Penghapusan Premium Terkendala Kilang

Sabtu, 20 Desember 2014 - 13:18 WIB
Penghapusan Premium...
Penghapusan Premium Terkendala Kilang
A A A
JAKARTA - Pemerintah menegaskan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) terkait penghapusan research of number (RON) 88 menjadi RON 92, terkendala kemampuan kilang BBM milik PT Pertamina (persero).

Direktur Program dan Pembinaan Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Tjahjono menuturkan bahwa pemerintah dihadapkan pada ketidakmampuan sebagian besar kilang PT Pertamina (persero) untuk mengolah BBM RON 92. Kilang pengolahan minyak Pertamina mayoritas hanya mampu mengolah BBM beroktan RON 88, kecuali di Kilang Balongan.

“Di samping itu, kita juga harus memperhatikan kemampuan pasokan dan perlindungan terhadap produksi dalam negeri,” kata dia di Jakarta kemarin. Agus mengaku, pada dasarnya yang diinginkan pemerintah adalah kualitas BBM yang lebih baik dan ramah lingkungan. Hal itu sesuai perkembangan teknologi mesin kendaraan dan syarat terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Kendati begitu, lanjut Agus, pemerintah dihadapkan pada kurangnya jaminan ketersediaan pasokan yang memadai dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Maka itu, pemerintah berencana menyesuaikan kualitas BBM sesuai kebutuhan tersebut dengan cara meminta Pertamina meningkatkan kapasitas dan kemampuan kilang BBM.

“Kalau pasokan sudah mampu yang lebih tinggi akan disesuaikan. Maka untuk impor spesifikasinya minimum RON 88 formulasinya menggunakan penyesuaian dengan 98,42% dari RON 92,” ungkapnya. Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri menyatakan akan merekomendasikan kepada Menteri ESDM Sudirman Said agar RON 88 atau setara premium dihapus dari pasaran kemudian diganti dengan RON 92 atau setara pertamax.

“Insya Allah pekan ini rekomendasinya selesai,” ungkap Faisal. Anggota Tim Reformasi Migas Djoko Siswanto mengatakan, rekomendasi penghapusan RON 88 menjadi RON 92 dikeluarkan karena selama ini Pertamina harus menurunkan kualitas BBM yang diimpor dari RON 92 ke RON 88 di Singapura sehingga harus merogoh dana lebih besar. Djoko menjelaskan, rekomendasi kepada menteri ESDM bahwa perhitungan formula BBM RON88 yakni 98,42% dari RON 92 ditambah alpha akan direkomendasikan untuk dihapus. Hal itu berarti tidak ada lagi penggunaan RON 88 alias BBM jenis Premium.

“Kami merekomendasikan tidak ada lagi impor RON 88. Draf rekomendasinya sedang disusun,” ujarnya. Tidak hanya itu, rekomendasi tersebut diambil setelah melakukan pertemuan dengan Petral, di Kementerian ESDM belum lama ini. Dalam pertemuan itu, terungkap Pertamina mencampur minyak RON 92 atau setara pertamax untuk menghasilkan RON 88 atau setara premium.

Adapun pencampuran itu dilakukan di Singapura atas rekomendasi Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. “Akhirnya kita ketergantungan satu tempat penghasil RON 88 di Singapura, sedangkan di negara mana pun tidak ada RON 88, adanya RON 92,” ujarnya. Regulasi Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM yang mengharuskan spesifikasi RON 88 untuk BBM bersubsidi menyebabkan Pertamina tidak bisa meningkatkan kualitas BBM bersubsidi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha mendukung penuh langkah Komite Reformasi Migas untuk merekomendasikan peningkatan kualitas oktan, sehingga ke depan sudah tidak ada lagi BBM dengan kualitas buruk dengan RON 88. “Selama ini kita membeli BBM lebih mahal dari produk yang digunakan. Aslinya MOPS plus alpha . MOPS RON 92 tidak ada RON 88,” kata dia.

MOPS merupakan singkatan dari Mid Oil Platts Singapore. Acuan MOPS itu dikombinasikan dengan biaya alpha atau biaya distribusi ditambah margin Pertamina sehingga menghasilkan harga patokan BBM. Satya mendesak menteri ESDM merestui rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Apabila rekomendasi tersebut disetujui oleh pemerintah maka tidak perlu lagi izin dari DPR.

“Itu merupakan kewenangan pemerintah mengganti impor BBM. Tidak perlu persetujuan DPR,” ungkap Satya. Satya menjelaskan, peningkatan BBM bersubsidi dengan oktan RON 88 menjadi RON 92 tidak perlu ada penyesuaian harga yang baru. Pasalnya, impor BBM yang dilakukan memiliki formula sama yakni MOPS plus alpha. “Maka itu, kita meminta penggantian RON 88 tidak harus ada kenaikan harga. Karena kita membeli harga MOPS sehingga harga tidak membengkak,” kata dia.

Dikatakan Satya, DPR telah lama meminta kepada pemerintah agar menghapus RON 88 digantikan dengan kualitas yang lebih baik yakni RON 92. Meski demikian, lanjut Satya, saran ini tidak pernah di dengarkan oleh pemerintahan SBY. Dia membeberkan, selama ini produk impor untuk subsidi sesungguhnya adalah RON 92, tetapi kadar oktan diturunkan dengan naphta sehingga menghasilkan RON 88.

Pada dasarnya, pemerintah tidak perlu menurunkan kadar oktan untuk BBM bersubsidi, sebab pemerintah telah memiliki asumsi formula dalam melakukan pengadaan impor BBM. Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mempertanyakan kinerja Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Menurut dia, tim yang berwacana memberantas mafia migas untuk memperbaiki sistem tata kelola migas nasional itu terlalu menyudutkan Pertamina.

“Tim ini terlalu banyak membuat pernyataan soal tentang Pertamina dan Petral. Timbul pertanyaan apakah mafia migas hanya ada di Pertamina dan Petral? Bagaimana dengan Kementerian ESDM, BPH Migas, atau SKK Migas?” ujarnya kemarin.

Menurut Mamit, mafia di bidang migas tentunya akan berusaha mempengaruhi orang yang mempunyai kekuasaan dalam membuat suatu kebijakan demi mengamankan bisnis mereka. Dia mencontohkan proses pelelangan blok-blok migas yang dilakukan oleh Kementerian ESDM. “Apakah tidak ada transaksi dalam proses ini? Masih banyak hal-hal yang patut di investigasi di kementerian, atau SKK Migas yang punya kewenangan cukup besar,” cetusnya.

Dia menegaskan, Tim Reformasi Tata Kelola Migas diharapkan tidak hanya mengurusi Pertamina dan Petral, namun juga semua sektor dalam industri migas.“ Jangan sampai justru tercipta mafia-mafia migas yang baru,” tegasnya.

Nanang wijayanto
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3889 seconds (0.1#10.140)