Jaga Rupiah BI Intervensi Pasar
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memastikan akan terus berada di pasar dan melakukan intervensi demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Bank sentral menilai pelemahan kurs rupiah dalam beberapa hari terakhir berlebihan.
Rupiah yang sempat bergerak liar hingga menyentuh level Rp12.900 per dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pagi kemarin akhirnya sedikit menguat di kisaran Rp12.700 per dolar AS. ”Dalam konteks stabilisasi rupiah, kita terus berada di pasar dan mengintervensi pasar valas. Itu tugas BI agar rupiah sejalan dengan fundamental. Kita juga lakukan pembelian SBN (surat berharga negara) di pasar sekunder,” ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo saat memberikan keterangan pers di Jakarta kemarin.
Dia menuturkan, BI telah membeli SBN hingga Rp1,5 triliun Senin lalu (15/12) dan terus berlanjut kemarin senilai hampir Rp200 miliar. Langkah BI ini berhasil menurunkan tingkat imbal hasil (yield ) obligasi menjadi pada kisaran 8,5% dari sebelumnya 8,8%. ”Intensitas pembelian SBN itu lebih kecil dibandingkan bulan Mei-Juni tahun lalu saat terjadi capital outflow ,” ungkapnya.
Perry optimistis investor jangka panjang tetap menempatkan dananya di Indonesia. Arus modal keluar yang terjadi di pasar SBN sejak awal Desember karena faktor musiman dan investor biasanya melakukan reposisi portofolio. Pada akhir tahun investor biasanya melepas SBN dan akan masuk kembali ke Indonesia awal tahun. Dia yakin cadangan devisa akan kembali menguat awal tahun depan karena investor kembali masuk membeli SBN.
Adapun cadangan devisa hingga akhir tahun diharapkan menguat dari sumber penerimaan migas dan pinjaman dari pemerintah. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, di sisi pasar keuangan, pelemahan kurs rupiah dipicu prospek kenaikan suku bunga di AS, yang dibahas dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 16-17 Desember.
Suku bunga di AS kemungkinan naik pada semester 1 dan 2 tahun depan. ”Pasar lakukan antisipasi, itu antisipasi pembelian dolar. Sebetulnya tidak hanya di Indonesia, pelemahan kurs mata uang lokal juga terjadi di banyak negara,” ujarnya. Mirza menuturkan, Indonesia telah mengantisipasi pengetatan moneter AS, antara lain dengan pengurangan subsidi BBM, efisiensiAPBN, danpenyehatanfiskal.
Di sisi moneter, BI melakukan pengetatan agar impor turun sehingga defisit transaksi berjalan terkendali. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan faktor eksternal. Mata uang di sejumlah negara di Asia dan Amerika Latin juga melemah. Bahkan, di Rusia, mata uang rubel terdepresiasi tajam.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, disisi eksternal ada kemungkinan kenaikan suku bunga di AS yang akan memperkuat dolar. Adapun di sisi domestik, defisit transaksi berjalan, meski menunjukkan perbaikan, masih di bawah ekspektasi. Selain itu pelemahan nilai tukar juga dipengaruhi faktor musiman, yaitu kenaikan permintaan dolar AS pada akhir tahun oleh perusahaan-perusahaan untuk membayar utang, mengirim deviden, dan reposisi portofolio.
Selainitu, dolarmenguatkarena ekspektasi perbaikan ekonomi AS yanglebihcepatdari perkiraan. Rapat FOMC 16-17 Desember kemungkinan akan menghasilkan keputusan penghentian stimulusmoneter. Meski begitu, menurutnya, depresiasi rupiah bukan yang paling lemah dibandingkan emerging market lain. ”Mata uang emerging market mengalami pelemahan signifikan. Di Rusia bahkan interest rate harus dinaikkan tajam,” ujar Bambang.
Seperti diberitakan, Bank Sentral Rusia menaikkan tingkat suku bunga secara drastis dari 10,5% menjadi 17%. Bank Sentral menyatakan langkah tersebut diambil untuk mengatasi penurunan nilai tukar mata uang rubel. Kurs rubel terus melemah terhadap dolar AS tahun ini saat penurunan harga minyak dan sanksi Barat terus membebani ekonomi negara itu.
Sebelum langkah ini diambil, dolar dibeli dengan 67 rubel per dolar AS. Langkah menaikkan suku bunga membuat kurs rubel menguat menjadi 58 terhadap dolar meskipun kemudian turun lagi menjadi 62 per dolar AS. Nilai rubel 60 per dolar AS dianggap sebagai batas psikologis bagi mata uang Rusia. Sejak awal tahun ini, rubel kehilangan lebih dari 45% nilainya terhadap dolar.
Fenomena Sesaat
Wapres Jusuf Kalla menilai pelemahan rupiah saat ini hanya tren sesaat. Bahkan rupiah menurutnya bukan menjadi mata uang yang paling terpuruk di kawasan regional. ”Masalahnya di dolar karena semua mata uang asing terkena dan kita malah efeknya kecil. Lihat Jepang yang ekonominya lebih hebat lagi, Malaysia, Korea Selatan, Australia, kena semua,” ujarnya.
Menurut dia, kekuatan dolar saat ini berdampak terhadap mata uang di banyak negara, termasuk kawasan Asia. Kalla membantah bahwa terpuruknya rupiah saat ini sama seperti tahun 1998 lalu. ”Itu 15 tahun lalu tentu dengan sekarang permasalahannya berbeda. Jangan lihat nominalnya, tapi lihat daya belinya rupiah itu,” ujar dia.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menginstruksikan kepada sejumlah perusahaan pelat merah agar mengurangi pinjaman dalam bentuk dolar AS. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, imbauan tersebut untuk menekan kerugian keuangan perusahaan yang disebabkan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seperti saat ini.
Di sisi lain, kata dia, pinjaman dalam bentuk dolar lebih memiliki risiko yang besar apabila kurs dolar menguat terhadap rupiah. ”Masih banyak perusahaan BUMN yang memiliki utang dolar, padahal pendapatannya rupiah, ini kan menambah beban perusahaan,” kata Rini.
Menurut dia, alasan sejumlah perusahaan BUMN lebih memilih pinjaman dalam bentuk dolar karena suku bunga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan rupiah. Meski demikian, pinjaman tersebut tidak diimbangi dengan pemasukan yang diperoleh perseroan dalam bentuk rupiah.
”Jadi perusahaan BUMN harus mewaspadai pinjaman dolar, mereka juga harus bisa hedging untuk menekan impor dan mendorong ekspor,” lanjutnya. Untuk itu, ke depan Rini akan memperketat perizinan utang berbentuk valuta asing bagi perusahaan pelat merah yang pendapatannya mayoritas dalam bentuk rupiah.
Meski demikian, pemerintah tidak menutup kemungkinan perusahaan BUMN melakukan pinjaman berbentuk dolar asalkan pendapatannya dalam valuta asing, misalnya pada perusahaan batu bara. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan, nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir mengalami pelemahan cukup tajam hingga menembus angka Rp12.700 per dolar.
Pelemahan tersebut terjadi akibat menguatnya sentimen global terhadap perbaikan kondisi ekonomi AS yang diperkirakan akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Menurutnya, kondisi tersebut mendorong penguatan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lainnya dalam beberapa hari terakhir. Di samping itu, lemahnya fundamental perekonomian domestik menjadi penyebab utama melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2014 ini.
Ria martati/Kunthi fahmar sandy/Heru febrianto/Rarasati syarief/Syarifuddin
Rupiah yang sempat bergerak liar hingga menyentuh level Rp12.900 per dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pagi kemarin akhirnya sedikit menguat di kisaran Rp12.700 per dolar AS. ”Dalam konteks stabilisasi rupiah, kita terus berada di pasar dan mengintervensi pasar valas. Itu tugas BI agar rupiah sejalan dengan fundamental. Kita juga lakukan pembelian SBN (surat berharga negara) di pasar sekunder,” ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo saat memberikan keterangan pers di Jakarta kemarin.
Dia menuturkan, BI telah membeli SBN hingga Rp1,5 triliun Senin lalu (15/12) dan terus berlanjut kemarin senilai hampir Rp200 miliar. Langkah BI ini berhasil menurunkan tingkat imbal hasil (yield ) obligasi menjadi pada kisaran 8,5% dari sebelumnya 8,8%. ”Intensitas pembelian SBN itu lebih kecil dibandingkan bulan Mei-Juni tahun lalu saat terjadi capital outflow ,” ungkapnya.
Perry optimistis investor jangka panjang tetap menempatkan dananya di Indonesia. Arus modal keluar yang terjadi di pasar SBN sejak awal Desember karena faktor musiman dan investor biasanya melakukan reposisi portofolio. Pada akhir tahun investor biasanya melepas SBN dan akan masuk kembali ke Indonesia awal tahun. Dia yakin cadangan devisa akan kembali menguat awal tahun depan karena investor kembali masuk membeli SBN.
Adapun cadangan devisa hingga akhir tahun diharapkan menguat dari sumber penerimaan migas dan pinjaman dari pemerintah. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, di sisi pasar keuangan, pelemahan kurs rupiah dipicu prospek kenaikan suku bunga di AS, yang dibahas dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 16-17 Desember.
Suku bunga di AS kemungkinan naik pada semester 1 dan 2 tahun depan. ”Pasar lakukan antisipasi, itu antisipasi pembelian dolar. Sebetulnya tidak hanya di Indonesia, pelemahan kurs mata uang lokal juga terjadi di banyak negara,” ujarnya. Mirza menuturkan, Indonesia telah mengantisipasi pengetatan moneter AS, antara lain dengan pengurangan subsidi BBM, efisiensiAPBN, danpenyehatanfiskal.
Di sisi moneter, BI melakukan pengetatan agar impor turun sehingga defisit transaksi berjalan terkendali. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan faktor eksternal. Mata uang di sejumlah negara di Asia dan Amerika Latin juga melemah. Bahkan, di Rusia, mata uang rubel terdepresiasi tajam.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, disisi eksternal ada kemungkinan kenaikan suku bunga di AS yang akan memperkuat dolar. Adapun di sisi domestik, defisit transaksi berjalan, meski menunjukkan perbaikan, masih di bawah ekspektasi. Selain itu pelemahan nilai tukar juga dipengaruhi faktor musiman, yaitu kenaikan permintaan dolar AS pada akhir tahun oleh perusahaan-perusahaan untuk membayar utang, mengirim deviden, dan reposisi portofolio.
Selainitu, dolarmenguatkarena ekspektasi perbaikan ekonomi AS yanglebihcepatdari perkiraan. Rapat FOMC 16-17 Desember kemungkinan akan menghasilkan keputusan penghentian stimulusmoneter. Meski begitu, menurutnya, depresiasi rupiah bukan yang paling lemah dibandingkan emerging market lain. ”Mata uang emerging market mengalami pelemahan signifikan. Di Rusia bahkan interest rate harus dinaikkan tajam,” ujar Bambang.
Seperti diberitakan, Bank Sentral Rusia menaikkan tingkat suku bunga secara drastis dari 10,5% menjadi 17%. Bank Sentral menyatakan langkah tersebut diambil untuk mengatasi penurunan nilai tukar mata uang rubel. Kurs rubel terus melemah terhadap dolar AS tahun ini saat penurunan harga minyak dan sanksi Barat terus membebani ekonomi negara itu.
Sebelum langkah ini diambil, dolar dibeli dengan 67 rubel per dolar AS. Langkah menaikkan suku bunga membuat kurs rubel menguat menjadi 58 terhadap dolar meskipun kemudian turun lagi menjadi 62 per dolar AS. Nilai rubel 60 per dolar AS dianggap sebagai batas psikologis bagi mata uang Rusia. Sejak awal tahun ini, rubel kehilangan lebih dari 45% nilainya terhadap dolar.
Fenomena Sesaat
Wapres Jusuf Kalla menilai pelemahan rupiah saat ini hanya tren sesaat. Bahkan rupiah menurutnya bukan menjadi mata uang yang paling terpuruk di kawasan regional. ”Masalahnya di dolar karena semua mata uang asing terkena dan kita malah efeknya kecil. Lihat Jepang yang ekonominya lebih hebat lagi, Malaysia, Korea Selatan, Australia, kena semua,” ujarnya.
Menurut dia, kekuatan dolar saat ini berdampak terhadap mata uang di banyak negara, termasuk kawasan Asia. Kalla membantah bahwa terpuruknya rupiah saat ini sama seperti tahun 1998 lalu. ”Itu 15 tahun lalu tentu dengan sekarang permasalahannya berbeda. Jangan lihat nominalnya, tapi lihat daya belinya rupiah itu,” ujar dia.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menginstruksikan kepada sejumlah perusahaan pelat merah agar mengurangi pinjaman dalam bentuk dolar AS. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, imbauan tersebut untuk menekan kerugian keuangan perusahaan yang disebabkan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seperti saat ini.
Di sisi lain, kata dia, pinjaman dalam bentuk dolar lebih memiliki risiko yang besar apabila kurs dolar menguat terhadap rupiah. ”Masih banyak perusahaan BUMN yang memiliki utang dolar, padahal pendapatannya rupiah, ini kan menambah beban perusahaan,” kata Rini.
Menurut dia, alasan sejumlah perusahaan BUMN lebih memilih pinjaman dalam bentuk dolar karena suku bunga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan rupiah. Meski demikian, pinjaman tersebut tidak diimbangi dengan pemasukan yang diperoleh perseroan dalam bentuk rupiah.
”Jadi perusahaan BUMN harus mewaspadai pinjaman dolar, mereka juga harus bisa hedging untuk menekan impor dan mendorong ekspor,” lanjutnya. Untuk itu, ke depan Rini akan memperketat perizinan utang berbentuk valuta asing bagi perusahaan pelat merah yang pendapatannya mayoritas dalam bentuk rupiah.
Meski demikian, pemerintah tidak menutup kemungkinan perusahaan BUMN melakukan pinjaman berbentuk dolar asalkan pendapatannya dalam valuta asing, misalnya pada perusahaan batu bara. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini mengatakan, nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir mengalami pelemahan cukup tajam hingga menembus angka Rp12.700 per dolar.
Pelemahan tersebut terjadi akibat menguatnya sentimen global terhadap perbaikan kondisi ekonomi AS yang diperkirakan akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Menurutnya, kondisi tersebut mendorong penguatan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lainnya dalam beberapa hari terakhir. Di samping itu, lemahnya fundamental perekonomian domestik menjadi penyebab utama melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2014 ini.
Ria martati/Kunthi fahmar sandy/Heru febrianto/Rarasati syarief/Syarifuddin
(bbg)