Prakarsa Perdagangan Liberal Jadikan RI Target Pasar
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Andri Asmoro mengungkapkan, bahwa perdagangan liberal melalui prakarsa International Trade Facilitation yang dibuat Gita Wirjawan saat menjabat Menteri Perdagangan (Mendag) membuat Indonesia menjadi target pasar.
Dia mengatakan, persetujuan tersebut membuat kita menjadi yang diutamakan ketika membuka keran impor.
"Penandatanganan itu sudah ada agreement (persetujuan) untuk bisa kita melakukan impor dengan mudah. Mereka tidak mengalihkan ekspornya ke negara lain, karena kita sudah nge-tag duluan," ujarnya kepada Sindonews di Jakarta, Senin (5/1/2015).
Menurutnya, pada waktu itu tujuan perdagangan bebas untuk menjaga suplai komoditas dalam negeri.
"Dengan asumsi suplai tersebut datanya benar sudah cukup untuk bisa swasembada. Tetapi saya pernah melihat data beras dan menariknya surplus. Misalnya di Makassar surplus sedangkan di Jawa defisit sehingga bisa trade, tidak perlu impor," katanya.
Namun, dengan adanya impor, kata dia, dapat menekan harga komoditas yang sedang langka keberadaannya.
"Bisa menekan harga beras di sini kalau kurang, kalau suplai enggak mencukupi bisa karena gagal panen atau distribusi terganggu. Ya kalau misalnya tidak ada impor harga beras bisa meningkat," jelasnya.
Karena itu, kondisinya tergantung pads sisi suplai, kalau cukup tidak perlu impor, tantangannya kalau tidak cukup jangan menutup keran impor karena inflasi akan naik.
Menanggapi hal ini, Sindonews berusaha mengkonfirmasi Gita Wijawan melalui telepon selulernya. Namun, tidak dapat dihubungi.
(Baca: Prakarsa Gita Wirjawan Bangun Perdagangan Liberal Dikritik)
Dia mengatakan, persetujuan tersebut membuat kita menjadi yang diutamakan ketika membuka keran impor.
"Penandatanganan itu sudah ada agreement (persetujuan) untuk bisa kita melakukan impor dengan mudah. Mereka tidak mengalihkan ekspornya ke negara lain, karena kita sudah nge-tag duluan," ujarnya kepada Sindonews di Jakarta, Senin (5/1/2015).
Menurutnya, pada waktu itu tujuan perdagangan bebas untuk menjaga suplai komoditas dalam negeri.
"Dengan asumsi suplai tersebut datanya benar sudah cukup untuk bisa swasembada. Tetapi saya pernah melihat data beras dan menariknya surplus. Misalnya di Makassar surplus sedangkan di Jawa defisit sehingga bisa trade, tidak perlu impor," katanya.
Namun, dengan adanya impor, kata dia, dapat menekan harga komoditas yang sedang langka keberadaannya.
"Bisa menekan harga beras di sini kalau kurang, kalau suplai enggak mencukupi bisa karena gagal panen atau distribusi terganggu. Ya kalau misalnya tidak ada impor harga beras bisa meningkat," jelasnya.
Karena itu, kondisinya tergantung pads sisi suplai, kalau cukup tidak perlu impor, tantangannya kalau tidak cukup jangan menutup keran impor karena inflasi akan naik.
Menanggapi hal ini, Sindonews berusaha mengkonfirmasi Gita Wijawan melalui telepon selulernya. Namun, tidak dapat dihubungi.
(Baca: Prakarsa Gita Wirjawan Bangun Perdagangan Liberal Dikritik)
(izz)