Panja DPR Siapkan Revisi UU Perbankan

Selasa, 10 Februari 2015 - 10:57 WIB
Panja DPR Siapkan Revisi...
Panja DPR Siapkan Revisi UU Perbankan
A A A
JAKARTA - Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Perbankan DPR RI, Gus Irawan Pasaribu mengemukakan, pihaknya sedang menyiapkan revisi undang-undang karena selama ini sektor perbankan terlalu liberal.

Wakil Ketua Komisi XI tersebut mengatakan saat ini tidak ada batas kepemilikan asing di perbankan. “Ini yang kita sebut sangat liberal. Karena itu, kita semangatnya ingin membangun sistem industri jasa keuangan khas Indonesia, bukan liberal. Landasannya adalah UUD 1945 terutama pasal 33," ujarnya, Senin (10/2/2015).

“Itu agenda pertama dan terpenting dari panja revisi UU Perbankan. Lalu, kita juga ingin mendalami inefisiensi di sektor jasa keuangan terutama perbankan,” jelas Gus.

Dia menilai industri perbankan di Indonesia tidak efisien. Menurutnya, Ketua Komisioner OJK Muliaman Hadad mengatakan suku bunga perbankan nasional sudah pada tingkat menghawatirkan. Tapi, anehnya tidak ada terobosan yang dilakukan untuk memperbaiki.

"Contoh lending rate di perbankan Indonesia jauh di atas rata-rata ASEAN. Kalau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku kita khawatir perbankan kita tak siap karena suku bunga yang terlalu tinggi,” jelas Gus.

Industri perbankan nasional Indonesia menerapkan suku bunga simpanan bisa sampai 13%. “Sementara rata-rata suku bunga dana ASEAN di kisaran 2-4%. Itu dari sisi funding. Di sisi lending, suku bunga kredit perbankan di Indonesia antara 12-24%. Sementara ASEAN 3-7 persen. Kondisi demikian tentu Perbankan kita pasti tak mampu berkompetisi,” terangnya.

Anehnya, kata Gus, regulator turut menciptakan inefisiensi ini karena regulation cost yang sangat tinggi. “Contohnya BI mewajibkan GWM primer 8%, kemudian ada GWM skunder 4%. Jadi setiap bank harus menyimpan dana di BI minimal 8% dari total simpanan masyarakat di bank tersebut dan dibayar bunga sangat kecil jauh dari yang dibayarkan bank kepada penyimpan,” paparnya.

Lalu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenakan premi penjaminan dari total dana simpanan pihak ketiga 0,2% setiap tahun. Padahal, hanya sebagian kecil tidak sampai 50% dari total simpanan masyarakat yang ada di perbankan.

“Lebih berat lagi setelah pemisahan pengawasan bank dari BI ke OJK. Kelahiran OJK ini telah turut membebani industri jasa keuangan karena OJK mengenakan biaya iuran tahunan 0,045% dari total aset setiap industri jasa keuangan dan ada tarif bagi setiap aksi korporasi yang dilaksaanakan oleh industri jasa keuangan” urai Gus Irawan.

Keberadaan OJK


Para pelaku usaha di industri jasa keuangan mengaku bahwa kehadiran OJK saat ini baru sekadar menambah cost saja. Mereka membandingkan saat dulu masih pengawasan bank berada di BI tidak ada biaya yang mereka harus bayar. Gus memprediksi biaya regulator ini paling tidak menyumbang 1% bagi lending rate perbankan. “

Gus juga mengatakan mestinya regulator seperti OJK bisa mendrive perbankan untuk menetapkan margin tidak terlalu tinggi sehingga lending rate ikut turun.

“Ini memang dilematis. Kehadiran OJK hari ini sebenarnya dipaksa IMF. Sekarang kita tidak ada urusan lagi sama IMF dan secara mandiri bisa mengatur tanpa intervensi dari pihak mana pun. Kita mau yang terbaik bagi rakyat dan bangsa," tandasnya.

Bicara lebih jauh, kata Gus, hubungan antara OJK dan BI sebenarnya tak bisa dipisahkan. “Namun masih ada grey area BI dan OJK. Sekarang malah ada judicial review di MK yang ingin membubarkan OJK,” ucapnya

“Kita juga sebenarnya ingin melihat best practice di negara-negara lain dengan judical. Apakah OJK hanya menjadi beban ke industri perbankan dan sekaligus beban rakyat,” ungkapnya.

Menurut Gus, jika dihitung OJK dibelanjai APBN Rp1,9 triliun setiap tahun dan mengutip dari industri jasa keuangan Rp1,8 triliun. “Total ada Rp3,7 triliun yang mereka pakai. Coba kalau ini digunakan untuk kepentingan rakyat. Bisa bangun apa saja coba,” tuturnya.

“Itu sebabnya kita ingin mengkaji lagi tentang peran OJK. Apalagi secara kasat mata saat BI dipanggil ke MK sesungguhnya ada keinginan BI agar fungsi pengawasan bank dikembalikan lagi ke BI,” jelasnya.

Dia melanjutkan, perbedaan pandangan juga terjadi terhadap branchless banking. BI mengatakan hanya atas bank buku empat, sementara OJK membolehkan terhadap keseluruhan bank.

Gus mencontohkan di Malaysia dan Singapura pengawasan bank di-handle oleh bank sentral. Di ASEAN hanya Indonesia yang ada OJK. Bahkan, di Inggris yang dulunya ada dua bank sentral dan OJK, kini pengawasan bank dikembalikan ke bank sentral dan membubarkan OJK-nya

Jadi, kata dia, di Indonesia tidak ingin akhirnya ada konflik antara OJK dan BI. Sangat berbahaya bagi industri perbankan ketidakharmonisan BI dengan OJK.

"Saya tidak dapat membayangkan sekiranya ada satu bank mengalami kesulitan likuiditas lalu direkomendasi oleh OJK untuk mendapat suntikan dari BI. Tapi, karena hubungan yang kurang harmonis misalnya, BI tidak bantu. Bisa collaps itu bank dan bisa berdampak sistemik bagi sistem perbankan nasional. Jangan sampai terjadilah," paparnya.

"Itu sebabnya perlu kajian mendalam dan harus hati-hati menyikapi hal ini, Yang kita inginkan adalah perbankan kita yang kuat dan efisien, harga yang dibayar masyarakat lebih terjangkau, usaha tumbuh dan berkembang sehingga ekonomi lebih stabil," tandas Gus.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6329 seconds (0.1#10.140)