Ombudsman Sebut Kemenhut Hambat Visi Kemaritiman RI
A
A
A
JAKARTA - Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana menilai Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menghambat visi kemaritiman Indonesia.
Hal itu dikarenakan, Menteri Kehutanan telah menerbitkan SK No 463/Menhut-II/2013 dan penggantinya SK No 867/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Riau.
Menurutnya, SK tersebut menimbulkan ketidakpastian investasi di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) yang ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (free trade zone/FTZ).
"Padahal Batam, sejak penerbitan Perpres 87/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan BBK, telah diproyeksikan sebagai pelabuhan internasional terbesar di ASEAN. Tetapi terhambat ego sektoral dan rendahnya konsistensi kebijakan publik," kata dia dalam rilisnya, Kamis (8/1/2015).
Dia mengatakan, hal itu mengakibatkan muncul ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha. Khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan.
Selain itu, juga melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi.
Penerbitan SK Menhut tersebut, lanjut Danang menimbulkan dampak sosial yang tidak kondusif di Batam.
Berdasarkan data BP Batam, penerbitan SK itu membuat sekitar 22 ribu rumah dan 49 galangan kapal di Batam tiba-tiba berada di lokasi hutan (ilegal).
Padahal, rumah-rumah penduduk dan galangan kapal tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah.
"Belum lagi terhentinya layanan administrasi pertanahan oleh BPN, untuk lahan yang terletak di area yang terindikasi hutan karena ketidakjelasan peta lampiran SK tersebut," pungkasnya.
Hal itu dikarenakan, Menteri Kehutanan telah menerbitkan SK No 463/Menhut-II/2013 dan penggantinya SK No 867/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Riau.
Menurutnya, SK tersebut menimbulkan ketidakpastian investasi di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) yang ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (free trade zone/FTZ).
"Padahal Batam, sejak penerbitan Perpres 87/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan BBK, telah diproyeksikan sebagai pelabuhan internasional terbesar di ASEAN. Tetapi terhambat ego sektoral dan rendahnya konsistensi kebijakan publik," kata dia dalam rilisnya, Kamis (8/1/2015).
Dia mengatakan, hal itu mengakibatkan muncul ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha. Khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan.
Selain itu, juga melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi.
Penerbitan SK Menhut tersebut, lanjut Danang menimbulkan dampak sosial yang tidak kondusif di Batam.
Berdasarkan data BP Batam, penerbitan SK itu membuat sekitar 22 ribu rumah dan 49 galangan kapal di Batam tiba-tiba berada di lokasi hutan (ilegal).
Padahal, rumah-rumah penduduk dan galangan kapal tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah.
"Belum lagi terhentinya layanan administrasi pertanahan oleh BPN, untuk lahan yang terletak di area yang terindikasi hutan karena ketidakjelasan peta lampiran SK tersebut," pungkasnya.
(izz)