Bangsa Gaduh
A
A
A
Saya punya julukan baru untuk negeri tempat lahir beta, yang sangat saya cintai ini yaitu: ”bangsa gaduh”. Sesuai namanya, bangsa ini menyukai kegaduhan. Apaapa dibikin gaduh.
Persoalan sepele dibikin muter-muter dan ruwet agar membikin gaduh. Urusan nggak penting dipenting-pentingkan atau seolah- olah penting agar riuh-rendah menimbulkan gaduh. Urusan yang lurus ditekak-tekuk, dibelak-belokkan agar berujung gaduh. Kita sibuk berakrobat, melompat dari satu kegaduhan ke kegaduhan lain tanpa mengenal ujung-pangkal. Akrobat pemilu yang gaduh.
Akrobat KMP vs KIH yang gaduh. Akrobat rapat paripurna DPR yang gaduh. Akrobat kenaikan dan penurunan harga BBM yang gaduh. Akrobat kecelakaan pesawat yang gaduh. Akrobat Cicak-Buaya Jilid 1-II yang gaduh. Pokoknya semua dibikin gaduh. Dan di tengah kegaduhan itu kita semua menjadi cheer leaderbersuka-ria merayakannya.
Gaduh!!! Gaduh!!! Gaduh!!!
Kegaduhan menghisap pikiran dan tenaga kita. Bangsa ini begitu letih diperas tenaganya untuk mengurusi kegaduhan yang sambung-menyambung tanpa pernah henti. Kegaduhanlah yang membuat kita semua tak bisa kerja. Presiden pusing tujuh keliling mengakomodasi kepentingan untuk meredam kegaduhan.
Menteri-menteri tidak bisa kerja karena waswas menjadi korban kegaduhan. Pelaku usaha wait and see, nggak ngapa-ngapainmenunggu kegaduhan usai. Karyawan dan buruh tak produktif karena sibuk menggosipkan kegaduhan yang selalu hot di TV dan koran-koran. Netizen sibuk memproduksi meme untuk meramaikan kegaduhan di dunia maya. Pokoknya tenaga bangsa ini terkurashabismengurusitetekbengek kegaduhan yang datang silih-berganti.
Masih jelas di ingatan, bangsa ini begitu optimis tiga bulan lalu saat pemerintahan baru memproklamirkan diri sebagai pemerintahan kerja, kerja, kerja. Pemerintahan yang bercirikan kerja cak-cektanpa banyak bicara. Tapi kini kita semua pesimis karena semboyan: ”Kerja!!! Kerja!!! Kerja!!!” hanya pepesan kosong belaka menjelma menjadi semboyan: ”Gaduh!!! Gaduh!!! Gaduh!!!” Kini hanya beberapa hari setelah 100 hari kepemimpinan pemerintah baru terlewati, kita semua gundah.
Kita gundah jika agenda-agenda besar yang telah dicanangkan hanya menjadi mimpi besar belaka karena mentok di tingkat kegaduhan dan tak pernah sampai pada kerja dan realisasi konkret. Yang saya takutkan adalah keinginan besar untuk melakukan revolusi mental, membangun poros maritim dunia; kemandirian pangan dan energi; swasembada beras; efisiensi distribusi dan logistik nasional, memantapkan industri kreatif dan UKM semuanya hanya sampai di tahap kegaduhan tanpa ada kerja dan realisasi.
Yang saya takutkan, segudang agenda besar tersebut hanya cukup sampai direncanakan, didiskusikan di seminar-seminar, dikasak-kusukkan di DPR, dicari-cari kesalahannya oleh politisi, didiskreditkan oleh kelompok- kelompok kepentingan, didemo oleh mahasiswa, ditalk-showkan di TV-TV, dan seterusnya dan seterusnya tanpa pernah sedikit pun dikerjakan dan direalisasikan.
Persis seperti mobnas (mobil nasional) yang lebih 30 tahun kita gaduhkan tapi sampai detik ini tak tampak realisasinya. Yang saya takutkan bangsa ini letih bahkan lumpuh ditawan oleh kegaduhan demi kegaduhan yang dengan suka cita kita ciptakan.
Bangsa Kerja
Lawan dari bangsa gaduh adalah apa yang saya sebut ”bangsa kerja”. Berbeda dengan bangsa gaduh yang suka kegaduhan, bangsa kerja membuang jauh-jauh kegaduhan, intrikintrik, fitnah-memfitnah, sikut-menyikut, dan lebih memilih fokus dan berkonsentrasi untuk kerja, kerja, dan kerja.
Bangsa seperti ini umumnya prihatin, memiliki sense of crisis tinggi, memiliki common enemy yang menyatukan seluruh rakyatnya untuk maju, dan fokus menyatukan pikiran dan tindakan untuk mewujudkan tujuan dan visi bangsa. Bicara mengenai bangsa kerja saya jadi ingat Jepang yang berjuang habishabisan untuk menjadi negara industri baru setengah abad silam.
Kala itu Jepang berhasil mengentaskan brand-brand seperti Sony, Panasonic, atau Toyota yang awalnya adalah brand kelas kambing menjadi brand yang dipercaya dan dikagumi konsumen dunia. Bagaimana Jepang bisa mewujudkannya? Dengan kerja, kerja, dan kerja, bukan dengan bergaduh ria.
Bangsa ini mengesampingkan perbedaan, intrik-intrik di dalam, menyatu- padukan seluruh potensi bangsa agar bisa fokus bekerja untuk mewujudkan visi bangsa. Singapura adalah contoh bangsa kerja yang lain. Singapura menjadi salah satu bangsa termakmur di dunia seperti sekarang karena kerja, kerja, kerja selama puluhan tahun sepi dari kegaduhan politik.
Di bawah nakhoda Lee Kuan Yew yang visioner rakyat Singapura dibentuk menjadi manusia- manusia yang prihatin, berdisiplin, berdaya juang tinggi, dan kompeten melalui kerja, kerja, dan kerja. Saking sibuknya bekerja, sampai-sampai mereka ”lupa” berintrik-intrik, bersikut-sikutan, dan bergaduh ria. Berlawanan 180 derajat dengan kondisi kita saat ini. Saya tidak rela jika bangsa ini hanya puas menjadi bangsa gaduh: bangsa yang bisanya cuma membikin kegaduhan.
Bangsa ini harus menjadi pejuang tangguh, berdisiplin, berketerampilan, dan berkarakter. Itu semua terwujud melalui kerja, kerja, kerja, bukan dengan membikin kegaduhan. Mari hentikan kegaduhan.
Yuswohady
Managing Partner Inventure @yuswohady
Persoalan sepele dibikin muter-muter dan ruwet agar membikin gaduh. Urusan nggak penting dipenting-pentingkan atau seolah- olah penting agar riuh-rendah menimbulkan gaduh. Urusan yang lurus ditekak-tekuk, dibelak-belokkan agar berujung gaduh. Kita sibuk berakrobat, melompat dari satu kegaduhan ke kegaduhan lain tanpa mengenal ujung-pangkal. Akrobat pemilu yang gaduh.
Akrobat KMP vs KIH yang gaduh. Akrobat rapat paripurna DPR yang gaduh. Akrobat kenaikan dan penurunan harga BBM yang gaduh. Akrobat kecelakaan pesawat yang gaduh. Akrobat Cicak-Buaya Jilid 1-II yang gaduh. Pokoknya semua dibikin gaduh. Dan di tengah kegaduhan itu kita semua menjadi cheer leaderbersuka-ria merayakannya.
Gaduh!!! Gaduh!!! Gaduh!!!
Kegaduhan menghisap pikiran dan tenaga kita. Bangsa ini begitu letih diperas tenaganya untuk mengurusi kegaduhan yang sambung-menyambung tanpa pernah henti. Kegaduhanlah yang membuat kita semua tak bisa kerja. Presiden pusing tujuh keliling mengakomodasi kepentingan untuk meredam kegaduhan.
Menteri-menteri tidak bisa kerja karena waswas menjadi korban kegaduhan. Pelaku usaha wait and see, nggak ngapa-ngapainmenunggu kegaduhan usai. Karyawan dan buruh tak produktif karena sibuk menggosipkan kegaduhan yang selalu hot di TV dan koran-koran. Netizen sibuk memproduksi meme untuk meramaikan kegaduhan di dunia maya. Pokoknya tenaga bangsa ini terkurashabismengurusitetekbengek kegaduhan yang datang silih-berganti.
Masih jelas di ingatan, bangsa ini begitu optimis tiga bulan lalu saat pemerintahan baru memproklamirkan diri sebagai pemerintahan kerja, kerja, kerja. Pemerintahan yang bercirikan kerja cak-cektanpa banyak bicara. Tapi kini kita semua pesimis karena semboyan: ”Kerja!!! Kerja!!! Kerja!!!” hanya pepesan kosong belaka menjelma menjadi semboyan: ”Gaduh!!! Gaduh!!! Gaduh!!!” Kini hanya beberapa hari setelah 100 hari kepemimpinan pemerintah baru terlewati, kita semua gundah.
Kita gundah jika agenda-agenda besar yang telah dicanangkan hanya menjadi mimpi besar belaka karena mentok di tingkat kegaduhan dan tak pernah sampai pada kerja dan realisasi konkret. Yang saya takutkan adalah keinginan besar untuk melakukan revolusi mental, membangun poros maritim dunia; kemandirian pangan dan energi; swasembada beras; efisiensi distribusi dan logistik nasional, memantapkan industri kreatif dan UKM semuanya hanya sampai di tahap kegaduhan tanpa ada kerja dan realisasi.
Yang saya takutkan, segudang agenda besar tersebut hanya cukup sampai direncanakan, didiskusikan di seminar-seminar, dikasak-kusukkan di DPR, dicari-cari kesalahannya oleh politisi, didiskreditkan oleh kelompok- kelompok kepentingan, didemo oleh mahasiswa, ditalk-showkan di TV-TV, dan seterusnya dan seterusnya tanpa pernah sedikit pun dikerjakan dan direalisasikan.
Persis seperti mobnas (mobil nasional) yang lebih 30 tahun kita gaduhkan tapi sampai detik ini tak tampak realisasinya. Yang saya takutkan bangsa ini letih bahkan lumpuh ditawan oleh kegaduhan demi kegaduhan yang dengan suka cita kita ciptakan.
Bangsa Kerja
Lawan dari bangsa gaduh adalah apa yang saya sebut ”bangsa kerja”. Berbeda dengan bangsa gaduh yang suka kegaduhan, bangsa kerja membuang jauh-jauh kegaduhan, intrikintrik, fitnah-memfitnah, sikut-menyikut, dan lebih memilih fokus dan berkonsentrasi untuk kerja, kerja, dan kerja.
Bangsa seperti ini umumnya prihatin, memiliki sense of crisis tinggi, memiliki common enemy yang menyatukan seluruh rakyatnya untuk maju, dan fokus menyatukan pikiran dan tindakan untuk mewujudkan tujuan dan visi bangsa. Bicara mengenai bangsa kerja saya jadi ingat Jepang yang berjuang habishabisan untuk menjadi negara industri baru setengah abad silam.
Kala itu Jepang berhasil mengentaskan brand-brand seperti Sony, Panasonic, atau Toyota yang awalnya adalah brand kelas kambing menjadi brand yang dipercaya dan dikagumi konsumen dunia. Bagaimana Jepang bisa mewujudkannya? Dengan kerja, kerja, dan kerja, bukan dengan bergaduh ria.
Bangsa ini mengesampingkan perbedaan, intrik-intrik di dalam, menyatu- padukan seluruh potensi bangsa agar bisa fokus bekerja untuk mewujudkan visi bangsa. Singapura adalah contoh bangsa kerja yang lain. Singapura menjadi salah satu bangsa termakmur di dunia seperti sekarang karena kerja, kerja, kerja selama puluhan tahun sepi dari kegaduhan politik.
Di bawah nakhoda Lee Kuan Yew yang visioner rakyat Singapura dibentuk menjadi manusia- manusia yang prihatin, berdisiplin, berdaya juang tinggi, dan kompeten melalui kerja, kerja, dan kerja. Saking sibuknya bekerja, sampai-sampai mereka ”lupa” berintrik-intrik, bersikut-sikutan, dan bergaduh ria. Berlawanan 180 derajat dengan kondisi kita saat ini. Saya tidak rela jika bangsa ini hanya puas menjadi bangsa gaduh: bangsa yang bisanya cuma membikin kegaduhan.
Bangsa ini harus menjadi pejuang tangguh, berdisiplin, berketerampilan, dan berkarakter. Itu semua terwujud melalui kerja, kerja, kerja, bukan dengan membikin kegaduhan. Mari hentikan kegaduhan.
Yuswohady
Managing Partner Inventure @yuswohady
(ars)