Awal Mula Freeport Keruk Emas di Indonesia
A
A
A
KEBERADAAN PT Freeport Indonesia yang merupakan perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) selalu menjadi topik hangat pemberitaan.
Pasalnya, meski beberapa kali berganti pemerintahan, namun Indonesia tetap saja terkesan lembek menghadapi perusahaan tambang yang mengeruk emas di Papua selama puluhan tahun ini.
Lantas bagaimana sebenarnya kisah awal Freeport masuk ke Indonesia?
Seperti dikutip dari Real History Archives dalam artikel yang berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur yang ditulis oleh Lisa Pease pada 1996 silam, Freeport yang diketahui telah mendominasi gunung emas Papua sejak 1967, ternyata kiprahnya di Tanah Air telah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya.
Pada 1959 silam, ketika terjadi pergantian kekuasan di Kuba, Freeport yang semula bernama Freeport Sulphur tengah menghadapi masalah dan nyaris bangkrut. Sebab, pemimpin Kuba yang baru yaitu Fidel Castro menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di negeri tersebut. Freeport Sulphur pun terkena imbasnya.
Di tengah situasi yang tidak pasti tersebut, pada Agustus 1959 Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Jan van Gruisen, managing director dari East Borneo Company yang merupakan perusahaan tambang di Kalimantan Timur.
Dalam pertemuan tersebut, Gruisen menceritakan, dirinya baru menemukan laporan yang ditulis Jean Jacques Dozy mengenai sebuah gunung yang disebut "Ertsberg" atau Gunung Tembaga di Papua Nugini, Irian Barat.
Laporan itu menyebutkan bahwa di wilayah tersebut terdapat gunung yang penuh bijih tembaga. Bahkan, kandungan bijih tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Ertsberg terhampar di atas permukaan tanah, dan tidak tersembunyi di dalam tanah.
Wilson pun antusias dan langsung melakukan survei atas Gunung Ertsberg. Dalam surveinya, Wilson dibuat terkagum-kagum lantaran tidak hanya menemukan bijih tembaga di wilayah tersebut, namun ternyata Gunung Ertsberg juga dipenuhi bijih emas dan perak.
Freeport pun memutuskan untuk meneken kontrak eksplorasi dengan East Borneo Company pada 1 Februari 1960. Namun, nyatanya terjadi perubahan eskalasi politik di Indonesia, khususnya Irian Barat.
Hubungan Indonesia dan Belanda pun kembali memanas, bahkan Soekarno (Presiden RI saat itu) justru menempatkan pasukan militernya di Irian Barat.
Perjanjian kerja sama antara East Borneo Company dan Freeport pun kembali mentah. Pemerintahan AS yang saat itu dikuasai John F Kennedy (JFK) justru membela Indonesia, dan mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan kepada Belanda jika tetap ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang saat itu membutuhkan bantuan untuk membangun kembali negaranya pasca kehancuran di Perang Dunia II, terpaksa hengkang dari Irian Barat.
Para petinggi Freeport pun geram, terlebih saat mendengar JFK justru menawarkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar USD11 juta, dengan melibatkan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.
Perbedaan pendapat publik di Senat AS bergolak, apakah terus membantu Indonesia sementara Partai Komunis di Indonesia tetap kuat. Kennedy pun tetap bertahan, dan dia menyetujui paket bantuan khusus untuk Indonesia pada 19 November 1963.
Tiga hari kemudian, Soekarno kehilangan sekutu terbaik di Barat. Kennedy mati terbunuh pada 22 November 1963.
Kebijakan luar negeri AS berubah cepat setelah kematian Kennedy. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy secara tiba-tiba membatalkan paket bantuan ekonomi untuk Indonesia yang telah disetujui Kennedy.
Ternyata, salah seorang dibalik keberhasilan Johnson dalam kampanye pemilihan Presiden AS 1964 adalah Augustus C Long yang merupakan salah seorang direksi Freeport.
Long juga menjadi pemimpin di Texas Company (Texaco) serta Caltex (joint venture dengan Standard Oil of California). Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital, New York yang merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Selain itu, Long juga diyakini menjadi salah satu tokoh perancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat (AD), termasuk Jenderal Soeharto (Presiden RI ke-2) yang disebutnya sebagai "our local army friend".
Dugaan keterlibatan Long dalam kudeta Soekarno muncul, lantaran Soekarno pada 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60% labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan ini.
Kudeta terhadap Soekarno pun benar-benar terjadi, dengan memelintir dan menyalahartikan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang dibuat Soekarno.
Dalam Supersemar, Soekarno hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Soeharto, yang diartikan justru memerintahkan Soeharto menjadi Presiden RI.
Pasca lengsernya Soekarno dari tampuk kepemimpinan tertinggi di Indonesia, Ibnu Sutowo (Menteri Pertambangan dan Perminyakan saat itu) membuat perjanjian baru, yang memungkinkan perusahaan minyak untuk menjaga keuntungan lebih besar secara substansial untuk mereka.
Kemudian, dilakukanlah pengesahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Pada 7 April 1967, pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan kontrak izin eksploitasi tambang di Irian Jaya dengan Freeport.
Dengan demikian, Freeport pun menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya, Freeport pun menggandeng Bechtel, sebuah perusahaan di AS yang banyak mempekerjakan pentolan-pentolan CIA.
Pada 1980, Freeport juga menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet untuk bekerja sama dengannya mengeruk tanah Papua. Bob pun akhirnya menjadi Presiden Freeport McMoran.
Kontrak Freeport Indonesia pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan UU Nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan pertambangan. Pada 1991, terdapat pembaharuan kontrak karya baru yang berlaku untuk 30 tahun dengan opsi perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun.
Kontrak karya yang diteken pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto itu diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi. Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar.
Pada 1991, penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya Freeport baru akan habis tahun 2041.
Sebelumnya, mantan Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menegaskan, PT Freeport Indonesia baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tambang di Mimika, Papua, paling cepat pada 2019.
"Sesuai PP, kelanjutan operasi tambang baru bisa diajukan dua tahun sebelum akhir kontrak. Dengan demikian, kalau kontrak Freeport habis 2021, maka paling cepat diajukan 2019," kata Susilo.
Dia mengingatkan, sesuai ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, permohonan perpanjangan diajukan paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan sebelum habis masa kontrak.
Susilo menerangkan, untuk bisa melanjutkan kontrak operasi tambang di Indonesia, PT Freeport harus memenuhi syarat sesuai UU No 4/2009, yakni mengubah jenis kontrak usaha ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan menyepakati poin-poin renegosiasi.
Susilo memastikan, pemerintah akan berhati-hati dalam memutuskan perpanjangan kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 2021. "Semua keputusan harus mempertimbangkan berbagai hal dan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara," tukasnya.
Namun, tepat pada Minggu (25/1/2015), pemerintah Indoensia dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani nota kesepahaman (MoU) perpanjangan kontrak izin ekspor Freeport
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan bahwa perpanjangan MoU ini akan dilakukan selama enam bulan.
"Syaratnya adalah perusahaan tambang raksasa itu harus memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat Papua dan Indonesia," ujarnya, Minggu (25/1/2015).
Sudirman menjelaskan, pemerintah pada 23 Januari 2015 memberikan keputusan untuk melakukan perpanjangan MoU selama enam bulan ke depan dengan Freeport Indonesia. "Tapi kontrak belum diputuskan, itu perpanjang operasi saja," ungkap Sudirman.
Sekadar informasi, kontrak perusahaan tembaga dan emas yang berlokasi di Papua ini akan berakhir pada 2021. Seharusnya, keputusan perpanjangan kontrak diberikan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Namun Freeport ingin mempercepat pemberian keputusan itu tahun ini.
Pasalnya, meski beberapa kali berganti pemerintahan, namun Indonesia tetap saja terkesan lembek menghadapi perusahaan tambang yang mengeruk emas di Papua selama puluhan tahun ini.
Lantas bagaimana sebenarnya kisah awal Freeport masuk ke Indonesia?
Seperti dikutip dari Real History Archives dalam artikel yang berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur yang ditulis oleh Lisa Pease pada 1996 silam, Freeport yang diketahui telah mendominasi gunung emas Papua sejak 1967, ternyata kiprahnya di Tanah Air telah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya.
Pada 1959 silam, ketika terjadi pergantian kekuasan di Kuba, Freeport yang semula bernama Freeport Sulphur tengah menghadapi masalah dan nyaris bangkrut. Sebab, pemimpin Kuba yang baru yaitu Fidel Castro menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di negeri tersebut. Freeport Sulphur pun terkena imbasnya.
Di tengah situasi yang tidak pasti tersebut, pada Agustus 1959 Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Jan van Gruisen, managing director dari East Borneo Company yang merupakan perusahaan tambang di Kalimantan Timur.
Dalam pertemuan tersebut, Gruisen menceritakan, dirinya baru menemukan laporan yang ditulis Jean Jacques Dozy mengenai sebuah gunung yang disebut "Ertsberg" atau Gunung Tembaga di Papua Nugini, Irian Barat.
Laporan itu menyebutkan bahwa di wilayah tersebut terdapat gunung yang penuh bijih tembaga. Bahkan, kandungan bijih tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Ertsberg terhampar di atas permukaan tanah, dan tidak tersembunyi di dalam tanah.
Wilson pun antusias dan langsung melakukan survei atas Gunung Ertsberg. Dalam surveinya, Wilson dibuat terkagum-kagum lantaran tidak hanya menemukan bijih tembaga di wilayah tersebut, namun ternyata Gunung Ertsberg juga dipenuhi bijih emas dan perak.
Freeport pun memutuskan untuk meneken kontrak eksplorasi dengan East Borneo Company pada 1 Februari 1960. Namun, nyatanya terjadi perubahan eskalasi politik di Indonesia, khususnya Irian Barat.
Hubungan Indonesia dan Belanda pun kembali memanas, bahkan Soekarno (Presiden RI saat itu) justru menempatkan pasukan militernya di Irian Barat.
Perjanjian kerja sama antara East Borneo Company dan Freeport pun kembali mentah. Pemerintahan AS yang saat itu dikuasai John F Kennedy (JFK) justru membela Indonesia, dan mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan kepada Belanda jika tetap ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang saat itu membutuhkan bantuan untuk membangun kembali negaranya pasca kehancuran di Perang Dunia II, terpaksa hengkang dari Irian Barat.
Para petinggi Freeport pun geram, terlebih saat mendengar JFK justru menawarkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar USD11 juta, dengan melibatkan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.
Perbedaan pendapat publik di Senat AS bergolak, apakah terus membantu Indonesia sementara Partai Komunis di Indonesia tetap kuat. Kennedy pun tetap bertahan, dan dia menyetujui paket bantuan khusus untuk Indonesia pada 19 November 1963.
Tiga hari kemudian, Soekarno kehilangan sekutu terbaik di Barat. Kennedy mati terbunuh pada 22 November 1963.
Kebijakan luar negeri AS berubah cepat setelah kematian Kennedy. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy secara tiba-tiba membatalkan paket bantuan ekonomi untuk Indonesia yang telah disetujui Kennedy.
Ternyata, salah seorang dibalik keberhasilan Johnson dalam kampanye pemilihan Presiden AS 1964 adalah Augustus C Long yang merupakan salah seorang direksi Freeport.
Long juga menjadi pemimpin di Texas Company (Texaco) serta Caltex (joint venture dengan Standard Oil of California). Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital, New York yang merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Selain itu, Long juga diyakini menjadi salah satu tokoh perancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat (AD), termasuk Jenderal Soeharto (Presiden RI ke-2) yang disebutnya sebagai "our local army friend".
Dugaan keterlibatan Long dalam kudeta Soekarno muncul, lantaran Soekarno pada 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60% labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan ini.
Kudeta terhadap Soekarno pun benar-benar terjadi, dengan memelintir dan menyalahartikan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang dibuat Soekarno.
Dalam Supersemar, Soekarno hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Soeharto, yang diartikan justru memerintahkan Soeharto menjadi Presiden RI.
Pasca lengsernya Soekarno dari tampuk kepemimpinan tertinggi di Indonesia, Ibnu Sutowo (Menteri Pertambangan dan Perminyakan saat itu) membuat perjanjian baru, yang memungkinkan perusahaan minyak untuk menjaga keuntungan lebih besar secara substansial untuk mereka.
Kemudian, dilakukanlah pengesahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Pada 7 April 1967, pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan kontrak izin eksploitasi tambang di Irian Jaya dengan Freeport.
Dengan demikian, Freeport pun menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya, Freeport pun menggandeng Bechtel, sebuah perusahaan di AS yang banyak mempekerjakan pentolan-pentolan CIA.
Pada 1980, Freeport juga menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet untuk bekerja sama dengannya mengeruk tanah Papua. Bob pun akhirnya menjadi Presiden Freeport McMoran.
Kontrak Freeport Indonesia pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan UU Nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan pertambangan. Pada 1991, terdapat pembaharuan kontrak karya baru yang berlaku untuk 30 tahun dengan opsi perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun.
Kontrak karya yang diteken pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto itu diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi. Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar.
Pada 1991, penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya Freeport baru akan habis tahun 2041.
Sebelumnya, mantan Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menegaskan, PT Freeport Indonesia baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tambang di Mimika, Papua, paling cepat pada 2019.
"Sesuai PP, kelanjutan operasi tambang baru bisa diajukan dua tahun sebelum akhir kontrak. Dengan demikian, kalau kontrak Freeport habis 2021, maka paling cepat diajukan 2019," kata Susilo.
Dia mengingatkan, sesuai ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, permohonan perpanjangan diajukan paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan sebelum habis masa kontrak.
Susilo menerangkan, untuk bisa melanjutkan kontrak operasi tambang di Indonesia, PT Freeport harus memenuhi syarat sesuai UU No 4/2009, yakni mengubah jenis kontrak usaha ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan menyepakati poin-poin renegosiasi.
Susilo memastikan, pemerintah akan berhati-hati dalam memutuskan perpanjangan kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 2021. "Semua keputusan harus mempertimbangkan berbagai hal dan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara," tukasnya.
Namun, tepat pada Minggu (25/1/2015), pemerintah Indoensia dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani nota kesepahaman (MoU) perpanjangan kontrak izin ekspor Freeport
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan bahwa perpanjangan MoU ini akan dilakukan selama enam bulan.
"Syaratnya adalah perusahaan tambang raksasa itu harus memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat Papua dan Indonesia," ujarnya, Minggu (25/1/2015).
Sudirman menjelaskan, pemerintah pada 23 Januari 2015 memberikan keputusan untuk melakukan perpanjangan MoU selama enam bulan ke depan dengan Freeport Indonesia. "Tapi kontrak belum diputuskan, itu perpanjang operasi saja," ungkap Sudirman.
Sekadar informasi, kontrak perusahaan tembaga dan emas yang berlokasi di Papua ini akan berakhir pada 2021. Seharusnya, keputusan perpanjangan kontrak diberikan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Namun Freeport ingin mempercepat pemberian keputusan itu tahun ini.
(izz)