Moratorium Izin Kapal Perlu Ditinjau Ulang
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta meninjau ulang kebijakan moratorium atau penghentian sementara izin usaha perikanan tangkap. Sebab kebijakan ini mengancam keberlangsungan usaha penangkapan ikan nasional.
”Pada dasarnya, kami sangat mendukung Bu Menteri (KKP) Susi dalam programnya memberantas kapal-kapal asing dan illegal fishing,” kata Ketua Himpunan Pengusaha Penangkapan UdangIndonesia(HPPI) Endang Roesbandi di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, lanjutnya, kebijakan moratorium penerbitan izin untuk usaha perikanan tangkap yang diberlakukan hingga 30 April 2015 tersebut memberikan dampak negatif terhadap industri perikanan jika diberlakukan tanpa dibarengi kepastian usaha. Endang mengatakan, kebijakan tersebut seharusnya tidak diberlakukan untuk semua perusahaan, namun hanya yang benar-benar melakukan pelanggaran atau illegal fishing.
”Jadi seharusnya kapal-kapal kami yang nyata-nyata taat pada aturan yang diberlakukan pemerintah bisa dikecualikan dari kebijakan moratorium itu,” kata Endang. Oleh karena itu, tambahnya, perlu dilakukan audit investigasi secara spesifik terhadap perusahaan penangkapan ikan yang benar- benar berusaha secara tertib mematuhi aturan pemerintah.
Dia mengungkapkan, dampak terhadap kebijakan moratorium tersebut terhadap industri perikanan tangkap antara lain tidak dapat lagi melanjutkan usahanya jika armada tangkapnya tidak beroperasi. Saat ini, anggota HPPI ada enam perusahaan yang mengoperasikan 55 kapal penangkap ikan, dan dua kapal pengangkut.
Hingga moratorium ini selesai, yakni 30 April 2015, 10 kapalnya akan berhenti beroperasi karena izinnya habis di akhir Desember 2014 dan Januari 2015. Jika kapal tidak dapat melaut, menurut dia, anak buah kapal (ABK) juga akan kehilangan pekerjaan, begitu juga industri pengolahan ikan dapat kekurangan pasokan bahan baku. Padahal, kata dia, industri pengolahan ikan ini juga menyerap banyak tenaga kerja.
Menurut dia, hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah apakah setelah moratorium mereka kembali mendapatkan izin atau tidak. Endang menuturkan, hasil tangkapan yang dihasilkan seluruh anggotanya tahun lalu mencapai 4.600 ton berupa udang dan ikan yang mana lebih dari 90% diekspor. Selain devisa dari ekspor udang sebesar Rp461 miliar, sejumlah potensi ekonomi yang bakal hilang adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp3,8 miliar.
Selain itu juga berupa pungutan hasil perikanan (PHP) sebesar Rp2,2 miliar, retribusi ke daerah dan pajak penghasilan (PPH) badan sekitar Rp2-3 miliar per perusahaan. Sekjen HPPI Elan Harsono menuturkan pihaknya meminta kejelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan agar bisa mengantisipasi langkah bisnisnya ke depan seperti apa.
”Permasalahannya adalah setelah 30 April tak ada kepastian izin bisa diperpanjang lagi, atau mau dibawa ke mana, itu tak ada. Kalau pemerintah bisa memberikan kepastian, 1 Mei sudah dibuka lagi, tentu dari kami sudah melakukan time schedule. Iniyangmenjadi concern kami,” katanya. Ia berharap bisa bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membicarakan hal tersebut.
”Kami sudah berkirim surat mohon kami dipertemukan, kami ingin diberi penjelasan, langkah-langkah KKP apa, timeschedule nyabagaimana. Tapi, hingga kini kami belum bisa diterima Bu Menteri,” tuturnya.
Diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan pada 3 November 2014 lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk memberantas praktek penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia.
Kebijakan ini dikeluarkan untuk memberantas praktik illegal fishing yang disinyalir marak terjadi di perairan Indonesia.
Sudarsono/ Yanto kusdiantono
”Pada dasarnya, kami sangat mendukung Bu Menteri (KKP) Susi dalam programnya memberantas kapal-kapal asing dan illegal fishing,” kata Ketua Himpunan Pengusaha Penangkapan UdangIndonesia(HPPI) Endang Roesbandi di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, lanjutnya, kebijakan moratorium penerbitan izin untuk usaha perikanan tangkap yang diberlakukan hingga 30 April 2015 tersebut memberikan dampak negatif terhadap industri perikanan jika diberlakukan tanpa dibarengi kepastian usaha. Endang mengatakan, kebijakan tersebut seharusnya tidak diberlakukan untuk semua perusahaan, namun hanya yang benar-benar melakukan pelanggaran atau illegal fishing.
”Jadi seharusnya kapal-kapal kami yang nyata-nyata taat pada aturan yang diberlakukan pemerintah bisa dikecualikan dari kebijakan moratorium itu,” kata Endang. Oleh karena itu, tambahnya, perlu dilakukan audit investigasi secara spesifik terhadap perusahaan penangkapan ikan yang benar- benar berusaha secara tertib mematuhi aturan pemerintah.
Dia mengungkapkan, dampak terhadap kebijakan moratorium tersebut terhadap industri perikanan tangkap antara lain tidak dapat lagi melanjutkan usahanya jika armada tangkapnya tidak beroperasi. Saat ini, anggota HPPI ada enam perusahaan yang mengoperasikan 55 kapal penangkap ikan, dan dua kapal pengangkut.
Hingga moratorium ini selesai, yakni 30 April 2015, 10 kapalnya akan berhenti beroperasi karena izinnya habis di akhir Desember 2014 dan Januari 2015. Jika kapal tidak dapat melaut, menurut dia, anak buah kapal (ABK) juga akan kehilangan pekerjaan, begitu juga industri pengolahan ikan dapat kekurangan pasokan bahan baku. Padahal, kata dia, industri pengolahan ikan ini juga menyerap banyak tenaga kerja.
Menurut dia, hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah apakah setelah moratorium mereka kembali mendapatkan izin atau tidak. Endang menuturkan, hasil tangkapan yang dihasilkan seluruh anggotanya tahun lalu mencapai 4.600 ton berupa udang dan ikan yang mana lebih dari 90% diekspor. Selain devisa dari ekspor udang sebesar Rp461 miliar, sejumlah potensi ekonomi yang bakal hilang adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp3,8 miliar.
Selain itu juga berupa pungutan hasil perikanan (PHP) sebesar Rp2,2 miliar, retribusi ke daerah dan pajak penghasilan (PPH) badan sekitar Rp2-3 miliar per perusahaan. Sekjen HPPI Elan Harsono menuturkan pihaknya meminta kejelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan agar bisa mengantisipasi langkah bisnisnya ke depan seperti apa.
”Permasalahannya adalah setelah 30 April tak ada kepastian izin bisa diperpanjang lagi, atau mau dibawa ke mana, itu tak ada. Kalau pemerintah bisa memberikan kepastian, 1 Mei sudah dibuka lagi, tentu dari kami sudah melakukan time schedule. Iniyangmenjadi concern kami,” katanya. Ia berharap bisa bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membicarakan hal tersebut.
”Kami sudah berkirim surat mohon kami dipertemukan, kami ingin diberi penjelasan, langkah-langkah KKP apa, timeschedule nyabagaimana. Tapi, hingga kini kami belum bisa diterima Bu Menteri,” tuturnya.
Diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan pada 3 November 2014 lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk memberantas praktek penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia.
Kebijakan ini dikeluarkan untuk memberantas praktik illegal fishing yang disinyalir marak terjadi di perairan Indonesia.
Sudarsono/ Yanto kusdiantono
(ars)