Kisah Pengusaha UMKM Berkelit dari Himpitan Wabah Corona

Senin, 27 April 2020 - 14:47 WIB
loading...
Kisah Pengusaha UMKM Berkelit dari Himpitan Wabah Corona
Hazmat produksi Cyclone
A A A
Nyaris semua bidang tak kuasa berkelit dari serbuan wabah virus Corona. Salah satu yang terkapar digebuk virus mematikan itu tentu saja bidang bisnis. Kebijakan lockdown di berbagai negara dan penerapan bekerja dari rumah (work from home/WFH) yang diikuti oleh Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia membuat ekonomi mati suri.

Para pelaku usaha pun kudu putar otak mencari cara agar bisnis terus berjalan. Pemilik usaha event organizer lomba lari dan produsen kaus olahraga Sadruddin mengakui bisnisnya mengalami penurunan yang cukup dalam. “Semestinya bulan-bulan menjelang Ramadan menjadi masa panen kami,” katanya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (22/4).

Apa hendak dikata, sejak pemberlakuan kebijakan work from home/WFH) dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) guna menghadang serbuan wabah Covid-19, satu per satu kliennya mundur teratur. Sesuai kesepakatan, seharusnya bulan Maret lalu , Indorace -- bendera bisnisnya untuk event running, menggarap dua lomba, dan bulan April tujuh lomba. Begitu pula bisnis penyewaan sepedanya, dua event dibatalkan. “Venuenya tidak mendapat izin dari pihak keamanan,” tuturnya.

Namun bencana Covid-19 yang melanda seluruh dunia tak bisa dihadapi dengan keluh kesah. Di balik kesulitan niscaya ada jalan. Saat sepi order, seorang klien lama mengontaknya dari Bali. Sang klien rupanya menggelar event virtual race. Ini adalah lomba lari virtual berbasis aplikasi di AppStore. Peminatnya rupanya cukup banyak. Panitia lantas memberi benefit sehelai kaus olahraga jersi untuk setiap peserta. “Mereka mengorder kaus olahraga ke kami,” ujar Iye, panggilan akrabnya, sumringah.

Sepanjang bulan Maret dan April sudah beberapa ajang virtual race digelar. “Kami kebagian order membuat 6.000 potong kaus,” katanya. Toh pesanan itu belum mampu menutupi pendapatan perusahaannya di saat kondisi normal. Ia lantas mencoba para karyawannya yang menangani Cyclone –unit usaha pembuatan kaus olahraga- membuat hazmat (pakaian dekontaminasi atau alat pelindung diri dari material berbahaya).

Gayung bersambut. Bisnis barunya langsung disambut pasar. Maklum semua orang was-was dengan pandemi Covid-19. “Pesanan pun datang dari berbagai perusahaan, antara lain dari Telkom, lalu Universitas Indonesia dan beberapa komunitas,” tuturnya,”Mereka order pakaian hazmat untuk didonasikan ke pihak-pihak yang membutuhkan.” Cyclone mampu menyelesaikan order 100 potong hazmat per hari. Adapun bahannya diperoleh dari pabrik pembuat material yang mengantungi sertifikat antibacterial dan waterrapellen.

Derasnya permintaan hazmat, membuat Cyclone kewalahan. “Terpaksa kami mensubkontrakkan orderan itu ke teman-teman yang juga mempunyai usaha sejenis,” sahutnya. “Alhamdulillah, biaya operasional, listrik, gaji karyawan bisa tertutup,” ujarnya. Memang jika bicara marjin, masih jauh dari kondisi normal. “Jadi ini upaya untuk survive saja.”

Alhasil sejauh ini 12 orang karyawannya di Cylone masih berkerja normal tanpa pemotongan gaji sepeserpun. Bahkan mereka masih mendapatkan upah lembur. Ini sebuah berkah yang pantas disyukuri bagi industri rumahan di Kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. “Dalam kondisi begini karyawan juga takut untuk kampung lantaran adanya kewajiban mengikuti protokol penanganan Covid-19,” ujarnya.

Sikap ogah menyerah pada virus corona juga ditunjukkan oleh pemilik kedai kopi “Uncle Jo”, Yohanes Handoyo. Meski terpaksa menutup lima outletnya yang tersebar di Depok, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Jakarta Timur, ia tetap mempertahankan bisnisnya. “Saya tetap menerima order secara online,” kata pria 37 tahun itu kepada SINDOnews. Ia pun memanfaatkan semua jaringannya yang tercantum di WhatsApp, Instagram, juga melalui Go Food dan Grab Food. Ia juga membebaskan pelanggannya dari ongkos kirim. “Saya tambah dengan bonus, beli dua gratis satu,” paparnya.

Kendati begitu, dari sisi revenue bisnis secara daring belum bisa menyamai pendapatannya dari bisnis offline. “Dengan ditutupnya outlet, pendapatan saya anjlok 70-80 persen,” sahutnya. Alhasil, ayah satu anak ini terpaksa merumahkan 38 karyawannya. “Fixed cost dipangkas dulu, termasuk honor dan gaji karyawan,” ucapnya,”Mau bagaimana, kita kan memang dilarang untuk bertemu, berkumpul, harus social distancing.”
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0947 seconds (0.1#10.140)