2015, Target Penyerapan Biodiesel 4,3 Juta KL
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menargetkan tahun ini penyerapan bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel di sektor energi mencapai 4,3 juta kiloliter (kl).
Hal itu guna menekan konsumsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) nasional. “Tahun ini Pertamina menjamin seluruh wilayah siap. Kami optimistis targetnya akan tercapai,” kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta kemarin. Menurut dia, selain PT Pertamina (persero) pemerintah juga berupaya meningkatkan penyerapan biodiesel untuk pembangkit listrik PT PLN (persero) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Bahkan, Dadan juga memastikan penyerapan biodiesel juga akan menyasar ke sektor pertambangan.
“Kebutuhan BBM solar di sektor pertambangan cukup besar sekitar 3 juta kl per tahun. Melalui mandatori ini maka sebanyak 300.000 kl biodiesel harus terserap di sektor tambang,” paparnya. Dia menjelaskan, distribusi biodiesel khususnya disesuaikan dengan wilayah yang potensi konsumsi BBM tinggi. Saat ini konsumsi terbesar masih di Jawa sehingga wilayah ini masih menjadi fokus pemerintah.
“Di sisi pengawasan juga akan semakin ditingkatkan untuk memastikan semua pihak mengikuti ketentuan,” ungkapnya. Dadan menyebutkan, sepanjang 2014 realisasi penyerapan biodiesel 1,8 juta kl tak sesuai dengan target Kementerian ESDM sebesar 2,1 juta kl. Kendala itu, lanjutnya, dikarenakan minimnya infrastruktur. “Permasalahannya teknis, terkendala infrastruktur di wilayah timur,” jelasnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengaku memang masih terdapat kendala dalam mengimplementasikan mandatori ini. Salah satunya adalah penyesuaian harga jual biodiesel dengan Harga Indeks Pasar 104,38 MOPS (Mean of Platts Singapore). Meski demikian, Rida mengaku hambatan tersebut telah diakomodir namun masih terhalang masalah logistik, terutama penyaluran di wilayah Indonesia bagian timur.
“Misalnya biodiesel yang dibutuhkan Balongan itu 1.000 kl. Tapi kapal yang ada kapasitasnya 2.000 kl. Itu membuat penyaluran susah,” ungkap dia. Sedangkan untuk kendala logistik, imbuh Rida, telah diatasi dengan sistem semi Free On Board (FOB), di mana produsen hanya perlu mengantarkan sampai lima pelabuhan yang ditentukan oleh Pertamina. Kendati begitu, pelaksanaan rencana juga masih tersendat dengan persiapan teknis di Pertamina.
Dia meminta Pertamina kembali mengecek fasilitas pelabuhan yang ditunjuk. “Belum lagi, BBN-nya nanti harus di cek lagi apakah spesifikasinya telah sesuai dengan standar B10 yang dicampur ke solar. Akhirnya, pengadaannya harus molor. Misalnya, lelang biodiesel tahap ketiga dari Pertamina,” tutup Rida.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mewajibkan mandatori pencampuran 10% biodiesel (B10) di sektor energi. Pemerintah telah menunjuk badan usaha seperti Pertamina dan PLN untuk melaksanakan mandatori tersebut. Pertamina diwajibkan mencampur B10 ke BBM jenis solar di sektor transportasi.
Sementara PLN diwajibkan untuk mencampurnya untuk konsumsi BBM pembangkit listrik. Tidak hanya itu, sasaran B10 harus meningkat di sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Nanang wijayanto
Hal itu guna menekan konsumsi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) nasional. “Tahun ini Pertamina menjamin seluruh wilayah siap. Kami optimistis targetnya akan tercapai,” kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta kemarin. Menurut dia, selain PT Pertamina (persero) pemerintah juga berupaya meningkatkan penyerapan biodiesel untuk pembangkit listrik PT PLN (persero) khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Bahkan, Dadan juga memastikan penyerapan biodiesel juga akan menyasar ke sektor pertambangan.
“Kebutuhan BBM solar di sektor pertambangan cukup besar sekitar 3 juta kl per tahun. Melalui mandatori ini maka sebanyak 300.000 kl biodiesel harus terserap di sektor tambang,” paparnya. Dia menjelaskan, distribusi biodiesel khususnya disesuaikan dengan wilayah yang potensi konsumsi BBM tinggi. Saat ini konsumsi terbesar masih di Jawa sehingga wilayah ini masih menjadi fokus pemerintah.
“Di sisi pengawasan juga akan semakin ditingkatkan untuk memastikan semua pihak mengikuti ketentuan,” ungkapnya. Dadan menyebutkan, sepanjang 2014 realisasi penyerapan biodiesel 1,8 juta kl tak sesuai dengan target Kementerian ESDM sebesar 2,1 juta kl. Kendala itu, lanjutnya, dikarenakan minimnya infrastruktur. “Permasalahannya teknis, terkendala infrastruktur di wilayah timur,” jelasnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengaku memang masih terdapat kendala dalam mengimplementasikan mandatori ini. Salah satunya adalah penyesuaian harga jual biodiesel dengan Harga Indeks Pasar 104,38 MOPS (Mean of Platts Singapore). Meski demikian, Rida mengaku hambatan tersebut telah diakomodir namun masih terhalang masalah logistik, terutama penyaluran di wilayah Indonesia bagian timur.
“Misalnya biodiesel yang dibutuhkan Balongan itu 1.000 kl. Tapi kapal yang ada kapasitasnya 2.000 kl. Itu membuat penyaluran susah,” ungkap dia. Sedangkan untuk kendala logistik, imbuh Rida, telah diatasi dengan sistem semi Free On Board (FOB), di mana produsen hanya perlu mengantarkan sampai lima pelabuhan yang ditentukan oleh Pertamina. Kendati begitu, pelaksanaan rencana juga masih tersendat dengan persiapan teknis di Pertamina.
Dia meminta Pertamina kembali mengecek fasilitas pelabuhan yang ditunjuk. “Belum lagi, BBN-nya nanti harus di cek lagi apakah spesifikasinya telah sesuai dengan standar B10 yang dicampur ke solar. Akhirnya, pengadaannya harus molor. Misalnya, lelang biodiesel tahap ketiga dari Pertamina,” tutup Rida.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mewajibkan mandatori pencampuran 10% biodiesel (B10) di sektor energi. Pemerintah telah menunjuk badan usaha seperti Pertamina dan PLN untuk melaksanakan mandatori tersebut. Pertamina diwajibkan mencampur B10 ke BBM jenis solar di sektor transportasi.
Sementara PLN diwajibkan untuk mencampurnya untuk konsumsi BBM pembangkit listrik. Tidak hanya itu, sasaran B10 harus meningkat di sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Nanang wijayanto
(ars)