Sukses Jajal Peruntungan Jadi Pelopor Bisnis Bebek Sangrai
A
A
A
SELAIN kaya akan sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia juga kaya dengan dunia kulinernya yang memiliki rasa khas dengan rempah asli dari tanah leluhur.
Salah satu sajiannya adalah yang menggunakan bahan dasar bebek, yang gemar disantap oleh masyarakat di Tanah Air, baik dengan dibakar ataupun digoreng.
Namun baru-baru ini terdapat sajian lain dari bebek yang ditekuni oleh Fery Eka Laksmana Hasan. Pria ini menjajal peruntungannya dengan membuat bebek sangrai.
Dia menjelaskan, proses pembuatan bebek sangrai tersebut tidaklah menggunakan minyak. Pria asal Kota Kembang ini menggunakan wajan yang terbentuk dari tanah liat.
"Jadi, kalau kita itu pertama, fokus mulai dari prosesnya tradisional. Kita modelnya disangrai, jadi kita diolah tanpa menggunakan minyak. Jadi, menggunakan wajan yang terbentuk dari tanah liat. Nah, itu salah satu keunikannya. Kita punya masakan khasnya adalah bebek sangrai," ucap dia kepada Sindonews di Universitas Padjajaran, Bandung, Sabtu (13/12/2014).
Pemilik rumah makan Bebek Udig ini telah memulai usahanya sejak 2010. Hal ini dilakukannya lantaran terinsipirasi oleh Kerupuk Melarat yang digoreng menggunakan pasir.
Dia bercerita, Bebek Udig di awal usahanya hanya menggunakan tempat di pinggir jalan dengan bermodal uang Rp20 juta. Namun kini, dirinya telah memiliki dua cabang yang berada di daerah Dago dan Jatinangor.
"Waktu awal saya bikin bebek itu sekitar Rp20 juta. Pokoknya, karena waktu itu tempat masih dipinggir jalan, jadi tidak terlalu mahal," sebutnya.
Saat ini, berkat kegigihan dan ketekunan Fery menjalankan usahanya, diri mampu menjual sekitar 200 hingga 300 porsi per hari dengan harga Rp25.000 per porsi.
Selain melakukan penjualan di dua restoran miliknya, dirinya juga menjajakan bebek sangrai miliknya via online melalui akun Facebook dan Twitter miliknya, dengan harga Rp30.000.
"Kalau online tidak terbatas, kita kan selama orang selama ada pemesanan lewat fanpage kita, lewat Twitter, ya kita layani," jelas dia.
Fery menabahkan, sejak ditonjolkannya bebek sangrai di restoran Bebek Udig miliknya, respon masyarakat sangat luar biasa positif. Terlebih varian bebek sangrai ini dialah yang mempeloporinya.
karena tidak menggunakan minyak, bebek sangrai miliknya pun aman dikonsumsi karena rendah kolesterol. Rasanya pun unik dan lezat.
"Karena kalau bebek goreng atau bakar kan biasa. Sangrai itu kan sesuatu diantara goreng dan bakar, jadi rendah kolestrol sudah pasti. Ktika disangrai kan kulit bebek itu ke-reduce, makanya orang doyan banget. Kalau datang ke tempat kita pasti minta sangrai," ucapnya.
Kendati demikian, Fery juga tidak menghilangkan varian bebek bakar dan bebek goreng di restorannya. Selain itu, dia juga melengkapinya dengan menu masakan burung dara dan ayam.
"Bumbu yang kita pakai itu tradisional, kayak rendang, sambel matah. Jadi yang kita angkat itu nuansa sambel daerah, dengan konsep bebeknya sangrai," ujar Fery.
Dalam menjual kuliner miliknya tersebut, Fery dibantu oleh 13 orang karyawan yang terbagi dalam bagian kitchen, service, dan manajemen.
"Jadi ada dua model. Kita punya dapurnya, di situ untuk tempat prosesnya, development product dan satu lagi restoran itu fungsinya untuk mengeksekusi produk, digoreng, dibakar, atau disangrai," tutup Fery.
Salah satu sajiannya adalah yang menggunakan bahan dasar bebek, yang gemar disantap oleh masyarakat di Tanah Air, baik dengan dibakar ataupun digoreng.
Namun baru-baru ini terdapat sajian lain dari bebek yang ditekuni oleh Fery Eka Laksmana Hasan. Pria ini menjajal peruntungannya dengan membuat bebek sangrai.
Dia menjelaskan, proses pembuatan bebek sangrai tersebut tidaklah menggunakan minyak. Pria asal Kota Kembang ini menggunakan wajan yang terbentuk dari tanah liat.
"Jadi, kalau kita itu pertama, fokus mulai dari prosesnya tradisional. Kita modelnya disangrai, jadi kita diolah tanpa menggunakan minyak. Jadi, menggunakan wajan yang terbentuk dari tanah liat. Nah, itu salah satu keunikannya. Kita punya masakan khasnya adalah bebek sangrai," ucap dia kepada Sindonews di Universitas Padjajaran, Bandung, Sabtu (13/12/2014).
Pemilik rumah makan Bebek Udig ini telah memulai usahanya sejak 2010. Hal ini dilakukannya lantaran terinsipirasi oleh Kerupuk Melarat yang digoreng menggunakan pasir.
Dia bercerita, Bebek Udig di awal usahanya hanya menggunakan tempat di pinggir jalan dengan bermodal uang Rp20 juta. Namun kini, dirinya telah memiliki dua cabang yang berada di daerah Dago dan Jatinangor.
"Waktu awal saya bikin bebek itu sekitar Rp20 juta. Pokoknya, karena waktu itu tempat masih dipinggir jalan, jadi tidak terlalu mahal," sebutnya.
Saat ini, berkat kegigihan dan ketekunan Fery menjalankan usahanya, diri mampu menjual sekitar 200 hingga 300 porsi per hari dengan harga Rp25.000 per porsi.
Selain melakukan penjualan di dua restoran miliknya, dirinya juga menjajakan bebek sangrai miliknya via online melalui akun Facebook dan Twitter miliknya, dengan harga Rp30.000.
"Kalau online tidak terbatas, kita kan selama orang selama ada pemesanan lewat fanpage kita, lewat Twitter, ya kita layani," jelas dia.
Fery menabahkan, sejak ditonjolkannya bebek sangrai di restoran Bebek Udig miliknya, respon masyarakat sangat luar biasa positif. Terlebih varian bebek sangrai ini dialah yang mempeloporinya.
karena tidak menggunakan minyak, bebek sangrai miliknya pun aman dikonsumsi karena rendah kolesterol. Rasanya pun unik dan lezat.
"Karena kalau bebek goreng atau bakar kan biasa. Sangrai itu kan sesuatu diantara goreng dan bakar, jadi rendah kolestrol sudah pasti. Ktika disangrai kan kulit bebek itu ke-reduce, makanya orang doyan banget. Kalau datang ke tempat kita pasti minta sangrai," ucapnya.
Kendati demikian, Fery juga tidak menghilangkan varian bebek bakar dan bebek goreng di restorannya. Selain itu, dia juga melengkapinya dengan menu masakan burung dara dan ayam.
"Bumbu yang kita pakai itu tradisional, kayak rendang, sambel matah. Jadi yang kita angkat itu nuansa sambel daerah, dengan konsep bebeknya sangrai," ujar Fery.
Dalam menjual kuliner miliknya tersebut, Fery dibantu oleh 13 orang karyawan yang terbagi dalam bagian kitchen, service, dan manajemen.
"Jadi ada dua model. Kita punya dapurnya, di situ untuk tempat prosesnya, development product dan satu lagi restoran itu fungsinya untuk mengeksekusi produk, digoreng, dibakar, atau disangrai," tutup Fery.
(rna)