Soal Pajak, Indonesia Masih Jadi Anak Bawang
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) dan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa Indonesia masih tertinggal dengan Singapura dan masih menjadi "anak bawang" dalam hal pajak.
Padahal, menurut dia, Indonesia memiliki potensi besar terhadap penerimaan pajak dari berbagai sektor di dalam negeri.
"Selama ini, makin banyak sektor yang tidak bisa dipajaki. Ini terlihat karena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kita cuma 53% saja," ujar dia di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Minggu (28/12/2014)
Selama 10 tahun terakhir, ungkap Yustinus, penerimaan pajak Indonesia memang kurang menggembirakan, di mana tax ratio semakin turun. Artinya, kemampuan institusi penerimaan pajak negara makin lama makin rendah, tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kinerja ekonomi.
"Tax ratio kita, artinya perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB, itu PDB-nya melaju kencang sejak 2006-2007 di era pemerintahan SBY. Tapi tidak disertai kapasitas pemungutan pajak yang baik. Kelihatan di sini, tax ratio-nya stagnan, tapi elastisitas penerimaan terhadap pertumbuhan ekonomi merendah," ujarnya.
Artinya, lanjut Yustinus, memang potensi pemungutan pajak Indonesia semakin lama semakin kecil. Makin banyak potensi yang tidak bisa dipungut.
"PPN itu 53% tax average-nya, artinya ada 47% potensi PPN yang tidak bisa dipungut. PPN kan mudah. Setiap transaksi itu dipungut. Keluarin faktur pajak, tapi itu sulit sepertinya. Nah, itu semua karena proses administrasi kita yang berbelit-belit," tandas Yustinus.
Padahal, menurut dia, Indonesia memiliki potensi besar terhadap penerimaan pajak dari berbagai sektor di dalam negeri.
"Selama ini, makin banyak sektor yang tidak bisa dipajaki. Ini terlihat karena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kita cuma 53% saja," ujar dia di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Minggu (28/12/2014)
Selama 10 tahun terakhir, ungkap Yustinus, penerimaan pajak Indonesia memang kurang menggembirakan, di mana tax ratio semakin turun. Artinya, kemampuan institusi penerimaan pajak negara makin lama makin rendah, tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kinerja ekonomi.
"Tax ratio kita, artinya perbandingan antara penerimaan pajak dengan PDB, itu PDB-nya melaju kencang sejak 2006-2007 di era pemerintahan SBY. Tapi tidak disertai kapasitas pemungutan pajak yang baik. Kelihatan di sini, tax ratio-nya stagnan, tapi elastisitas penerimaan terhadap pertumbuhan ekonomi merendah," ujarnya.
Artinya, lanjut Yustinus, memang potensi pemungutan pajak Indonesia semakin lama semakin kecil. Makin banyak potensi yang tidak bisa dipungut.
"PPN itu 53% tax average-nya, artinya ada 47% potensi PPN yang tidak bisa dipungut. PPN kan mudah. Setiap transaksi itu dipungut. Keluarin faktur pajak, tapi itu sulit sepertinya. Nah, itu semua karena proses administrasi kita yang berbelit-belit," tandas Yustinus.
(rna)