Mati Rasa
A
A
A
Istilah “mati rasa” biasanya dipakai oleh sepasang kekasih atau suamiistri yang sudah tidak harmonis lagi hubungannya. Karena sudah tak saling cinta, maka tak ada lagi perasaan atau getar-getar asmara di antara mereka.
Sebagai contoh, ini dia lirik lagu berjudul Mati Rasa yang dinyanyikan oleh Dewi Sandra: Kau mati rasa/Ketika kau bersamanya/tak ada lagi perasaan/Tak bisa lagi merasakan cinta uu uu uu... Nah , entah kenapa, setiap kali saya mendengar suara indah di ruang tunggu bandara yang mengumumkan keterlambatan pesawat, otak saya pasti langsung meloncat ke istilah tersebut.
Bunyi pengumuman tersebut saya yakin Anda semua sangat familiar sebagai berikut: “Mohon maaf, dikarenakan alasan operasional, pesawat bla bla bla dengan nomor penerbangan bla bla bla tujuan bla bla bla mengalami keterlambatan selama bla bla bla jam .” Kalau pengumuman itu datang sekali-sekali nggak apa-apa, para penumpang masih bisa memaklumi.
Namun celaka tiga belas, pengumuman itu hadir praktis tiap hari. Bahkan untuk jam penerbangan malam habis magrib, keterlambatan ini terjadi hampir di setiap penerbangan. Dan, setiap kali pesawat terlambat “alasan operasional” menjadi sasaran empuk kambing hitam.
Begitu pengumuman berkumandang, serta-merta kejengkelan penumpang meradang, dan seperti dikomando, cemoohan pun tumpah-ruah: huuuuuuuhhh ... Saya adalah heavy traveler. Dalam seminggu saya bisa beberapa kali melakukan penerbangan untuk memberikan seminar atau training di berbagai kota. Dan sudah saya hitung, praktis semua penerbangan malam yang saya lakukan bisa dipastikan mengalami keterlambatan. Parahnya, keterlambatan tersebut tak hanya 10- 15 menit, tapi minimal 1 sampai 2 jam atau lebih.
Tak Berperasaan
Saya menggunakan istilah mati rasa bagi industri penerbangan kita karena dalam urusan keterlambatan ini mereka, seperti kata Dewi Sandra, sudah pada tahapan tak memiliki perasaan. Mereka tak lagi memiliki perasaan bersalah kepada konsumen; tak lagi memiliki perasaan menyesal karena telah melakukan kesalahan; tak memiliki perasaan gundah karena telah “menyiksa” konsumen.
Mereka tak lagi memiliki kepekaan kepada kesusahan pelanggannya. Mereka begitu ringan mengucapkan kata “minta maaf” beribu-ribu kali. Mereka telah menjadi brand yang bebal karena abai terhadap keluhan dan aspirasi konsumennya. Dalam prinsip layanan pelanggan, ini harusnya nggak boleh sekecil pun terjadi. Pamali , kata orang Bandung.
Yang paling saya khawatirkan adalah jika kesalahan yang terjadi setiap hari itu kemudian mereka yakini sebagai sesuatu yang lumrah dan menjadi kebenaran umum. Yang saya takutkan adalah kalau kemudian muncul keyakinan di kalangan para insan pelayanan industri penerbangan kita bahwa, “Kalau jasa penerbangan kita jago ngaret , yang memang seharusnya begitu.”
Kalau budaya ngaret ini sudah mendarah daging di industri penerbangan kita, maka dengan sedih saya katakan, ini indikasi sakitnya industri penerbangan kita. Coba ingat, kenapa korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia? Karena selama berpuluh tahun sogok, suap, pungli, uang pelicin, uang lelah, atau uang rokok telah menjadi sesuatu yang lumrah, menjadi sesuatu yang biasa, menjadi rutinitas keseharian kita.
Karena telah menjadi kerutinan di seluruh lapisan masyarakat kita dari menteri hingga pegawai kelurahan, maka mereka kemudian meyakini bahwa sesuatu yang salah dan hina itu menjadi kebenaran umum. Dan karena sudah mendarah-daging dan menjadi budaya selama berpuluh tahun, perilaku korupsi menjadi sangat sulit dihilangkan.
Nah, yang saya takutkan adalah, kalau budaya ngaret di industri penerbangan kita kelak juga mendarah-daging seperti budaya korupsi yang sulit diberantas. Kalau ngaret terlanjur menjadi budaya yang telah mengeras, maka untuk mengubahnya akan sangat- sangat sulit.
Hukuman
Karena itu, agar budaya ngaret ini tidak terlanjur mendarah daging layaknya budaya korupsi, maka setiap insan pelayanan di industri penerbangan kita haruslah selalu diingatkan bahwa ngaret itu sesuatu yang keliru, bahwa ngaret itu menciderai kepercayaan konsumen, bahwa ngaret itu menyusahkan konsumen.
Caranya bagaimana? Harus ada mekanisme hukuman untuk menimbulkan “efek ingat”, “efek menyesal”, dan “efek jera”. Industri penerbangan kita harus secara voluntary berani “menghukum diri” setiap kali terjadi keterlambatan, dan dengan hukuman tersebut diharapkan muncul sense of urgency bahkan sense of crisis untuk memperbaikinya.
Mekanisme hukuman itu bentuknya bisa macam-macam tergantung bagaimana perusahaan secara kreatif merumuskannya. Ada yang memberikan kompensasi ke pelanggan. Ada yang memberikan sanksi internal kepada karyawan di setiap rantai proses yang menjadi biang keterlambatan.
Bisa juga dengan memberikan reward bagi karyawan atau unit kerja yang mencapai prestasi terbaik dalam memperbaiki on-time performance (OTP). Yang saya maksud, industri penerbangan di sini tentu saja bukan maskapai penerbangan saja, tapi juga pengelola bandara, ground handling services, dan stakeholders lain yang berkontribusi pada jebloknya kinerja OTP.
Sebagai sebuah jejaring dan sistem, para stakeholders ini harus bersama- sama bahu-membahu menumpas budaya ngaret ini. Seperti halnya budaya korupsi yang tak bisa ditumpas oleh KPK saja (harus didukung seluruh masyarakat), budaya ngaret industri penerbangan kita pun tak bisa ditumpas oleh maskapai penerbangan saja.
Upaya ini juga harus menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders yang ada di industri ini. Akhirnya saya cuma bisa berharap, jangan sampai insan pelayanan industri penerbangan kita mati rasa. Ya, karena mati rasa akan menjadi sumber segala kemalangan.
Seperti halnya hubungan suami-istri: mati rasa bisa menimbulkan ketidakharmonisan brand dengan konsumen. Mati rasa bisa menimbulkan percekcokan brand dengan konsumen. Dan yang paling parah, mati rasa juga bisa memicu perceraian antara brand dengan konsumen. Jangan sampai layanan penerbangan kita “dicerai” oleh para konsumennya.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
Sebagai contoh, ini dia lirik lagu berjudul Mati Rasa yang dinyanyikan oleh Dewi Sandra: Kau mati rasa/Ketika kau bersamanya/tak ada lagi perasaan/Tak bisa lagi merasakan cinta uu uu uu... Nah , entah kenapa, setiap kali saya mendengar suara indah di ruang tunggu bandara yang mengumumkan keterlambatan pesawat, otak saya pasti langsung meloncat ke istilah tersebut.
Bunyi pengumuman tersebut saya yakin Anda semua sangat familiar sebagai berikut: “Mohon maaf, dikarenakan alasan operasional, pesawat bla bla bla dengan nomor penerbangan bla bla bla tujuan bla bla bla mengalami keterlambatan selama bla bla bla jam .” Kalau pengumuman itu datang sekali-sekali nggak apa-apa, para penumpang masih bisa memaklumi.
Namun celaka tiga belas, pengumuman itu hadir praktis tiap hari. Bahkan untuk jam penerbangan malam habis magrib, keterlambatan ini terjadi hampir di setiap penerbangan. Dan, setiap kali pesawat terlambat “alasan operasional” menjadi sasaran empuk kambing hitam.
Begitu pengumuman berkumandang, serta-merta kejengkelan penumpang meradang, dan seperti dikomando, cemoohan pun tumpah-ruah: huuuuuuuhhh ... Saya adalah heavy traveler. Dalam seminggu saya bisa beberapa kali melakukan penerbangan untuk memberikan seminar atau training di berbagai kota. Dan sudah saya hitung, praktis semua penerbangan malam yang saya lakukan bisa dipastikan mengalami keterlambatan. Parahnya, keterlambatan tersebut tak hanya 10- 15 menit, tapi minimal 1 sampai 2 jam atau lebih.
Tak Berperasaan
Saya menggunakan istilah mati rasa bagi industri penerbangan kita karena dalam urusan keterlambatan ini mereka, seperti kata Dewi Sandra, sudah pada tahapan tak memiliki perasaan. Mereka tak lagi memiliki perasaan bersalah kepada konsumen; tak lagi memiliki perasaan menyesal karena telah melakukan kesalahan; tak memiliki perasaan gundah karena telah “menyiksa” konsumen.
Mereka tak lagi memiliki kepekaan kepada kesusahan pelanggannya. Mereka begitu ringan mengucapkan kata “minta maaf” beribu-ribu kali. Mereka telah menjadi brand yang bebal karena abai terhadap keluhan dan aspirasi konsumennya. Dalam prinsip layanan pelanggan, ini harusnya nggak boleh sekecil pun terjadi. Pamali , kata orang Bandung.
Yang paling saya khawatirkan adalah jika kesalahan yang terjadi setiap hari itu kemudian mereka yakini sebagai sesuatu yang lumrah dan menjadi kebenaran umum. Yang saya takutkan adalah kalau kemudian muncul keyakinan di kalangan para insan pelayanan industri penerbangan kita bahwa, “Kalau jasa penerbangan kita jago ngaret , yang memang seharusnya begitu.”
Kalau budaya ngaret ini sudah mendarah daging di industri penerbangan kita, maka dengan sedih saya katakan, ini indikasi sakitnya industri penerbangan kita. Coba ingat, kenapa korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia? Karena selama berpuluh tahun sogok, suap, pungli, uang pelicin, uang lelah, atau uang rokok telah menjadi sesuatu yang lumrah, menjadi sesuatu yang biasa, menjadi rutinitas keseharian kita.
Karena telah menjadi kerutinan di seluruh lapisan masyarakat kita dari menteri hingga pegawai kelurahan, maka mereka kemudian meyakini bahwa sesuatu yang salah dan hina itu menjadi kebenaran umum. Dan karena sudah mendarah-daging dan menjadi budaya selama berpuluh tahun, perilaku korupsi menjadi sangat sulit dihilangkan.
Nah, yang saya takutkan adalah, kalau budaya ngaret di industri penerbangan kita kelak juga mendarah-daging seperti budaya korupsi yang sulit diberantas. Kalau ngaret terlanjur menjadi budaya yang telah mengeras, maka untuk mengubahnya akan sangat- sangat sulit.
Hukuman
Karena itu, agar budaya ngaret ini tidak terlanjur mendarah daging layaknya budaya korupsi, maka setiap insan pelayanan di industri penerbangan kita haruslah selalu diingatkan bahwa ngaret itu sesuatu yang keliru, bahwa ngaret itu menciderai kepercayaan konsumen, bahwa ngaret itu menyusahkan konsumen.
Caranya bagaimana? Harus ada mekanisme hukuman untuk menimbulkan “efek ingat”, “efek menyesal”, dan “efek jera”. Industri penerbangan kita harus secara voluntary berani “menghukum diri” setiap kali terjadi keterlambatan, dan dengan hukuman tersebut diharapkan muncul sense of urgency bahkan sense of crisis untuk memperbaikinya.
Mekanisme hukuman itu bentuknya bisa macam-macam tergantung bagaimana perusahaan secara kreatif merumuskannya. Ada yang memberikan kompensasi ke pelanggan. Ada yang memberikan sanksi internal kepada karyawan di setiap rantai proses yang menjadi biang keterlambatan.
Bisa juga dengan memberikan reward bagi karyawan atau unit kerja yang mencapai prestasi terbaik dalam memperbaiki on-time performance (OTP). Yang saya maksud, industri penerbangan di sini tentu saja bukan maskapai penerbangan saja, tapi juga pengelola bandara, ground handling services, dan stakeholders lain yang berkontribusi pada jebloknya kinerja OTP.
Sebagai sebuah jejaring dan sistem, para stakeholders ini harus bersama- sama bahu-membahu menumpas budaya ngaret ini. Seperti halnya budaya korupsi yang tak bisa ditumpas oleh KPK saja (harus didukung seluruh masyarakat), budaya ngaret industri penerbangan kita pun tak bisa ditumpas oleh maskapai penerbangan saja.
Upaya ini juga harus menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders yang ada di industri ini. Akhirnya saya cuma bisa berharap, jangan sampai insan pelayanan industri penerbangan kita mati rasa. Ya, karena mati rasa akan menjadi sumber segala kemalangan.
Seperti halnya hubungan suami-istri: mati rasa bisa menimbulkan ketidakharmonisan brand dengan konsumen. Mati rasa bisa menimbulkan percekcokan brand dengan konsumen. Dan yang paling parah, mati rasa juga bisa memicu perceraian antara brand dengan konsumen. Jangan sampai layanan penerbangan kita “dicerai” oleh para konsumennya.
Yuswohady
Managing Partner Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
(bbg)