Rupiah Loyo, Eksportir Sumsel Perlu Tingkatkan Pengiriman
A
A
A
PALEMBANG - Kondisi dolar yang menguat saat ini harus disikapi para pengusaha lokal yang bermain di pasar dagang internasional dengan menambah kuota pengiriman.
Mengingat ekspor Sumsel saat ini masih terhitung surplus, terutama karet. "Ini peluang besar bagi para eksportir, apalagi ekspor Sumsel ini lebih dari impor," kata Kepala Disperindag Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Permana, Rabu (17/12/2014).
Khusus untuk kuota karet, diharapkan bisa menjadi titik cerah untuk harga jual petani. Hanya saja, kualitas bahan olahan karet bersih dari petani mestinya lebih bagus dari sebelumnya.
Untuk proses penjualannya pun diharapkan petani tidak lagi menjual melalui tengkulak, tapi langsung ke KUD.
"Hasil bumi kita harus dibeli mahal oleh negara lain. Saat ini ekspor Sumsel didominasi karet sebanyak 65%. Idealnya, saat ini sudah ada kenaikan harga karet," ujarnya.
Pihaknya meyakini, kondisi ini hanya akan berlangsung sebentar dan bertahan satu bulan ke depan. Karena itu, harus bisa dimanfaatkan dengan baik para eksportir.
Hal itu, mengingat posisi lemahnya rupiah cepat berdampak di Indonesia karena struktur financial memang belum kuat. Sehingga, ketika dolar naik, ekonomi akan langsung goyang. Berbeda jika dibandingkan dengan bath Thailand yang sudah sangat kuat.
"Kompetitor utama Indonesia untuk ekspor karet adalah Vietnam yang sudah memiliki kawasan industri karet yang terorganisir. Sementara kita ini petani rakyat dengan manajemen sendiri, tanpa menyadari pentingnya kualitas produk," jelas dia.
Sementara, para pelaku industri yang banyak menggunakan bahan baku dari luar negeri (impor) diharapkannya bisa bersikap arif dengan memanfaatkan bahan baku lokal.
Sebab, jika memaksakan membeli dari luar negeri dengan kondisi tingginya dolar tentu dipastikan akan merugi.
"Industri songket misalnya, untuk sementara ini sebaiknya memaksimalkan benang lokal. Memang berpengaruh pada kualitas, tapi bisa diarahkan untuk pindah segmen pasar saja," terang Permana.
Wakil Ketua Bidang Agribisnis dan Kelautan Hipmi Sumsel Syahrial Bastari mengakui, komoditi karet adalah salah satu sumber devisa terbesar di Indonesia.
Strategi penguatan industri ini mesti dimulai dari menyejahterakan petani, yang sebenarnya terhitung sebagai tenaga kerja. Bila memang kuota ekspor ditingkatkan, tentu harus diikuti dengan kualitas produk dari para petani yang sejahtera.
"Jika petani beralih profesi dan berhenti menyadap, maka apa yang mau dijual para pengusaha ke luar negeri. Karenanya, penyejahteraan petani perlu dilakukan, demi kestabilan harga dengan target suplai demand yang seimbang," pungkas Pimpinan PT Badja Baru Palembang ini.
Mengingat ekspor Sumsel saat ini masih terhitung surplus, terutama karet. "Ini peluang besar bagi para eksportir, apalagi ekspor Sumsel ini lebih dari impor," kata Kepala Disperindag Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Permana, Rabu (17/12/2014).
Khusus untuk kuota karet, diharapkan bisa menjadi titik cerah untuk harga jual petani. Hanya saja, kualitas bahan olahan karet bersih dari petani mestinya lebih bagus dari sebelumnya.
Untuk proses penjualannya pun diharapkan petani tidak lagi menjual melalui tengkulak, tapi langsung ke KUD.
"Hasil bumi kita harus dibeli mahal oleh negara lain. Saat ini ekspor Sumsel didominasi karet sebanyak 65%. Idealnya, saat ini sudah ada kenaikan harga karet," ujarnya.
Pihaknya meyakini, kondisi ini hanya akan berlangsung sebentar dan bertahan satu bulan ke depan. Karena itu, harus bisa dimanfaatkan dengan baik para eksportir.
Hal itu, mengingat posisi lemahnya rupiah cepat berdampak di Indonesia karena struktur financial memang belum kuat. Sehingga, ketika dolar naik, ekonomi akan langsung goyang. Berbeda jika dibandingkan dengan bath Thailand yang sudah sangat kuat.
"Kompetitor utama Indonesia untuk ekspor karet adalah Vietnam yang sudah memiliki kawasan industri karet yang terorganisir. Sementara kita ini petani rakyat dengan manajemen sendiri, tanpa menyadari pentingnya kualitas produk," jelas dia.
Sementara, para pelaku industri yang banyak menggunakan bahan baku dari luar negeri (impor) diharapkannya bisa bersikap arif dengan memanfaatkan bahan baku lokal.
Sebab, jika memaksakan membeli dari luar negeri dengan kondisi tingginya dolar tentu dipastikan akan merugi.
"Industri songket misalnya, untuk sementara ini sebaiknya memaksimalkan benang lokal. Memang berpengaruh pada kualitas, tapi bisa diarahkan untuk pindah segmen pasar saja," terang Permana.
Wakil Ketua Bidang Agribisnis dan Kelautan Hipmi Sumsel Syahrial Bastari mengakui, komoditi karet adalah salah satu sumber devisa terbesar di Indonesia.
Strategi penguatan industri ini mesti dimulai dari menyejahterakan petani, yang sebenarnya terhitung sebagai tenaga kerja. Bila memang kuota ekspor ditingkatkan, tentu harus diikuti dengan kualitas produk dari para petani yang sejahtera.
"Jika petani beralih profesi dan berhenti menyadap, maka apa yang mau dijual para pengusaha ke luar negeri. Karenanya, penyejahteraan petani perlu dilakukan, demi kestabilan harga dengan target suplai demand yang seimbang," pungkas Pimpinan PT Badja Baru Palembang ini.
(izz)