Kreativitas, Lokalitas, Diversitas
A
A
A
Usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat signifikan dalam perekonomian Indonesia, baik dari sisi jumlah unit usaha, penyerapan tenaga kerja, maupun kontribusi dalam produk domestik bruto (PDB).
Pada tahun 2011, jumlah UMKM kita mencapai 55,2 juta unit, sebuah jumlah yang luar biasa besar. Itu artinya secara unit sektor-sektor ekonomi kita didominasi oleh sektor UMKM hingga mencapai 99,9%. Harap diketahui, sektor usaha besar kita saat ini hanya berjumlah sekitar 5000 unit atau 0,01%.
Dengan jumlahsebanyakituUMKMmenyerap sebanyak 101 juta tenaga kerja atau 86,6% dari total tenaga kerja kita sebanyak 117,5 juta, dan menghasilkan produk domestik bruto (PDB) Rp4.303,6 triliun atau 57,9% dari total PDB kita sebesar Rp7.427 triliun. Yang dimaksud usaha mikro adalah perusahaan yang memiliki omzet maksimal Rp300 juta dan aset maksimal Rp50 juta setahun.
Usaha kecil memiliki omzet antara Rp300 juta dan Rp2,5 miliar dan aset antara Rp50 juta dan Rp500 juta. Usaha menengah memiliki omzet antara Rp2,5 miliar dan Rp50 miliar serta aset antara Rp500 juta dan Rp10 miliar. Sementara usaha besar memiliki omzet di atas Rp50 miliar dan aset di atas Rp10 miliar.
Dari gambaran komposisi pelaku ekonomi berikut kontribusinya tersebut, menjadi jelas bahwa bangsa ini harus sadar dan bangun dari tidur panjang untuk segera mengedepankan sektor ini sebagai pilar utama perekonomian nasional. Apa faktor kunci untuk menjadikan UMKM sebagai pilar perekonomian Indonesia? Kuncinya satu, yaitu branding.
Branding UMKM
Branding (atau lebih tepatnya brand-building) UMKM adalah proses membangun daya saing UMKM nasional melalui kekuatan ekuitas merek (brand equity). Proses membangun merek ini tak hanya sebatas menciptakan logo (trade mark) yang bagus atau melakukan promosi yang gencar.
Secara lebih fundamental, proses membangun merek adalah keseluruhan proses membangun daya saing produk/layanan UMKM untuk menghasilkan nilai (value) terbaik kepada konsumen. Proses penciptaan nilai (value creation) ini mencakup seluruh aspek pengelolaan UMKM yaitu: produksi, pemasaran, keuangan, pengembangan produk (R&D), layanan pelanggan (customer service), penjualan, proses bisnis, SDM (human resource management), hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya.
Proses brand-building yang kokoh pada gilirannya akan menghasilkan nilai tambah (value-added) yang tinggi kepada produk yang dicerminkan oleh harga yang tinggi (premium). Ambil contoh kopi Starbucks.
Kopi Starbucks memiliki ekuitas merek yang kokoh karena keseluruhan pengelolaan mereknya, mulai dari produk kopinya yang berkualitas dunia, pengembangan produk dan layanan (R&D), konsep gerai yang dirancang cocok untuk nongkrong, customer experience yang tercipta oleh ambien ruangan yang cool.
Walhasil, kopi yang di warung-warung pinggir jalan (dijual sebagai “komoditas”, bukan “brand”) hanya terjual Rp4.000, di Starbuck bisa terjual hingga Rp40.000. Artinya, terdapat nilai tambah sebesar 10 kali lipat.
Padat Kreativitas dan Budaya
Saya melihat, saat ini tantangan terbesar dari UMKM di Indonesia adalah meningkatkan daya saing mereka melalui proses brand building di atas. Apalagi satu setengah tahun lagi kita dipaksa memasuki era perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) di mana UMKM nasional harus menghadapi persaingan dari merek-merek regional dan global yang telah memiliki ekuitas merek yang kokoh.
Harus diingat, seiring maraknya pasar Indonesia, akibat tumbuh pesatnya masyarakat kelas menengah (middle-class consumers), saat ini Indonesia telah diserbu dan dikuasai merek- merek regional/global di sektorsektor strategis seperti perbankan, telekomunikasi, pertambangan, otomotif, farmasi, FMCG, elektronik, kosmetik, periklanan, dan sebagainya.
Dengan serbuan perusahaanperusahaan dan merek-merek global yang memiliki kemampuan modal, SDM, teknologi, dan manajemen yang solid ini, sulit bagi perusahaan dan merek lokal untuk bisa menandingi mereka di sektor-sektor yang padat modal, padat pengetahuan, dan padat teknologi. Perusahaan dan merek lokal justru bisa menandingi mereka di sektor-sektor yang “padat kreativitas” dan “padat budaya”.
Long Tail vs Giant
Dalam konteks inilah UMKM bisa memainkan peran strategis untuk menandingi dominasi merek global di bumi Nusantara dengan memperkuat daya saing di sektor-sektor padat kreativitas dan padat budaya seperti: pariwisata (destinasi), kuliner, fashion, kerajinan, game online, toys, pertanian (agro), perikanan, pengolahan produksi pertanian/perikanan, dan sebagainya.
Saya melihat bahwa kreativitas (creativity), lokalitas (locality) dan diversitas atau keragaman (diversity) yang bersumber pada kekayaan alam dan budaya Indonesia bisa menjadi sumber keunggulan bersaing (competitiveness) UMKM kita dalam bersaing dengan merek-merek global di pasar dalam negeri.
Ambil contoh di sektor pariwisata. Di sektor ini kita memiliki modal berupa keragaman tradisi berbagai daerah dan keindahan alam yang luar biasa. Begitu juga sektor usaha kuliner. Di bidang kuliner kita memiliki cita rasa makanan Nusantara yang sangat kaya mulai dari gudeg hingga rendang, dari lumpia hingga bika ambon.
Kekayaan khasanah kuliner Nusantara ini seharusnya bisa menjadi senjata ampuh UMKM untuk menyaingi dominasi jaringan fast food global yang kian menjamur. Dengan melakukan branding yang berbasis pada kreativitas, lokalitas, dan keragaman, jutaan UMKM di Tanah Air seharusnya bisa menandingi dominasi merek global di pasar Indonesia. “The long tail” seharusnya bisa mengalahkan “the giant”.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
@yuswohady
Pada tahun 2011, jumlah UMKM kita mencapai 55,2 juta unit, sebuah jumlah yang luar biasa besar. Itu artinya secara unit sektor-sektor ekonomi kita didominasi oleh sektor UMKM hingga mencapai 99,9%. Harap diketahui, sektor usaha besar kita saat ini hanya berjumlah sekitar 5000 unit atau 0,01%.
Dengan jumlahsebanyakituUMKMmenyerap sebanyak 101 juta tenaga kerja atau 86,6% dari total tenaga kerja kita sebanyak 117,5 juta, dan menghasilkan produk domestik bruto (PDB) Rp4.303,6 triliun atau 57,9% dari total PDB kita sebesar Rp7.427 triliun. Yang dimaksud usaha mikro adalah perusahaan yang memiliki omzet maksimal Rp300 juta dan aset maksimal Rp50 juta setahun.
Usaha kecil memiliki omzet antara Rp300 juta dan Rp2,5 miliar dan aset antara Rp50 juta dan Rp500 juta. Usaha menengah memiliki omzet antara Rp2,5 miliar dan Rp50 miliar serta aset antara Rp500 juta dan Rp10 miliar. Sementara usaha besar memiliki omzet di atas Rp50 miliar dan aset di atas Rp10 miliar.
Dari gambaran komposisi pelaku ekonomi berikut kontribusinya tersebut, menjadi jelas bahwa bangsa ini harus sadar dan bangun dari tidur panjang untuk segera mengedepankan sektor ini sebagai pilar utama perekonomian nasional. Apa faktor kunci untuk menjadikan UMKM sebagai pilar perekonomian Indonesia? Kuncinya satu, yaitu branding.
Branding UMKM
Branding (atau lebih tepatnya brand-building) UMKM adalah proses membangun daya saing UMKM nasional melalui kekuatan ekuitas merek (brand equity). Proses membangun merek ini tak hanya sebatas menciptakan logo (trade mark) yang bagus atau melakukan promosi yang gencar.
Secara lebih fundamental, proses membangun merek adalah keseluruhan proses membangun daya saing produk/layanan UMKM untuk menghasilkan nilai (value) terbaik kepada konsumen. Proses penciptaan nilai (value creation) ini mencakup seluruh aspek pengelolaan UMKM yaitu: produksi, pemasaran, keuangan, pengembangan produk (R&D), layanan pelanggan (customer service), penjualan, proses bisnis, SDM (human resource management), hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya.
Proses brand-building yang kokoh pada gilirannya akan menghasilkan nilai tambah (value-added) yang tinggi kepada produk yang dicerminkan oleh harga yang tinggi (premium). Ambil contoh kopi Starbucks.
Kopi Starbucks memiliki ekuitas merek yang kokoh karena keseluruhan pengelolaan mereknya, mulai dari produk kopinya yang berkualitas dunia, pengembangan produk dan layanan (R&D), konsep gerai yang dirancang cocok untuk nongkrong, customer experience yang tercipta oleh ambien ruangan yang cool.
Walhasil, kopi yang di warung-warung pinggir jalan (dijual sebagai “komoditas”, bukan “brand”) hanya terjual Rp4.000, di Starbuck bisa terjual hingga Rp40.000. Artinya, terdapat nilai tambah sebesar 10 kali lipat.
Padat Kreativitas dan Budaya
Saya melihat, saat ini tantangan terbesar dari UMKM di Indonesia adalah meningkatkan daya saing mereka melalui proses brand building di atas. Apalagi satu setengah tahun lagi kita dipaksa memasuki era perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) di mana UMKM nasional harus menghadapi persaingan dari merek-merek regional dan global yang telah memiliki ekuitas merek yang kokoh.
Harus diingat, seiring maraknya pasar Indonesia, akibat tumbuh pesatnya masyarakat kelas menengah (middle-class consumers), saat ini Indonesia telah diserbu dan dikuasai merek- merek regional/global di sektorsektor strategis seperti perbankan, telekomunikasi, pertambangan, otomotif, farmasi, FMCG, elektronik, kosmetik, periklanan, dan sebagainya.
Dengan serbuan perusahaanperusahaan dan merek-merek global yang memiliki kemampuan modal, SDM, teknologi, dan manajemen yang solid ini, sulit bagi perusahaan dan merek lokal untuk bisa menandingi mereka di sektor-sektor yang padat modal, padat pengetahuan, dan padat teknologi. Perusahaan dan merek lokal justru bisa menandingi mereka di sektor-sektor yang “padat kreativitas” dan “padat budaya”.
Long Tail vs Giant
Dalam konteks inilah UMKM bisa memainkan peran strategis untuk menandingi dominasi merek global di bumi Nusantara dengan memperkuat daya saing di sektor-sektor padat kreativitas dan padat budaya seperti: pariwisata (destinasi), kuliner, fashion, kerajinan, game online, toys, pertanian (agro), perikanan, pengolahan produksi pertanian/perikanan, dan sebagainya.
Saya melihat bahwa kreativitas (creativity), lokalitas (locality) dan diversitas atau keragaman (diversity) yang bersumber pada kekayaan alam dan budaya Indonesia bisa menjadi sumber keunggulan bersaing (competitiveness) UMKM kita dalam bersaing dengan merek-merek global di pasar dalam negeri.
Ambil contoh di sektor pariwisata. Di sektor ini kita memiliki modal berupa keragaman tradisi berbagai daerah dan keindahan alam yang luar biasa. Begitu juga sektor usaha kuliner. Di bidang kuliner kita memiliki cita rasa makanan Nusantara yang sangat kaya mulai dari gudeg hingga rendang, dari lumpia hingga bika ambon.
Kekayaan khasanah kuliner Nusantara ini seharusnya bisa menjadi senjata ampuh UMKM untuk menyaingi dominasi jaringan fast food global yang kian menjamur. Dengan melakukan branding yang berbasis pada kreativitas, lokalitas, dan keragaman, jutaan UMKM di Tanah Air seharusnya bisa menandingi dominasi merek global di pasar Indonesia. “The long tail” seharusnya bisa mengalahkan “the giant”.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
@yuswohady
(bbg)