Pengalihan Bisnis Gas Pertamina ke PGN Perlu Dikaji
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR Komisi VII Bobby Rizaldi menolak rencana pengalihan pengelolaan bisnis gas PT Pertamina (persero) ke PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk.
Menurut Bobby, pemerintah gegabah jika niatan pemindahan bisnis gas itu direalisasikan. Harusnya, kata dia, pemerintah harus melalukan kajian terlebih dahulu sebelum membuat keputusan.
"Dua BUMN ini telah mempunyai pasarnya masing-masing," kata Bobby di Jakarta, Kamis (11/12/2014).
Bobby menuturkan, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, kedua belah pihak telah mempunyai infrastruktur jaringan dan distribusi masing-masing, bahkan telah mempunyai pasar masing-masing.
Kedua, dua BUMN telah memiliki sumber gas yang berbeda dan tidak efisien jika disatukan lantaran struktur biayanya tidak sepadan. Tidak hanya itu, pemain tunggal dalam industri hilir rentan membentuk pasar monopoli, yang akan membuat konsumen kehilangan opsi kompetitif dan melanggar Undang-undang persaingan usaha.
"Sebaiknya mereka bikin konsorsium saja melalui anak usaha masing-masing. Jika konsepnya jelas maka bisa dilanjutkan," ujarnya.
Senada dengannya, Direktur Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa pemeritah gegabah dalam masalah ini. Menurut dia, PGN bisa memerintahkan PGN menyuplai gasnya ke SPBG-SPBG Pertamina yang sudah dibangun Pertamina dan Pertamina harus memberikan izin pembangunan SPBG PGN di lokasi SPBU secara equal bisnis.
Hal itu, kata Mamit, sebagaimana yang dinyatakan Menteri ESDM Sudirman Said bahwa bisnis gas akan dikaji terlebih dahulu.
"Jika Pertamina dan PGN harus bersaing dalam bisnis ini, maka harus diarahkan bersaing secara sehat. Itu karena dua perusahaan ini mempunyai kemampuan dari sisi modal dalam membangun infrastruktur pembuatan SPBG maupun SPBT," tuturnya.
Dengan persaingan yang sehat, masyarakat yang akan menikmati secara keseluruhan. Karena itu, menurut dia, pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN harus tegas menyikapi masalah ini dengan benar dan bijaksana, sehingga kedua BUMN bisa bersinergi dan tidak saling menjatuhkan.
Menurut Bobby, pemerintah gegabah jika niatan pemindahan bisnis gas itu direalisasikan. Harusnya, kata dia, pemerintah harus melalukan kajian terlebih dahulu sebelum membuat keputusan.
"Dua BUMN ini telah mempunyai pasarnya masing-masing," kata Bobby di Jakarta, Kamis (11/12/2014).
Bobby menuturkan, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, kedua belah pihak telah mempunyai infrastruktur jaringan dan distribusi masing-masing, bahkan telah mempunyai pasar masing-masing.
Kedua, dua BUMN telah memiliki sumber gas yang berbeda dan tidak efisien jika disatukan lantaran struktur biayanya tidak sepadan. Tidak hanya itu, pemain tunggal dalam industri hilir rentan membentuk pasar monopoli, yang akan membuat konsumen kehilangan opsi kompetitif dan melanggar Undang-undang persaingan usaha.
"Sebaiknya mereka bikin konsorsium saja melalui anak usaha masing-masing. Jika konsepnya jelas maka bisa dilanjutkan," ujarnya.
Senada dengannya, Direktur Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa pemeritah gegabah dalam masalah ini. Menurut dia, PGN bisa memerintahkan PGN menyuplai gasnya ke SPBG-SPBG Pertamina yang sudah dibangun Pertamina dan Pertamina harus memberikan izin pembangunan SPBG PGN di lokasi SPBU secara equal bisnis.
Hal itu, kata Mamit, sebagaimana yang dinyatakan Menteri ESDM Sudirman Said bahwa bisnis gas akan dikaji terlebih dahulu.
"Jika Pertamina dan PGN harus bersaing dalam bisnis ini, maka harus diarahkan bersaing secara sehat. Itu karena dua perusahaan ini mempunyai kemampuan dari sisi modal dalam membangun infrastruktur pembuatan SPBG maupun SPBT," tuturnya.
Dengan persaingan yang sehat, masyarakat yang akan menikmati secara keseluruhan. Karena itu, menurut dia, pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN harus tegas menyikapi masalah ini dengan benar dan bijaksana, sehingga kedua BUMN bisa bersinergi dan tidak saling menjatuhkan.
(rna)