Korporasi Nonbank Wajib Penuhi Rasio Likuiditas Minimum
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mewajibkan koorporasi nonbank memenuhi rasio likuiditas minimum tertentu dengan menyediakan aset valuta asing terhadap kewajiban valuta yang akan jatuh tempo hingga tiga bulan ke depan sejak akhir kuartal.
"Rasio likuiditas minimum ditetapkan paling rendah sebesar 70%," ujar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, Jumat (2/1/2015).
Jumlah Utang Luar Negeri (ULN) swasta cenderung terus meningkat, bahkan saat ini telah melebihi jumlah ULN Pemerintah.
Data terkini pada Oktober 2014 menunjukkan bahwa ULN Swasta telah mencapai USD161,3 miliar atau 54,8% dari total ULN yang sebesar USD294,5 miliar.
BI juga melihat bahwa ULN swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk).
Menurutnya, risiko ULN swasta juga semakin tinggi karena prospek perekonomian masih diliputi berbagai ketidakpastian.
Juda melanjutkan, likuiditas global diperkirakan akan mengetat seiring dengan berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di Amerika Serikat.
Pada saat bersamaan, ekonomi negara-negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan mengalami perlambatan disertai dengan harga komoditas ekspor di pasar internasional yang masih rendah.
"Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran ULN berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar ULN berpotensi menurun," tandasnya.
"Rasio likuiditas minimum ditetapkan paling rendah sebesar 70%," ujar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, Jumat (2/1/2015).
Jumlah Utang Luar Negeri (ULN) swasta cenderung terus meningkat, bahkan saat ini telah melebihi jumlah ULN Pemerintah.
Data terkini pada Oktober 2014 menunjukkan bahwa ULN Swasta telah mencapai USD161,3 miliar atau 54,8% dari total ULN yang sebesar USD294,5 miliar.
BI juga melihat bahwa ULN swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk).
Menurutnya, risiko ULN swasta juga semakin tinggi karena prospek perekonomian masih diliputi berbagai ketidakpastian.
Juda melanjutkan, likuiditas global diperkirakan akan mengetat seiring dengan berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di Amerika Serikat.
Pada saat bersamaan, ekonomi negara-negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan mengalami perlambatan disertai dengan harga komoditas ekspor di pasar internasional yang masih rendah.
"Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran ULN berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar ULN berpotensi menurun," tandasnya.
(dmd)