Sertifikasi Kayu Disederhanakan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menyederhanakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri kecil menengah (IKM). Penyederhanaan sertifikasi ini bertujuan agar tidak memberatkan atau membebani IKM.
“Melalui sinergi kementerian ini kami berharap terjadi peningkatan ekspor produk industri kehutanan seperti mebel dan kerajinan,” kata Menteri Perdagangan Rachmat Gobel di Jakarta kemarin. Kemendag mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97/M-DAG/PER/12/ 2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.95/Menhut-II/2014.
Permen LHK tersebut mengatur tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. “Pada Permen- LHK ini persyaratan SVLK bagi IKM pemilik eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK) mebel atau furnitur menjadi disederhanakan,” kata Rachmat.
Rachmat mengatakan, penyederhanaan SVLK tersebut bertujuan agar tidak memberatkan atau membebani pada IKM. Namun, tetap mendukung kelancaran ekspor produk kayu yang memenuhi SVLK. Permendag baru ini ditetapkan sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan tiga menteri, yaitu Mendag Rachmat Gobel, Menteri LHK Siti Nurbaya, serta Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin bersama para kepala dinas perindustrian dan perdagangan, dunia usaha, dan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) pada 27 November 2014 lalu.
Beberapa hal yang diatur dalam Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 antara lain definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik tanda daftar industri (TDI) dan izin usaha industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki sertifikat legalitas kayu (SLK) dengan batasan nilai investasi sampai Rp10 miliar.
IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki SVLK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan deklarasi ekspor sebagai pengganti dokumen V-Legal, dan setiap satu deklarasi ekspor hanya dapat digunakan untuk satu kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.
Selain itu, IKM pemilik ETPIK mengirimkan deklarasi ekspor melalui sistem informasi legalitas kayu online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik, dan ketentuan mengenai deklarasi ekspor yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
Sebagaimana diketahui, Permendag Nomor 64/MDAG/ PER/10/2012 menetapkan bahwa sejak 1 Januari 2013 ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh ETPIK yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK) kecuali produk mebel. Setiap kali melakukan ekspor, ETPIK pemilik S-LK melampirkan Dokumen V-Legal yang merupakan dokumen pelengkap Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang sekaligus merupakan bukti legalitas produk perkayuan yang diekspornya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Bambang Hendroyono mengungkapkan SVLK tetap diberlakukan per 1 Januari 2015. Kendati demikian, pemerintah menjamin ekspor produk berbahan dasar kayu tidak akan terhambat walaupun masih banyak IKM yang belum besertifikat SVLK.
Bambang mengungkapkan, dari 1.200 IKM, 1.000 di antaranya belum besertifikasi SVLK. Untuk mendorong percepatan kepemilikan SVLK, Kementerian LHK bersama seluruh pemangku kepentingan terkait akan melakukan aksi “jemput bola” ke sentra-sentra IKM kerajinan kayu. Jepara, Yogyakarta, Solo, Bali, Pasuruan, Cirebon, Jombang, Klaten. “Target kami dalam enam bulan ke depan sudah rampung (sertifikasi SVLK bagi IKM),” ujarnya di Jakarta kemarin.
Menurut Bambang, pemerintah juga telah memangkas biaya sertifikasi SVLK sekitar 30-49%. Selama ini biaya sertifikasi bervariasi mulai Rp20juta-Rp35 juta. Khusus IKM, biaya sertifikasi setelah dipangkas menjadi kurang dari Rp10 juta. “Itu pun pemerintah yang akan menanggung alias gratis,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Soenoto berharap setiap aturan yang menghambat ekspor hendaknya dieliminasi. Ia pun berharap prosedur deklarasi impor tidak lagi menyulitkan.
“Saat ini ekspor mebel dan kerajinan kita nyaris USD2 miliar dan akan ditingkatkan menjadi USD5 miliar dalam lima tahun. Ini bisa terwujud dengan catatan hambatan lama dibuang dan jangansampaimunculhambatan baru,” katanya.
Inda susanti/ant
“Melalui sinergi kementerian ini kami berharap terjadi peningkatan ekspor produk industri kehutanan seperti mebel dan kerajinan,” kata Menteri Perdagangan Rachmat Gobel di Jakarta kemarin. Kemendag mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97/M-DAG/PER/12/ 2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.95/Menhut-II/2014.
Permen LHK tersebut mengatur tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. “Pada Permen- LHK ini persyaratan SVLK bagi IKM pemilik eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK) mebel atau furnitur menjadi disederhanakan,” kata Rachmat.
Rachmat mengatakan, penyederhanaan SVLK tersebut bertujuan agar tidak memberatkan atau membebani pada IKM. Namun, tetap mendukung kelancaran ekspor produk kayu yang memenuhi SVLK. Permendag baru ini ditetapkan sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan tiga menteri, yaitu Mendag Rachmat Gobel, Menteri LHK Siti Nurbaya, serta Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin bersama para kepala dinas perindustrian dan perdagangan, dunia usaha, dan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) pada 27 November 2014 lalu.
Beberapa hal yang diatur dalam Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 antara lain definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik tanda daftar industri (TDI) dan izin usaha industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki sertifikat legalitas kayu (SLK) dengan batasan nilai investasi sampai Rp10 miliar.
IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki SVLK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan deklarasi ekspor sebagai pengganti dokumen V-Legal, dan setiap satu deklarasi ekspor hanya dapat digunakan untuk satu kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.
Selain itu, IKM pemilik ETPIK mengirimkan deklarasi ekspor melalui sistem informasi legalitas kayu online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik, dan ketentuan mengenai deklarasi ekspor yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
Sebagaimana diketahui, Permendag Nomor 64/MDAG/ PER/10/2012 menetapkan bahwa sejak 1 Januari 2013 ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh ETPIK yang telah memiliki sertifikat legalitas kayu (S-LK) kecuali produk mebel. Setiap kali melakukan ekspor, ETPIK pemilik S-LK melampirkan Dokumen V-Legal yang merupakan dokumen pelengkap Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang sekaligus merupakan bukti legalitas produk perkayuan yang diekspornya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Bambang Hendroyono mengungkapkan SVLK tetap diberlakukan per 1 Januari 2015. Kendati demikian, pemerintah menjamin ekspor produk berbahan dasar kayu tidak akan terhambat walaupun masih banyak IKM yang belum besertifikat SVLK.
Bambang mengungkapkan, dari 1.200 IKM, 1.000 di antaranya belum besertifikasi SVLK. Untuk mendorong percepatan kepemilikan SVLK, Kementerian LHK bersama seluruh pemangku kepentingan terkait akan melakukan aksi “jemput bola” ke sentra-sentra IKM kerajinan kayu. Jepara, Yogyakarta, Solo, Bali, Pasuruan, Cirebon, Jombang, Klaten. “Target kami dalam enam bulan ke depan sudah rampung (sertifikasi SVLK bagi IKM),” ujarnya di Jakarta kemarin.
Menurut Bambang, pemerintah juga telah memangkas biaya sertifikasi SVLK sekitar 30-49%. Selama ini biaya sertifikasi bervariasi mulai Rp20juta-Rp35 juta. Khusus IKM, biaya sertifikasi setelah dipangkas menjadi kurang dari Rp10 juta. “Itu pun pemerintah yang akan menanggung alias gratis,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Soenoto berharap setiap aturan yang menghambat ekspor hendaknya dieliminasi. Ia pun berharap prosedur deklarasi impor tidak lagi menyulitkan.
“Saat ini ekspor mebel dan kerajinan kita nyaris USD2 miliar dan akan ditingkatkan menjadi USD5 miliar dalam lima tahun. Ini bisa terwujud dengan catatan hambatan lama dibuang dan jangansampaimunculhambatan baru,” katanya.
Inda susanti/ant
(ars)