti sustainability. Ini hal yang tidak bisa ditawar. Di negara lain tidak ada cerita satu kapal asing pun yang bisa masuk," tandasnya.
Pasalnya, selain kerugian dari materi yang bisa dihindari, kedaulatan negara juga menjadi hal terpenting yang bisa dipertahankan dengan adanya moratorium ini. Menurut dia, kedaulatan negara merupakan harga mati sebuah negara yang tak bisa ditawar.
"Kalau ini bisa dibereskan, kan ada izin sebanyak 1.200 kapal, kalau 1.000 saja yang tidak benar dan kapal itu mengangkut 600 ton (hasil tangkapan) per kapal per tahun. Sedangkan di lapangan, biasanya izin resminya 1, kapalnya ada 6, itu dikali 6. Kalau itu bisa dihentikan semua, yang bisa diselamatkan negara sangat besar," ujarnya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Jumat (21/11/2014).
Dia juga mencontohkan juga, di perairan Pantai Utara saat ini ada sekitar 4.000 kapal berukuran 60 gross ton (GT)-70 GT yang belum bisa dipastikan legalitas perizinan tangkapnya. Sedangkan tiap tahunnya, kapal-kapal tersebut berpontensi menghasilkan pendapatan mencapai Rp3 miliar-Rp5 miliar.
"Itu kalau mereka tangkap ikan tongkol saja, bukan udang. Bayangkan kalau udang yang lebih mahal harganya, berapa keuntungan kita," lanjutnya.
Selain soal kerugian materi, kerugian terbesar yang tidak bisa dinilai dengan uang yaitu kedaulatan negara yang dirusak dengan adanya kapal-kapal ilegal tersebut. Bila terus dibiarkan, maka kedaulatan Indonesia akan terus diremehkan oleh negara lain. Dan Indonesia akan didaulat sebagai negara yang tak bisa menjaga dirinya sendiri.
"Walau tidak bernilai ekonomi, hal itu (kedaulatan negara) tidak bisa ditawar dan diremehkan. Nelayan kita pakai kapal kecil saja ditangkap di India, ini dipertaruhkan," kata dia.
Yang tak kalah pentingnya, akibat penangkapan oleh kapal-kapal ilegal ini, sumber hayati kelautan Indonesia juga terancam rusak.
"Sumber daya hayati kita juga terancam, kita sebagai bangsa yang mengerti sustainability. Ini hal yang tidak bisa ditawar. Di negara lain tidak ada cerita satu kapal asing pun yang bisa masuk," tandasnya.
(gpr)