Sepatu Sang Permaisuri

Senin, 09 Februari 2015 - 13:59 WIB
Sepatu Sang Permaisuri
Sepatu Sang Permaisuri
A A A
Dikisahkan, di sebuah kerajaan, sang raja sangat mencintai istrinya yang cantik jelita. Untuk mewujudkan rasa sayangnya, semua keinginan sang permaisuri selalu dipenuhi raja.

Berbagai barang dan benda mewah yang diminta, selalu dipenuhi.Dari semua hadiah raja, sang permaisuri sangat menyukai sepatu. Ia bahkan telah mengoleksi ribuan sepatu. Tak heran, jika Sang Permaisuri hendak bepergian, ia membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk memilih sepasang sepatu yang akan dikenakannya. Ia berjalan ke sana kemari di sepanjang deretan lemari sepatunya, untuk mencocokkan sepatu dengan busananya.

Jika sepatu yang dipilih terasa kurang pantas, ia memilihlagi sepatuyanglaindan mencobanya, demikian seterusnya. Hal itu menyebabkan sang permaisuri tertekan, mengalami sakit kepala, dan sakit hingga ke tulang belakang. Dari hari ke hari, penyakitnya semakin parah dan tidak kunjung membaik. Banyak tabib dan penyembuhdidatangkankeistanauntuk mengobati permaisuri. Sayang, tidak ada satu pun yang berhasil mengobatinya.

Melihat permaisuri yang makin menderita, maka akhirnya raja membuat sayembara. Pengumuman pun disebar ke seluruh penjuru negeri. “Barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit Sang Permaisuri, akan diberi hadiah 50 keping emas,” sebut punggawa kerajaan yang menyebarkan sayembara itu. Melihat besarnya hadiah yang diberikan, banyak orang di berbagai penjuru kerajaan berdatangan.

Mereka berusaha mengerahkan berbagai macam cara untuk menyembuhkan Sang Permaisuri. Namun sayang, tetapi tidak satu pun yang berhasil. Hingga suatu hari, datanglah seorang pengemis ke istana. Melihat penampilannya yang kumuh, pengawal kerajaan pun tak mengizinkannya masuk. Namun, walau berusaha diusir, si pengemis berontak dan berteriak-teriak gaduh.

Ia memohon agar diizinkan bertemu dengan permaisuri. Kebetulan, Sang Permaisuri berada tidak jauh dari tempat itu. Melihat tekad si pengemis untuk bertemu dengannya, Sang Permaisuri pun membolehkan si pengemis masuk. “Permaisuri yang cantik jelita, apa gerangan sakit yang diderita..?”

Tanpa basa-basi, permaisuri pun menceritakan sakit dan penderitaannya. Setelah mencermati kisah permaisuri, si pengemis pun berkata, “Hamba mengerti sekarang. Ini sakit yang unik, tetapi s e b e n a r ny a tidak terlalu berat.” “ T i d a k berat? Bagaimana mengobatinya?” sergah permaisuri. “Sederhana saja. Tuan Putri tolong perhatikan sekujur tubuh hambamu ini. Lihat, kedua kaki hamba, cacat dari lutut ke bawah karena di mangsa binatang buas saat mencari kayu di hutan.

Memang kaki hamba tidak utuh lagi, tetapi hamba masih hidup! Dan itu anugerah terbesar buat hamba. Dan saat ini, hamba kembali bersyukur. Tidak harus sakit seperti Tuan Putri, karena hamba tidak butuh sepatu yang harus dipakai.” Setelah mendengar perkataan si pengemis, sang permaisuri tampak berpikir sejenak. Setelahnya, mendadak ia berseru gembira.

“Aha , terima kasih, Paman! Dibandingkan Paman yang tidak memiliki kaki, saya harusnya bersyukur masih memiliki sepasang kaki yang utuh,” ucapnya. “Saya akan berikan sepatu-sepatu itu kepada orang lain, dan saya sisakan beberapa saja. Dengan demikian, saya tidak perlu kebingungan karena harus memilih sepatu, dan mudah-mudahan sakit saya pun akan pergi bersama sepatu-sepatu itu.” Melihat Sang Permaisuri yang mendadak gembira, raja pun senang. Ia pun segera memberi hadiah kepada si pengemis. “Terima kasih,” katanya.

“Sungguh, akusangat menghargainya. Walaupun sepasang kakimu tidak utuh lagi, tetapi pikiran dan hatimu ternyata baik dan sehat. Mudah-mudahan kamu dapat hidup layak dengan hadiah yang kamu terima ini.” Sambil berterima kasih si pengemis pun pergi dengan suka cita.

The Cup of Wisdom

Sering kali, manusia lupa bersyukur dan sibuk mengeluh. Saat memiliki satu, mereka ingin dua. Saat punya dua, mereka ingin tiga, begitu seterusnya. Banyak orang yang sibuk memikirkan apa yang belum dimiliki dibandingkan dengan berpikir dan bersyukur dengan apa yang sudah didapati. Akibatnya, pikiran tak pernah terpuaskan, jiwa tak pernah tercerahkan.

Sehingga, kebahagiaan seperti jauh dari jangkauan. Tak heran, jika tubuh mudah sakit dan penderitaan pun gampang menghampiri. Mempunyai cita-cita besar memang bukan sesuatu yang buruk. Asal tidak dilandasi dengan perasaan serakah dan benci, mengejar cita-cita pasti akan memiliki arti. Namun, bila dilakukan dengan landasan berpikir yang salah, maka pasti akan berakhir dengan ketidakbahagiaan.

Lalu, untuk apa punya kelebihan atau kesuksesan tapi tidak bahagia? Maka, mampu bersyukur sejatinya adalah salah satu sumber kebahagiaan. Jadikan setiap hari penuh rasa syukur. Sehingga, hidup akan jauh lebih bernilai. Salam sukses luar biasa!

Adrie Wongso
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7594 seconds (0.1#10.140)