BI Rate Tinggi, Likuiditas Kian Ketat

Kamis, 27 November 2014 - 12:48 WIB
BI Rate Tinggi, Likuiditas...
BI Rate Tinggi, Likuiditas Kian Ketat
A A A
Tanpa diduga Bank Indonesia (BI) langsung menaikkan BI Rate 25 basis poin (bps) atau 0,25% dari 7,5% menjadi 7,75% pasca-kenaikan harga BBM.

Kenaikan suku bunga acuan itu bakal membuat likuiditas perbankan nasional semakin ketat. Dengan kenaikan itu, kini BI Rate menduduki tingkat suku bunga tertinggi selama lima tahun terakhir. Tidak hanya BI Rate, BI bahkan menaikkan pula suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 8,00%. Namun, bank sentral tetap mempertahankan suku bunga deposit facilitypada level 5,75%.

Apakah masih ada kemungkinan bagi BI Rate untuk lebih tinggi lagi? Oh ya. Kapan? Jangan lupa bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah memutuskan untuk menyetop pengucuran stimulus keuangan yang sebelumnya USD85 miliar per bulan. Setelah itu, The Fed akan menaikkan suku bunga yang kini hanya 0,25% menjadi sekitar 1–1,5% yang diprediksi mulai semester I/2015.

Apa akibatnya? Pasar keuangan nasional akan kekurangan pasokan dana mengingat sebagian dana panas akan terbang kembali ke AS (capital outflow). Oleh karena itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan meredup dibanding saat ini yang menyentuh level Rp12.100 per dolar AS. Supaya aliran dana keluar tidak semakin deras, maka amat dicemaskan BI kembali menaikkan BI Rate minimal 25 bp.

Pertanyaannya, apakah harus begitu terus menerus? Tidak! Gula-gula manis yang ditawarkan oleh BI kepada investor asing global berupa suku bunga acuan sesung-guhnya sudah cukup tinggi. Coba bandingkan suku bunga acuan negara-negara berkembang lainnya (emerging markets) seperti Korea Selatan dan Thailand 2%, Malaysia 3,25%, Filipina 4%.

Langkah Strategis

Lalu, bagaimana likuiditas bank nasional ke depan? Langkah apa saja yang harus diambil? Pertama, likuiditas bakal makin ketat. Tak lama lagi, akan pecah perang suku bunga simpanan terutama deposito untuk memperebutkan dana pihak ketiga (DPK).

Statistik Perbankan Indonesia (SPI) September 2014 yang terbit 18 November 2014 menunjukkan DPK bank umum melonjak 12,84% dari Rp3.401,64 triliun per September 2013 menjadi Rp3.838,47 per September 2014. Sementara itu, suku bunga rata-rata deposito (rupiah) naik dari 6,67% per September 2013 menjadi 8,48% per September 2014 untuk tenor satu bulan.

Kemudian menyusul suku bunga rata-rata deposito (rupiah) yang juga melesat dari 6,65% menjadi 9,57% (tenor tiga bulan), dari 6,51% m e n j a d i 9,29% (tenor enam bulan) dan dari 6,34% menjadi 8,81% untuk tenor 12 bulan pada periode yang sama. Namun, perang tersebut tidak bakal terlalu sengit lantaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan batas atas suku bunga deposito untuk nominal di atas Rp2 miliar.

Kedua, utang luar negeri akan makin meningkat. Akibat logisnya, bank nasional papan bawah alias bank kecil akan mengajukan utang ke luar negeri. Mengapa? Karena suku bunga pinjaman luar negeri jauh lebih rendah dari pada di dalam negeri. Tengok saja, suku bunga acuan di Jepang 0,00%, Jerman dan Prancis 0,05%, Singapura 0,12%, AS 0,25%, Hong Kong 0,50%.

Namun, ingat bahwa bank nasional mau tak mau harus menghindari terjadinya potensi risiko nilai tukar.

Artinya, jangan sampai utang jangka pendek digunakan untuk membiayai proyek jangka panjang seperti proyek-proyek infrastruktur (mismatch). Ketiga, kredit sektor maritim bakal melejit. Sejalan dengan program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang segera membangun poros maritim dunia, kredit sektor maritim bakal ikut terdorong naik. Di dalam negeri, bank nasional dapat berperan aktif dalam ikut membiayai proyek pelabuhan laut untuk mewujudkan ”tol laut”.

Selain itu, bank nasional juga dapat menggalakkan kredit perikanan dari perikanan lepas pantai hingga laut dalam yang masuk dalam sektor maritim. Keempat, mempererat kerja sama dengan perusahaan asuransi. Salah satu kiat jitu untuk menumpuk likuiditas adalah dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan asuransi. Sebut saja, bancassurance yakni produk dan jasa asuransi yang ditawarkan dan dipasarkan melalui bank.

Contoh yang paling mudah adalah Tabungan Pendidikan yakni produk tabungan yang memuat pula manfaat asuransi. Tak kalah basah adalah unit link yang selain menawarkan perlindungan asuransi jiwa tetapi juga memuat investasi kepada konsumen. Inilah salah satu produk primadona perusahaan asuransi nasional terkini yang dapat dipasarkan melalui bank nasional.

Kelima, meningkatkan kualitas kredit. Ingat, dalam kondisi likuiditas ketat seperti kini, ancaman kenaikan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) terbuka lebar. SPI mencatat NPL naik dari 1,86% per September 2013 menjadi 2,29% per September 2014.

Nah untuk itu, bank nasional wajib senantiasa berupaya untuk menurunkan NPL. Bank nasional pun wajib mengerek kualitas kredit dengan bertindak lebih hati-hati dalam mengucurkan kredit.

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6834 seconds (0.1#10.140)