BI Rate Turun Dorong Likuiditas Obligasi
A
A
A
JAKARTA - Penurunan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dinilai akan mendorong likuiditas pasar surat utang (obligasi) di dalam negeri pada tahun ini.
“Penurunan BI Rate membuat cost of fund penerbit menjadi murah, diharapkan meningkatkan suplai sehingga mendorong likuiditas seperti pada tahun 2012-2013 lalu, saat transaksi obligasi korporasi dapat mencapai Rp900 miliar per hari bahkan pernah mencapai Rp1 triliun per hari,” ujar Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono di Jakarta kemarin.
Namun, ungkap dia, likuiditas pasar obligasi mulai mengalami penurunan memasuki 2014 seiring dengan munculnya ketidakpastian politik di dalam negeri sehingga memicu supply obligasi minim karena investor cenderung mengambil posisi menunggu dan menahan transaksinya. “Setelah penurunan BI Rate diharapkan terjadi kenaikan transaksi secara ‘gradual’ diiringi dengan penerbitan produknya. Semakin banyak penerbitan maka semakin besar juga peningkatan likuiditasnya,” jelasnya.
Wahyu memperkirakan bahwa pada tahun ini jumlah nilai penerbitan obligasi korporasi dapat mencapai Rp60 triliun atau meningkat dibandingkan 2014 lalu yang hanya sekitar Rp45,92 triliun. “Tahun ini prospektif bagi pasar obligasi dengan berbagai macam keuntungan, sektor perusahaan yang menerbitkan tentu didominasi dengan yang ‘inline’ dengan fokus pemerintah yakni infrastrukur, karena pihakpihak yang mendukung infrastruktur pasti membutuhkan modal, penerbitan obligasi bisa menjadi pilihan,” papar dia.
Dia menambahkan bahwa perusahaan sektor perbankan dan lembaga pembiayaan juga akan terkena dampak positif dari pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus pemerintah saat ini. Presiden Direktur BCA SekuritasMardySutanto menilailangkah bank sentral menurunkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% dapat mendorong sejumlah emiten menerbitkan surat utang (obligasi) yang berkualitas.
Menurut dia, pemerintah menyadari untuk meningkatkan perekonomian nasional dibutuhkan likuiditas dari pasar. Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan adalah upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi nasional. “Jika pertumbuhan ekonomi saat ini 5,5% bisa dipacu ke 7%, bahwa yield menunjukkan tren penurunan itu adalah sinyal BI lebih pro growth,” kata Mardy kepada sejumlah media di Jakarta, kemarin.
Mardy mengatakan, harus ada katalis sebagai pendorong utama likuiditas. Di antaranya, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Penurunan BI Rate akan menggenjot emiten agar lebih menerbitkan emisi obligasi yang berkualitas. “Signal BI bagus karena lebih mempertimbangkan pasar. Dengan penurunan suku bunga menunjukkan BI lebih memperhatikan pasar,” tandasnya.
Meski demikian, pemerintah harus memperhatikan inflasi. Pasalnya, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang cukup tinggi pada tahun lalu, turut mendorong inflasi nasional. Direktur Mandiri Sekuritas Iman Rachman menyatakan, ada beberapa hal yang menarik investor untuk berinvestasi dalam surat utang. Di antaranya, besaran kupon yang ditawarkan, tenor waktu dan juga hasil pemeringkatan obligasi.
“Pada kondisi market untuk rating AAA tidak banyak, bagi investor obligasi senior dinilai lebih menjanjikan, selain kupon yang ditawarkan,” katanya. Direktur Standard Chartered Securities Indonesia Wendra Rusli mengatakan, potensi penerbitan obligasi pada tahun ini akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor pendorongnya yaitu multifinance dan juga peraturan BI.
“Penerbitan obligasi oleh emiten mulai aktif pada awal tahun. Kami melihat pasarnya masih bagus dibandingkan tahun sebelumnya,” kata dia.
Heru febrianto/ant
“Penurunan BI Rate membuat cost of fund penerbit menjadi murah, diharapkan meningkatkan suplai sehingga mendorong likuiditas seperti pada tahun 2012-2013 lalu, saat transaksi obligasi korporasi dapat mencapai Rp900 miliar per hari bahkan pernah mencapai Rp1 triliun per hari,” ujar Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono di Jakarta kemarin.
Namun, ungkap dia, likuiditas pasar obligasi mulai mengalami penurunan memasuki 2014 seiring dengan munculnya ketidakpastian politik di dalam negeri sehingga memicu supply obligasi minim karena investor cenderung mengambil posisi menunggu dan menahan transaksinya. “Setelah penurunan BI Rate diharapkan terjadi kenaikan transaksi secara ‘gradual’ diiringi dengan penerbitan produknya. Semakin banyak penerbitan maka semakin besar juga peningkatan likuiditasnya,” jelasnya.
Wahyu memperkirakan bahwa pada tahun ini jumlah nilai penerbitan obligasi korporasi dapat mencapai Rp60 triliun atau meningkat dibandingkan 2014 lalu yang hanya sekitar Rp45,92 triliun. “Tahun ini prospektif bagi pasar obligasi dengan berbagai macam keuntungan, sektor perusahaan yang menerbitkan tentu didominasi dengan yang ‘inline’ dengan fokus pemerintah yakni infrastrukur, karena pihakpihak yang mendukung infrastruktur pasti membutuhkan modal, penerbitan obligasi bisa menjadi pilihan,” papar dia.
Dia menambahkan bahwa perusahaan sektor perbankan dan lembaga pembiayaan juga akan terkena dampak positif dari pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus pemerintah saat ini. Presiden Direktur BCA SekuritasMardySutanto menilailangkah bank sentral menurunkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% dapat mendorong sejumlah emiten menerbitkan surat utang (obligasi) yang berkualitas.
Menurut dia, pemerintah menyadari untuk meningkatkan perekonomian nasional dibutuhkan likuiditas dari pasar. Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan adalah upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi nasional. “Jika pertumbuhan ekonomi saat ini 5,5% bisa dipacu ke 7%, bahwa yield menunjukkan tren penurunan itu adalah sinyal BI lebih pro growth,” kata Mardy kepada sejumlah media di Jakarta, kemarin.
Mardy mengatakan, harus ada katalis sebagai pendorong utama likuiditas. Di antaranya, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Penurunan BI Rate akan menggenjot emiten agar lebih menerbitkan emisi obligasi yang berkualitas. “Signal BI bagus karena lebih mempertimbangkan pasar. Dengan penurunan suku bunga menunjukkan BI lebih memperhatikan pasar,” tandasnya.
Meski demikian, pemerintah harus memperhatikan inflasi. Pasalnya, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang cukup tinggi pada tahun lalu, turut mendorong inflasi nasional. Direktur Mandiri Sekuritas Iman Rachman menyatakan, ada beberapa hal yang menarik investor untuk berinvestasi dalam surat utang. Di antaranya, besaran kupon yang ditawarkan, tenor waktu dan juga hasil pemeringkatan obligasi.
“Pada kondisi market untuk rating AAA tidak banyak, bagi investor obligasi senior dinilai lebih menjanjikan, selain kupon yang ditawarkan,” katanya. Direktur Standard Chartered Securities Indonesia Wendra Rusli mengatakan, potensi penerbitan obligasi pada tahun ini akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor pendorongnya yaitu multifinance dan juga peraturan BI.
“Penerbitan obligasi oleh emiten mulai aktif pada awal tahun. Kami melihat pasarnya masih bagus dibandingkan tahun sebelumnya,” kata dia.
Heru febrianto/ant
(ars)