Distribusi Tertutup Elpiji 3 Kg Sulit Diwujudkan
A
A
A
JAKARTA - Wacana pemerintah menerapkan distribusi tertutup untuk elpiji bersubsidi kemasan 3 kilogram (kg) dinilai sulit diwujudkan di lapangan. Implementasinya butuh biaya tinggi untuk menyiapkan infrastruktur antara lain teknologi informasi dan komunikasi, namun belum tentu efektif.
“Kalaupun teknologinya dibangun, konsekuensi di lapangan adalah pemerintah tetap perlu melakukan pengawasan sehingga ada biaya ekstra. Masalahnya, seluruh biaya tambahan itu bisa saja tidak mencapai sasaran distribusi tertutup itu sendiri. Jangan nanti hanya keluar biaya, tapi hasilnya tidak jelas seperti kebijakan kartu kendali di masa lalu,” kata pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria di Jakarta kemarin.
Sofyano mengatakan, masalah sesungguhnya adalah tidak pernah dikoreksinya harga elpiji 3 kg. Itu menyebabkan disparitas yang berlebihan sehingga menimbulkan potensi penyelewengan pemakaian misalnya pengoplosan elpiji 3 kg ke tabung 12 kg. Dia mengatakan, akan sangat sulit untuk mampu mengatur serta mengawasi distribusi tertutup dengan lebih dari 3.400 agen, 150.000 pangkalan elpiji, dan sekitar 1.500.000 pengecer yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Itu belum ditambah dengan jumlah konsumen pengguna elpiji 3kg eksprogram konversi yang sekitar 57 juta kepala keluarga dan penggunaan oleh masyarakat lain yang bukan penerima paket konversi,” tambahnya. Sofyano menegaskan, jika pemerintah khawatir dengan membengkaknya subsidi elpiji, sebaiknya dilakukan revisi atau menerbitkan kembali peraturan menteri ESDM terkait distribusi dan penggunaan elpiji bersubsidi tabung 3kg.
Dalam aturan itu perlu ditetapkan bahwa penggunanya adalah masyarakat golongan tidak mampu dengan penghasilan misalnya di bawah Rp2 juta per bulan dan penggunaannya hanya khusus untuk bahan bakar memasak pada rumah tangga saja. Namun, imbuh dia, langkah paling tepat adalah mengoreksi besaran subsidi elpiji.
“Subsidi semakin besar adalah wajar karena memang pertumbuhan jumlah pemakaian atas hasil kerja program konversi serta pertumbuhan jumlah kepala keluarga juga meningkat,” tuturnya. Dia menambahkan, jika pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menjalankan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup, itu akan menyalahi prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pertamina sebagai badan usaha akan menjadi satu-satunya pelaku distribusi elpiji bersubsidi.
“Kesimpulannya, tindakan sangat tergesa-gesa untuk menerapkan distribusi tertutup seperti konsep yang tertuang dalam lampiran Permen ESDM No 26/ 2009 adalah kebijakan yang kurang bijaksana,” tuturnya. Sebelumnya Menteri ESDM Sudirman Said mengharapkan Pertamina dan BPH Migas melakukan distribusi tertutup untuk elpiji 3 kg.
Itu akan mengatasi migrasi pengguna elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg lantaran disparitas harga yang tinggi. “Saya berharap Pertamina dan BPH Migas bisa mulai memikirkan distribusi tertutup ini. Jika disparitas harga semakin lebar, ini kesempatan untuk mengalihkan konsumsi,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Nanang wijayanto
“Kalaupun teknologinya dibangun, konsekuensi di lapangan adalah pemerintah tetap perlu melakukan pengawasan sehingga ada biaya ekstra. Masalahnya, seluruh biaya tambahan itu bisa saja tidak mencapai sasaran distribusi tertutup itu sendiri. Jangan nanti hanya keluar biaya, tapi hasilnya tidak jelas seperti kebijakan kartu kendali di masa lalu,” kata pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria di Jakarta kemarin.
Sofyano mengatakan, masalah sesungguhnya adalah tidak pernah dikoreksinya harga elpiji 3 kg. Itu menyebabkan disparitas yang berlebihan sehingga menimbulkan potensi penyelewengan pemakaian misalnya pengoplosan elpiji 3 kg ke tabung 12 kg. Dia mengatakan, akan sangat sulit untuk mampu mengatur serta mengawasi distribusi tertutup dengan lebih dari 3.400 agen, 150.000 pangkalan elpiji, dan sekitar 1.500.000 pengecer yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Itu belum ditambah dengan jumlah konsumen pengguna elpiji 3kg eksprogram konversi yang sekitar 57 juta kepala keluarga dan penggunaan oleh masyarakat lain yang bukan penerima paket konversi,” tambahnya. Sofyano menegaskan, jika pemerintah khawatir dengan membengkaknya subsidi elpiji, sebaiknya dilakukan revisi atau menerbitkan kembali peraturan menteri ESDM terkait distribusi dan penggunaan elpiji bersubsidi tabung 3kg.
Dalam aturan itu perlu ditetapkan bahwa penggunanya adalah masyarakat golongan tidak mampu dengan penghasilan misalnya di bawah Rp2 juta per bulan dan penggunaannya hanya khusus untuk bahan bakar memasak pada rumah tangga saja. Namun, imbuh dia, langkah paling tepat adalah mengoreksi besaran subsidi elpiji.
“Subsidi semakin besar adalah wajar karena memang pertumbuhan jumlah pemakaian atas hasil kerja program konversi serta pertumbuhan jumlah kepala keluarga juga meningkat,” tuturnya. Dia menambahkan, jika pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menjalankan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup, itu akan menyalahi prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pertamina sebagai badan usaha akan menjadi satu-satunya pelaku distribusi elpiji bersubsidi.
“Kesimpulannya, tindakan sangat tergesa-gesa untuk menerapkan distribusi tertutup seperti konsep yang tertuang dalam lampiran Permen ESDM No 26/ 2009 adalah kebijakan yang kurang bijaksana,” tuturnya. Sebelumnya Menteri ESDM Sudirman Said mengharapkan Pertamina dan BPH Migas melakukan distribusi tertutup untuk elpiji 3 kg.
Itu akan mengatasi migrasi pengguna elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg lantaran disparitas harga yang tinggi. “Saya berharap Pertamina dan BPH Migas bisa mulai memikirkan distribusi tertutup ini. Jika disparitas harga semakin lebar, ini kesempatan untuk mengalihkan konsumsi,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Nanang wijayanto
(bbg)