Pengadaan Barang dan Jasa Hulu Migas Rawan Penyimpangan
A
A
A
JAKARTA - Pengadaan barang dan jasa dalam kegiatan hulu minyak dan gas (migas) di bawah USD5 juta atau sekitar Rp64 miliar yang kewenangannya dimiliki Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam model Production Sharing Contract (PSC) diduga rawan penyimpangan.
Koordinator Program Lembaga Kajian dan Advokasi Energi dan Sumber Daya Alam (LKA-ESDA) AC Rachman mengemukakan, proses pengadaan barang dan jasa (procurement) oleh PSC tersebut harus diawasi ketat oleh pemerintah, khususnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
"Hal ini guna meminimalisasi potensi kebocoran dan pemborosan anggaran keuangan negara. Karena penggunaan anggaran dalam bentuk pengadaan barang dan jasa itu terkait dengan cost recovery. Jadi, harus ada pengawasan intensif dan ketat,” jelas Rachman di Jakarta, Selasa (16/12/2014).
Menurutnya, pembatasan kewenangan PSC harus tetap ditegakkan pemerintah, sejalan dengan prinsip dan praktek pengendalian biaya yang hati-hati (prudent). Sebaliknya, jika dibiarkan atau tanpa pengendalian seperti pembatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan pengadaan barang dan jasa, maka akan terjadi kobocoran anggaran.
"Nanti akan kita buka datanya, PSC mana saja yang diduga melakukan penyimpangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa. Karena itu, kewenangan PSC dalam mengambil keputusan pengadaan barang dan jasa tidak boleh lebih dari besaran yang telah ditetapkan selama ini, yaitu USD5 juta. Kalau perlu dipangkas lagi kewenangannya bukan malah ditambah," tegas Rachman.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas
Lebih jauh, dia mengatakan, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri dan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi harus menyelesaikan dugaan adanya penyimpangan tersebut.
"Ini bagian dari permasalahan yang harus diatasi segera. Jangan terus memberikan kewenangan terlalu luas dalam hal pengelolaan anggaran operasional tanpa ada pengawasan yang ketat. Ingat, ini terkait dengan anggaran negara karena berpengaruh dalam besaran cost recovery," tegasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menegaskan dalam struktur cost recovery, sekitar 80-85% merupakan pengadaan barang dan jasa impor.
Karena itu, terdapat minimal lima masalah. Yaitu, informasi asimetri tentang harga dan kualitas barang-jasa yang diimpor; perusahaan yang mengekspor apakah aliansi atau sister company; sistem delivery; serta biaya transaksi dan keluarnya devisa.
"Dari lima masalah itu titik beratnya adalah, perusahaan minyak yang mengimpor berupaya minimalkan biaya melalui strategi pengalihan pendapatan," jelasnya.
Koordinator Program Lembaga Kajian dan Advokasi Energi dan Sumber Daya Alam (LKA-ESDA) AC Rachman mengemukakan, proses pengadaan barang dan jasa (procurement) oleh PSC tersebut harus diawasi ketat oleh pemerintah, khususnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
"Hal ini guna meminimalisasi potensi kebocoran dan pemborosan anggaran keuangan negara. Karena penggunaan anggaran dalam bentuk pengadaan barang dan jasa itu terkait dengan cost recovery. Jadi, harus ada pengawasan intensif dan ketat,” jelas Rachman di Jakarta, Selasa (16/12/2014).
Menurutnya, pembatasan kewenangan PSC harus tetap ditegakkan pemerintah, sejalan dengan prinsip dan praktek pengendalian biaya yang hati-hati (prudent). Sebaliknya, jika dibiarkan atau tanpa pengendalian seperti pembatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan pengadaan barang dan jasa, maka akan terjadi kobocoran anggaran.
"Nanti akan kita buka datanya, PSC mana saja yang diduga melakukan penyimpangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa. Karena itu, kewenangan PSC dalam mengambil keputusan pengadaan barang dan jasa tidak boleh lebih dari besaran yang telah ditetapkan selama ini, yaitu USD5 juta. Kalau perlu dipangkas lagi kewenangannya bukan malah ditambah," tegas Rachman.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas
Lebih jauh, dia mengatakan, Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri dan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi harus menyelesaikan dugaan adanya penyimpangan tersebut.
"Ini bagian dari permasalahan yang harus diatasi segera. Jangan terus memberikan kewenangan terlalu luas dalam hal pengelolaan anggaran operasional tanpa ada pengawasan yang ketat. Ingat, ini terkait dengan anggaran negara karena berpengaruh dalam besaran cost recovery," tegasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menegaskan dalam struktur cost recovery, sekitar 80-85% merupakan pengadaan barang dan jasa impor.
Karena itu, terdapat minimal lima masalah. Yaitu, informasi asimetri tentang harga dan kualitas barang-jasa yang diimpor; perusahaan yang mengekspor apakah aliansi atau sister company; sistem delivery; serta biaya transaksi dan keluarnya devisa.
"Dari lima masalah itu titik beratnya adalah, perusahaan minyak yang mengimpor berupaya minimalkan biaya melalui strategi pengalihan pendapatan," jelasnya.
(dmd)