Segera Evaluasi Program LCGC
A
A
A
Kementerian Perhubungan dalam salah satu rilisnya beberapa waktu lalu menyebutkan Kota Bogor, Jawa Barat, menjadi daerah dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia.
Daerah yang dikenal sebagai Kota Hujan tersebut memilikitingkat kecepatan kendaraan rata-rata 15,32 km/jam. Di urutan kedua, Provinsi DKI Jakarta dengan kecepatan rata-rata kendaraan 10-20 km/jam, lalu Kota Surabaya (21 km/jam), Kota Depok (21,4 km/jam), serta Kota Bekasi (21,86 km/jam). Yang menarik, jika dibandingkan besaran VC (volume to capacity ) rasionya, selisih antara Kota Bogor hingga Bekasi tidak lebih dari 0,01.
Artinya, secara umum kondisi di semua daerah tersebut sama macetnya. VC rasio adalah ukuran yang membandingkan antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan yang ada. Lalu lintas dikatakan dalam kondisi krusial jika VC rasionya berada di atas 0,70. Laporan tersebut sebetulnya tidak mengherankan. Kemacetan memang sudah menjadi persoalan klasik di negara ini, khususnya di beberapa kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Oleh beberapa lembaga dunia, Jakarta bahkan sudah dikenal sebagai salah satu kota termacet di dunia. Di beberapa ruas jalan, kemacetan yang terjadi bahkan sudah masuk dalam kategori mengkhawatirkan. Sebagai ibu kota negara, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, terlebih di era kepemimpinan nasional baru.
Persoalannya, pemerintah seperti belum menemukan formula jitu dalam mengatasi persoalan ini. Solusi yang ada pun sepertinya justru bukan semakin memperbaiki, melainkan kian memperparah dampak kemacetan yang ada. Mobil murah ramah lingkungan atau yang dikenal sebagai low cost green car (LCGC) misalnya.
Segera Dievaluasi
Menurut data pemerintah, hingga September 2014, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp683 triliun atau 63,7% dari target Rp1.072,4 dalam APBN-P 2014. Dirjen Pajak menyebutkan sulitnya mencapai target di antaranya disebabkan oleh kurang maksimalnya penerimaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
PPnBM sendiri tidak optimal karena pemerintah terlanjur memberikan diskon demi pengembangan program LCGC. Statement tersebut sepertinya hanya menambah daftar panjang dampak negatif program LCGC, setelah sebelumnya PT Pertamina menginformasikan kuota BBM bersubsidi 46 juta KL di tahun 2014 ditengarai hanya akan mencukupi hingga pertengahan Desember 2014.
Solar diperkirakan akan mengalami kelangkaan paling cepat dibandingkan premium dan minyak tanah sama dengan kejadiantahun- tahunsebelumnya. Karenanya, janji di awal pemerintahan yang baru untuk mengevaluasi kembali kebijakan LCGC patut mendapat dukungan.
Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan juga menyatakan akan menganalisis ulang kebijakan insentif yang telah diberikan, khususnya terkait dengan potensi meledaknya subsidi BBM serta dampak melemahnya realisasi penerimaan perpajakan, meski diskusi ini seperti membuka kembali polemik ketika program LCGC pertama kali diluncurkan.
Sayangnya, janji tersebut sepertinya akan dilupakan setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suatu kesempatan justru menyebutkan bahwa program LCGC tetap akan dilanjutkan karena dianggap menguntungkan dan diperlukan. Menurut Wapres, program LCGC diperlukan untuk membendung impor mobil menghadapi pasar persaingan bebas ASEAN di 2015.
Sebagai catatan, hingga Oktober 2014 penjualan seluruh produk LCGC mencapai 144.624 unit dari prediksi total penjualan kendaraan bermotor tahun 2014 yang mencapai 1.2 juta unit. Angka tersebut tentu sangat fantastis, mengingat dalam kurun 10 tahun terakhir, tren penjualan kendaraan bermotor di Indonesia sudah meningkat drastis. Pemerintah sebetulnya sempat gamang dengan program LCGC, ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keluhan adanya ketidaksesuaian rencana awal pengembangan LCGC dengan implementasi di lapangan.
Beberapa pejabat yang awalnya mati-matian membela LCGC, mulai berbalik arah dan memberikan pernyataan yang berbeda. Wacana pelarangan LCGC mengonsumsi BBM bersubsidi mulai mengemuka, termasuk pertimbangan sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
Bagi penulis, pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan. Wacana pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi pemilik LCGC serta pemberian sanksi juga terasa aneh jika kita kembalikan filosofi LCGC sebagai mobil murah yang ditujukan bagi golongan masyarakat miskin dan menengah.
Jika pemerintah sendiri belum mampu melarang mobil konvensional non-LCGC yang harganya lebih mahal dan kapasitas mesinnya lebih besar, bagaimana mungkin melarang LCGC mengonsumsi premium? Apalagi jika diberikan sanksi bagi pemilik LCGC yang melanggar aturan tersebut. Namun, inkonsistensi kebijakan LCGC sudah muncul jauh-jauh hari sebelumnya.
Amanat kebijakan “17 Aksi Mengatasi Kemacetan di DKI Jakarta “ yang diproklamirkan mantan Wapres Boediono, secara gamblang tidak memberikan prioritas bagi pengembangan program LCGC. Hasil studi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tentang Long Term Action Plan for ASEAN Low Carbon Transport juga mendukung aksi tersebut.
Dalam skenario model transportasi ke depan, MTI merekomendasikan adanya perubahan transport energy dari dominasi land transport mode menjadi dominasi yang mengarah kepada transportasi publik. Karenanya, apa pun yang nantinya akan diputuskan, pekerjaan rumah besar yang wajib dilakukan pertama kali adalah segera evaluasi LCGC khususnya terkait dengan benefit dan cost yang harus diberikan. ●
Joko Tri Haryanto
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Daerah yang dikenal sebagai Kota Hujan tersebut memilikitingkat kecepatan kendaraan rata-rata 15,32 km/jam. Di urutan kedua, Provinsi DKI Jakarta dengan kecepatan rata-rata kendaraan 10-20 km/jam, lalu Kota Surabaya (21 km/jam), Kota Depok (21,4 km/jam), serta Kota Bekasi (21,86 km/jam). Yang menarik, jika dibandingkan besaran VC (volume to capacity ) rasionya, selisih antara Kota Bogor hingga Bekasi tidak lebih dari 0,01.
Artinya, secara umum kondisi di semua daerah tersebut sama macetnya. VC rasio adalah ukuran yang membandingkan antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan yang ada. Lalu lintas dikatakan dalam kondisi krusial jika VC rasionya berada di atas 0,70. Laporan tersebut sebetulnya tidak mengherankan. Kemacetan memang sudah menjadi persoalan klasik di negara ini, khususnya di beberapa kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Oleh beberapa lembaga dunia, Jakarta bahkan sudah dikenal sebagai salah satu kota termacet di dunia. Di beberapa ruas jalan, kemacetan yang terjadi bahkan sudah masuk dalam kategori mengkhawatirkan. Sebagai ibu kota negara, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, terlebih di era kepemimpinan nasional baru.
Persoalannya, pemerintah seperti belum menemukan formula jitu dalam mengatasi persoalan ini. Solusi yang ada pun sepertinya justru bukan semakin memperbaiki, melainkan kian memperparah dampak kemacetan yang ada. Mobil murah ramah lingkungan atau yang dikenal sebagai low cost green car (LCGC) misalnya.
Segera Dievaluasi
Menurut data pemerintah, hingga September 2014, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp683 triliun atau 63,7% dari target Rp1.072,4 dalam APBN-P 2014. Dirjen Pajak menyebutkan sulitnya mencapai target di antaranya disebabkan oleh kurang maksimalnya penerimaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
PPnBM sendiri tidak optimal karena pemerintah terlanjur memberikan diskon demi pengembangan program LCGC. Statement tersebut sepertinya hanya menambah daftar panjang dampak negatif program LCGC, setelah sebelumnya PT Pertamina menginformasikan kuota BBM bersubsidi 46 juta KL di tahun 2014 ditengarai hanya akan mencukupi hingga pertengahan Desember 2014.
Solar diperkirakan akan mengalami kelangkaan paling cepat dibandingkan premium dan minyak tanah sama dengan kejadiantahun- tahunsebelumnya. Karenanya, janji di awal pemerintahan yang baru untuk mengevaluasi kembali kebijakan LCGC patut mendapat dukungan.
Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan juga menyatakan akan menganalisis ulang kebijakan insentif yang telah diberikan, khususnya terkait dengan potensi meledaknya subsidi BBM serta dampak melemahnya realisasi penerimaan perpajakan, meski diskusi ini seperti membuka kembali polemik ketika program LCGC pertama kali diluncurkan.
Sayangnya, janji tersebut sepertinya akan dilupakan setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suatu kesempatan justru menyebutkan bahwa program LCGC tetap akan dilanjutkan karena dianggap menguntungkan dan diperlukan. Menurut Wapres, program LCGC diperlukan untuk membendung impor mobil menghadapi pasar persaingan bebas ASEAN di 2015.
Sebagai catatan, hingga Oktober 2014 penjualan seluruh produk LCGC mencapai 144.624 unit dari prediksi total penjualan kendaraan bermotor tahun 2014 yang mencapai 1.2 juta unit. Angka tersebut tentu sangat fantastis, mengingat dalam kurun 10 tahun terakhir, tren penjualan kendaraan bermotor di Indonesia sudah meningkat drastis. Pemerintah sebetulnya sempat gamang dengan program LCGC, ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keluhan adanya ketidaksesuaian rencana awal pengembangan LCGC dengan implementasi di lapangan.
Beberapa pejabat yang awalnya mati-matian membela LCGC, mulai berbalik arah dan memberikan pernyataan yang berbeda. Wacana pelarangan LCGC mengonsumsi BBM bersubsidi mulai mengemuka, termasuk pertimbangan sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
Bagi penulis, pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan. Wacana pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi pemilik LCGC serta pemberian sanksi juga terasa aneh jika kita kembalikan filosofi LCGC sebagai mobil murah yang ditujukan bagi golongan masyarakat miskin dan menengah.
Jika pemerintah sendiri belum mampu melarang mobil konvensional non-LCGC yang harganya lebih mahal dan kapasitas mesinnya lebih besar, bagaimana mungkin melarang LCGC mengonsumsi premium? Apalagi jika diberikan sanksi bagi pemilik LCGC yang melanggar aturan tersebut. Namun, inkonsistensi kebijakan LCGC sudah muncul jauh-jauh hari sebelumnya.
Amanat kebijakan “17 Aksi Mengatasi Kemacetan di DKI Jakarta “ yang diproklamirkan mantan Wapres Boediono, secara gamblang tidak memberikan prioritas bagi pengembangan program LCGC. Hasil studi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tentang Long Term Action Plan for ASEAN Low Carbon Transport juga mendukung aksi tersebut.
Dalam skenario model transportasi ke depan, MTI merekomendasikan adanya perubahan transport energy dari dominasi land transport mode menjadi dominasi yang mengarah kepada transportasi publik. Karenanya, apa pun yang nantinya akan diputuskan, pekerjaan rumah besar yang wajib dilakukan pertama kali adalah segera evaluasi LCGC khususnya terkait dengan benefit dan cost yang harus diberikan. ●
Joko Tri Haryanto
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
(ars)