Brand Jokowi Memudar?

Kamis, 05 Februari 2015 - 12:33 WIB
Brand Jokowi Memudar?
Brand Jokowi Memudar?
A A A
Di pagi hari di sebuah ruang tunggu mobil travel dari Bandung ke Jakarta, saya melihat sebuah coffee machine yang lengkap dengan pilihan dari mulai capucino sampai Milo.

Saya kebingungan mencari petugas yang menjaga mesin itu karena ingin membelinya. Udara Bandung yang dingin meningkatkan keinginan untuk ngopi . Salah satu staf memberikan gelas kertas sambil menyampaikan pesan indahnya: itu free , Bu. Silakan isi sendiri yang ibu mau. Kami sediakan untuk penumpang yang menunggu. Wow! Too Good to be true. Ini tidak disangka-sangka. Di saat sedang ingin ngopi , dan di sana disediakan gratis. Sejak kapan pelayanan menjadi demikian baiknya?

Harga tiket Bandung- Jakarta yang sudah mulai merangkak rasanya mulai bisa diterima (sebelumnya sempat dikeluhkan). Kepuasan pelanggan berkaitan dengan dua aspek: Performance disandingkan dengan Expectation. Jika ekspektasi tinggi tetapi performance tidak cemerlang, yang terjadi adalah konsumen kecewa. Sebaliknya, pada saat performance melebihi harapan, konsumen menjadi delighted -lebih dari sekedar puas.

Sayangnya too good to be true terhadap mobil travel tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Setengah perjalanan, baterai handphone habis dan charger point yang ada di dalam mobil travel itu tidak ada yang berfungsi. Padahal, bagian dari janji brand ini adalah terdapat charger point di dalam mobilnya. Saya katakan pada pengendaranya: Lebih baik tidak diberikan kopi gratis di ruang tunggu daripada charger di mobil tidak berfungsi.

Karena, komunikasi di website -nya jelas-jelas mengomunikasikan keberadaan charger tersebut dan ini tidak bisa tidak dipenuhi. Ini adalah contoh saja bahwa kepuasan pelanggan itu sangat dinamis dan kontekstual. Baru semenit yang lalu delighted, menit berikutnya konsumen sudah merasakan hal yang berbeda, yaitu kecewa. Mengelola kepuasan pelanggan semakin sulit.

Kepuasan pelanggan semakin kompleks dan multi-dimensi. Pengelola brand harus lebih jeli dalam menyikapi dinamika consumer behaviour. Rumus yang semula tampak sangat sederhana yaitu performance vs expectation harus diterjemahkan secara baik untuk mengakomodasi dinamika kedua elemen tersebut.

Performance sebuah brand itu bukan lagi di satu titik saja, tetapi harus diikuti dalam sebuah rangkaian brand journey, perjalanan brand . Memantau kepuasan pelanggan yang benar dan harus segera dilakukan adalah menelusuri titik-titik interaksi antara brand dengan konsumen yaitu disebut sebagai Touch Point .

Brand Journey Jokowi dan Moment of Truth

Dalam badai kasus KPK vs Kapolri, beberapa orang mulai bertanya ke saya apakah Brand Jokowi mulai turun? Tentu saya tidak bisa langsung mengadili seperti itu. Tetapi, sebagai seorang etnografer saya telah mendapatkan tanda-tanda yang cukup bahwa brand Jokowi mulai “memudar”. Kecemerlangannya meredup. Brand yang cemerlang adalah brand yang bisa menepati janjinya sendiri.

“Mari Kita Wujudkan Revolusi Mental. Koalisi tanpa syarat: Profesional akan mendominasi jajarannya, bukan dari partai. Kerja-Kerja Kerja. Jokowi adalah Kita” Dari berbagai janji yang dikomunikasikan Jokowi saat kampanye, hal-hal di atas adalah janjijanji kunci, janji penting yang diingat oleh sebagian besar pendukungnya. Apakah Jokowi bisa bertahan sebagai brand yang cemerlang? Kekuatan brand Jokowi akan selalu mendapatkan ujian di berbagai titik perjalanan brand (brand journey ).

Di setiap tipe stakeholder -nya, juga selalu akan terjadi dinamika pergerakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Puas atau tidaknya konsumen akan terlihat pada saat moment of truth. Momen di mana janji-janji secara nyata dikerjakan sesuai rencana dan sesuai harapan. Successful moment of truth terjadi manakala performance brand minimal sama dengan ekspektasi.

Brand Journey Jokowi harus dikelola dengan baik. Siapa pun pengelola brand yang satu ini, harus bisa menangkap keresahan yang terjadi belakangan ini yang ditimbulkan oleh isu Kapolri vs KPK. Banyak hal yang memang tidak bisa dihindari dan tidak terelakkan dalam politik sehingga disebut sebagai uncontrollable factor . Tetapi dalam banyak hal, masih banyak hal-hal yang bisa dikontrol yaitu controllable factor .

Pemilihan Jaksa Agung dan pemilihan Kapolri adalah sebuah titik dalam brand journey Jokowi yang sebenarnya masuk dalam kategori controllabl’. Dan, pada saat sesuatu yang sangat nyata didisplai oleh brand Jokowi yang bertentangan dengan janji independensi, bisa dibayangkan betapa kecewanya para stakeholders. Bahwa Jokowi secara sadar masuk dalam polemik ini, tentu sangat mengecewakan.

Bahwa masih banyak pilihan calon Jaksa Agung dan calon Kapolri yang bisa diajukan oleh Jokowi. Bagaimana dengan janji “Koalisi Tanpa Syarat”. Bagaimana dengan janji “Jokowi adalah Kita”. Keberpihakan pada sebuah kepentingan telah meredupkan sinar brand Jokowi. Stakeholder terpenting dimulai dari para soulmate.

Soulmate adalah kelompok yang telah berinteraksi dan mempunyai relationship yang mendalam bahkan secara emosional merasa memiliki brand tersebut. Terutama, stakeholders penting yaitu para relawan para pemilih yang sudah mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap performance Jokowi.

Masih ada kesempatan berbenah Pak Jokowi. Brand journey Bapak masih panjang untuk mengoreksi dan memberikan sinar kembali brand yang meredup ini. Soulmate itu memaafkan, Pak. Soulmate itu memberi kesempatan kedua.

Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6546 seconds (0.1#10.140)